Buku ini membahas tentang apa arti dari kesadaran (consciousness)? Mengapa kamu merasakan dunia di sekeliling mu, dirimu, dan tubuhmu seperti yang kamu rasakan sekarang? Apa artinya menjadi dirimu? Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis mengombinasikan antara ilmu saraf, filosofi, dan sedikit imajnasinya.
Pertanyaan tentang Kesadaran Adalah Pertanyaan yang Sulit untuk Dijawab, Namun Kita dapat Coba Membongkarnya Bagian demi Bagian
Di tahun 1974, seorang filsuf bernama Thomas Nagel, menerbitkan sebuah essay yang mencoba untuk menjawab satu pertanyaan ini. Nagel sangat tertarik untuk membahas tentang karakteristik kesadaraan (nature of consciousness) dari seekor kelelawar mengingat pada saat itu masih ada banyak ilmuwan yang kebingungan untuk membedakan antara consciousness dengan kecerdasan, kemampuan berbahasa, dan karakteristik lain yang dimiliki manusia. Namun pada hari ini, sebagian besar peneliti setuju dengan Nagel bahwa kesadaran adalah sesuatu yang berbeda dari kecerdasan dan bersifat unik; semua mahluk hidup memiliki consciousness dalam tingkatan tertentu. Lebih dari itu, kesadaran memiliki karakteristik yang bersifat subjektif pada tiap mahluk.
Namun ada satu pertanyaan besar yang masih belum terjawab, yakni “Mengapa kesadaran itu ada?”. Pertanyaan ini dikenal dengan “the hard problem of consciousness”.
Banyak dari ilmuwan yang percaya bahwa “the hard problem” merupakan pertanyaan yang hampir mustahil untuk dijawab. Coba saja pikirkan: bahkan jika ilmuwan mengetahui tentang semua mekanisme biologi yang mendasari munculnya pemikiran, perilaku, dan emosi tertentu, mereka tetap saja tak dapat menjelaskan mengapa keberadaan hal-hal tersebut selalu diiringi dengan perasaan akan adanya diri sendiri yang selalu hadir di masa kini (ever-present feeling of being you). Bagaimanapun juga, mungkin bagi kita untuk membayangkan versi “zombi” dari diri kita yang mampu berbicara, berjalan, dan berperilaku persis seperti kita, akan tetapi tak memiliki jiwa (inner life). Kesadaran itu seperti bumbu spesial rahasia yang alam semesta hadirkan kepada semua mahluk hidup.
Namun itu tidak berarti bahwa kita tidak bisa menemukan apa saja “bahan dasar” dari consciousness. Sains sudah memiliki banyak teori dan peralatannya yang dapat membantu menjekaskan conscious experiences (pengalaman-pengalaman sadar). Yang kita perlu lakukan hanyalah menyatukan pengetahuan tersebut dengan cara yang sesuai. Sebelum abad ke-dua puluh, atribut biologi dari kehidupan sama misterius nya dengan consciousness. Filosofi vitalism menyatakan bahwa ada semacam energi supernatural spesial yang hadir pada semua mahluk hidup. Namun seiring berkembangnya ilmu biologi, ilmuwan mulai mempelajari kasus-kasus ekstrim seperti organisme-organisme bersel tunggal dan virus-virus; dari situ mereka memahami bahwa menjadi hidup (being alive) bukanlah sebuah hal yang misterius. Being alive merupakan sekumpulan proses-proses biologi yang terukur.
Jadi walaupun mungkin kita tidak mampu memecahkan “the hard problem of consciousness” secara langsung, kita mungkin bisa membongkar elemen-elemen pembentuknya dengan mempelajari aspek-aspek yang berbeda dari kesadaran itu sendiri yang penulis sebut dengan “the real problems of consciousness”. Contohnya, kita dapat mempelajari bagaimana aktivitas pada visual cortex otak memunculkan pengalaman untuk melihat sesuatu yang berwarna merah gelap dengan sesuatu yang berwarna merah muda. Semakin kita dapat menjelaskan bagaimana pola-pola fisik pada otak berhubungan dengan conscious experience tertentu, semakin misteri yang ada di balik kesadaran itu berkurang.
Ada Beberapa Tingkatan Kesadaran (Consciousness) yang Berbeda, dan Keakuratan Ilmuwan dalam Mengukurnya Semakin Baik
Consciousness merupakan sesuatu yang kompleks. Seperti hidup (being alive), menjadi sadar (being conscious) itu tak hanya disebabkan oleh satu hal saja, akan tetapi banyak proses biologi yang ikut terlibat. Maka dari itu, jika kita benar-benar ingin memahami kesadaran, kita harus melihatnya dari berbagai macam sudut.
Mari kita mulai membahasnya dari bermacam jenis tingkatan kesadaran (conscious levels). Sebagian besar dari kita mungkin setuju bahwa terdapat beberapa derajat kesadaran. Contohnya, intuisi kita mungkin mengatakan bahwa seekor anjing lebih sadar (more conscious) dari pada seekor lalat buah; otak kita juga melalui tingkatan kesadaran yang berbeda saat kita berada dalam keadaan bangun, tidur, atau koma sekalipun. Namun apakah derajat kesadaran benar-benar bisa diukur? Cukup banyak peneliti yang berpendapat demikian.
Cara untuk mengukur kesadaran yang paling umum adalah dengan “bispectral index” monitor. Alat ini digunakan oleh dokter selama proses operasi dengan mengombinasikan angka hasil pengukuran pemindaian otak dari beberapa aspek menjadi satu angka atau parameter yang dapat menjadi patokan saat proses anestesi. Secara teori, ini adalah ide yang baik. Akan tetapi dalam praktiknya, angka bispectral index terkadang tak konsisten dengan tanda-tanda kesadaran yang tampak jelas pada kondisi fisik pasien. Dalam beberapa kasus, beberapa pasien membuka matanya saat proses operasi berlangsung, atau beberapa pasien lainnya mendengar dan mengingat apa yang dokter katakan ketika mereka masih berada di bawah pengaruh anestesi.
Kabar baiknya, sekarang terdapat cara baru yang lebih menjanjikan untuk mengukur kesadaran. Seorang ahli saraf dari Italia yang bernama Marcello Massimini telah mengembangkan metode yang beliau sebut dengan “perturbational complexity index” atau PCI. Massimini dan timnya menstimulasi / merangsang otak secara magnetis pada satu wilayah, dan memonitor persebaran sinyal tersebut ke wilayah otak lainnya; lalu mereka memanfaatkan sebuah algoritma untuk memadatkan / menyederhanakan kompleksitas pola sinyal yang tersebar ke seluruh bagian otak. Dalam keadaan tak sadar, seperti saat seseorang sedang berada dalam pengaruh anestesi, sinyal yang disebarkan akan menghilang dengan cepat sehingga angka PCI nya rendah. Namun dalam kondisi yang lebih sadar, sinyal tersebut menggema lebih lama dan mampu menjangkau bagian otak yang lebih luas, sehingga pada kondisi ini angka PCI nya lebih tinggi. Nilai yang dihasilkan oleh PCI lebih akurat jika dibandingkan dengan angka bispectral index.
Pengukuran kesadaran baru seperti PCI ini menjanjikan dokter dengan diagnosis yang lebih bisa diandalkan. PCI juga dapat membantu mengidentifikasi orang-orang yang menderita sindrom “locked-in” yang ditandai dengan tak bisa digerakkannya seluruh bagian tubuh, namun sebenarnya mereka masih dalam kondisi sadar sepenuhnya.
Menurut Teori IIT, Consciousness adalah Informasi yang Terintegrasi
Ilmu pengetahuan modern menawarkan beberapa teori yang berbeda untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan kesadaran (consciousness). Salah satu teori yang cukup meyakinkan banyak pihak adalah Integrated Information Theory (IIT) yang diperkenalkan oleh duo ilmuwan Tononi dan Edelman. Mereka berargumen bahwa karakteristik dari pengalaman sadar (conscious experience) itu informatif dan terintegrasi (informative and integrated).
Mengapa informatif? Karena setiap pengalaman sadar itu bersifat spesifik dan baru, dengan kata lain conscious experience yang kamu rasakan saat ini berbeda dengan pengalaman yang kamu rasakan sebelumnya. Jika kamu melihat seekor burung merah pada momen ini juga, pengalamannya akan terasa berbeda dengan saat kamu melihat burung merah di waktu-waktu lain. Di saat yang sama conscious experiences bersifat terintegrasi karena semua aspek informasi yang ada pada sebuah pengalaman dapat kita terima dalam satu paket; jika kita melihat burung merah saat ini, warnanya merahnya tak terpisahkan dari bulu yang menempel pada burung itu sendiri. Pengalaman yang kita alami saat ini tak dapat dipisah-pisahkan berdasarkan komponen pembentuknya. Jika penjelasan ini masih terasa rumit, silahkan klik link ini untuk mendapakan penjelasan yang lebih detil.
IIT juga menawarkan sebuah cara baru untuk mengukur kesadaran. IIT menggunakan sebuah pengukuran yang disebut dengan phi untuk menilai sejauh apa sebuah sistem mampu mengintegrasikan informasi. Phi juga mengukur seberapa banyak informasi yang dihasilkan oleh sebuah sistem jika dibandingkan dengan informasi yang diciptakan oleh bagian-bagian individualnya. Awalnya kamu mungkin berpikir bahwa sebuah sistem hanya mampu menciptakan informasi sebanyak yang diciptakan oleh komponen-komponen individu pembentuknya. Akan tetapi, bukan itu yang terjadi pada sistem-sistem yang kompleks; pada sistem ini, tiap bagian-bagian individunya membentuk hubungan yang kompleks dengan bagian lainnya. Coba sekarang bayangkan sebuah kawanan burung yang sedang terbang di sekitarmu; kawanan ini terdiri dari beberapa ekor burung, akan tetapi saat mereka terbang dalam kawanan, perilaku kawanan burung menjadi kompak seakan kawanan tersebut memiliki hidupnya sendiri. Sama halnya, sebuah komputer dapat menghasilkan output yang sangat kompleks hanya dengan beberapa input persamaan yang cukup sederhana. Semakin banyak informasi yang diciptakan oleh sistem secara keseluruhan, maka semakin tinggi pula phi nya dan semakin conscious pula sistem tersebut menurut IIT.
Secara alami, sistem yang memiliki skor rendah dalam menghasilkan informasi dan mengintegrasikan informasi akan menghasilkan nilai phi yang rendah pula. Otak manusia dengan miliaran saraf yang saling terhubung seharusnya memiliki skor phi yang tinggi. Akan tetapi dalam praktiknya, mengukur phi dalam kehidupan nyata hampir tak mungkin dilakukan. Dalam matematika, informasi dapat dihasilkan ketika ketidak-pastian dapat dikurangi. Misalkan, melemparkan dadu akan menghasilkan lebih banyak informasi dari pada melemparkan koin karena nomor-nomor yang ada pada dadu telah mengeleminasi kemungkinan-kemungkinan lain. Maka dari itu, untuk mengukur informasi yang dihasilkan oleh otak, kita harus mengetahui semua kemungkinan-kemungkinan tentang bagaimana otak itu akan berperilaku. Namun pada saat ini, kita hanya bisa merekam apa yang otak lakukan, bukan semua hal yang otak mungkin bisa lakukan. Jadi pengukuran paling penting yang ada pada IIT (read: phi) masih belum dapat dibuktikan secara ilmiah.
Kesadaran yang Kita Rasakan merupakan Hasil dari Halusinasi yang Dikendalikan oleh Otak Kita
Aspek kedua dari consciousness adalah konten (content); dalam kondisi sadar, kita akan selalu menyadari hal-hal yang ada di sekeliling kita, entah itu penglihatan, bunyi, bau, atau bahkan pikiran kita sendiri. Semua hal ini bisa kita rasakan dalam waktu yang bersamaan. Dan biasanya, kita cukup yakin bahwa hal-hal yang kita sadari itu merepresentasikan kenyataan yang ada di luar sana. Namun sebenarnya bukan ini yang terjadi. Indra-indra yang kita miliki tidak bekerja seperti jendela yang mengizinkan otak kita untuk menerima hal-hal yang ada di sekeliling kita tanpa filter sama sekali. Tanpa adanya panca indra, otak kita buta, tuli, dan tak mampu merasa.
Sudah cukup lama para ilmuwan mengetahui bahwa panca indra manusia bukanlah instrumen yang paling sempurna untuk memproses realitas. Para ilmuwan juga meyakini bahwa semua pengalaman sadar yang kita rasakan berawal dari panca indra yang menangkap sinyal-sinyal dari dunia luar dan kemudian diteruskan ke otak untuk diterjemahkan. Namun apa jadinya jika yang terjadi justru sebaliknya?
Pada abad ke-19, ilmuwan Jerman Hermann von Helmholtz datang dengan sebuah ide baru yang radikal. Beliau berpendapat bahwa persepsi kita mengenai dunia yang ada di sekeliling kita merupakan sebuah proses inferensi (kesimpulan) alam bawah sadar (process of unconscious inference). Dengan menjadikan masa lalu sebagai referensi, otak kita terus menerus memformulasikan hipotesis-hipotesis tentang apa yang terjadi di dunia luar, dan kemudian menggunakan sinyal-sinyal panca indra kita untuk mengoreksi hipotesis tersebut. Persepsi kita akan kesadaran tidak bermula dari luar ke dalam; akan tetapi dari dalam ke luar.
Dari penjelasan ini, kita bisa menyimpulkan bahwa content dari kesadaran itu seperti halusinasi; otak kita pada dasarnya membuat-buat realitas. Beruntungnya, selama kita tidak berada di bawah pengaruh zat yang memabukkan, halusinasi dari otak kita masih bisa dikendalikan. Benar bahwa otak kita secara konstan membuat prediksi tentang dunia, akan tetapi otak juga memanfaatkan sinyal dari panca indra untuk mengoreksi prediksi-prediksi tersebut. Namun, jika kita benar-benar mengalami halusinasi, realitas buatan yang ada di pikiran kita begitu kuat sehingga tak bisa dibedakan dengan realitas yang ada di luar.
Lalu, apakah ini berarti bahwa dunia dan seluruh isinya hanya merupakan sebuah mimpi? Tidak. Bisa dipastikan bahwa ada dunia fisik (physical world) di luar sana, dan obyek-obyek fisik nya juga memiliki karakteristik-karakteristik utama seperti tekstur, gerakan, dan menempati ruang. Selain itu benda fisik juga memiliki karakteristik sekunder seperti warna, rasa atau bau, yang semua ini tergantung pada persepsi kita terhadapnya.
Otak Kita Bekerja Seperti Mesin Prediksi yang Menggunakan Metode Bayesian
Sebelumnya, kita belajar bahwa dunia yang kita lihat saat ini merupakan halusinasi terkontrol yang dimunculkan oleh otak yang mencoba untuk menghasilkan prediksi terbaiknya. Lalu bagaimanakah cara otak untuk membuat prediksi tersebut? Untuk menjawab ini diperlukan sedikit logika matematika.
Pada abad ke-18, Reverend Thomas Bayes mengumumkan sebuah metode penalaran yang diberi nama “Bayesian Reasoning”. Metode ini memanfaatkan probabilitas guna menemukan penjelasan terbaik untuk sebuah observasi.
Bayangkan kamu bangun dari tidur di pagi hari, lalu melihat keluar jendela dan ternyata taman di rumahmu dalam kondisi basah. Terlintas dua kemungkinan di pikiran, apakah tadi malam hujan? Ataukah kamu lupa menutup keran di taman? Probabilitas terjadinya kedua kemungkinan tersebut akan berbeda tergantung dari kepercayaan yang telah terbentuk berkat pengalamanmu (prior belief) dan fakta-fakta yang kamu ketahui.
Sebagai pengguna metode Bayesian yang baik, pertama-tama kamu akan bertanya pada diri: Apakah aku tinggal di Las Vegas atau Thailand (mengingat dua daerah ini memiliki pola musim hujan yang berbeda)? Apakah aku seseorang yang pelupa? Apakah ramalan cuaca kemarin memprediksi terjadinya hujan? Dengan mengikuti metode Bayesian, kamu akan memilih sebuah penjelasan tentang terjadinya sesuatu dengan probababilitas tertinggi sesuai dengan situasi yang kamu hadapi.
Gagasan yang menyatakan bahwa kepercayaan seseorang dapat membentuk persepsinya tentang dunia sudah ada sejak berabad-abad yang lalu. Di awal abad ke-20, sejarawan seni, Ernst Gombrich, memopulerkan istilah beholder’s share yang berarti penonton/penikmat seni juga memiliki peran dalam menginterpretasikan sebuah karya seni. Secara tak langsung seniman bekerja sama dengan penikmat seninya dalam memberikan arti terhadap sebuah karya seni. Beliau percaya bahwa tidak ada mata yang benar-benar “murni”, atau dengan kata lain persepsi seseorang selalu saja diwarnai oleh konsep dan kepercayaan yang telah tertanam di pikirannya. Maka dari itu penafsiran akan sebuah karya seni akan selalu berbeda dari satu orang ke orang lain.
Hari ini, kebenaran dari istilah beholder’s share telah diperkuat oleh sains. Penulis sekaligus peneliti Yaïr Pinto, melalui percobaannya, menunjukkan bahwa ekspektasi kita akan sesuatu dapat mempercepat masuknya rangsangan visual kepada alam sadar. Dalam percobannya, pola-pola geometri yang berubah dengan cepat disorotkan kepada salah satu mata dari peserta penelitian, sementara gambar dari sebuah rumah atau wajah dimunculkan secara perlahan kepada mata yang lainnya. Mereka diminta untuk memencet tombol saat mereka melihat gambar wajah atau rumah. Ketika para peserta diminta untuk mencari gambar dari sebuah rumah, mereka lebih cepat untuk mendeteksi gambar rumah tersebut walaupun gambarnya belum terlihat begitu jelas. Hal yang sama terjadi saat mereka diminta untuk mencari gambar wajah. Percobaan ini menunjukkan bahwa ekspektasi (yang muncul karena adanya isyarat dari peneliti kepada peserta) memengaruhi kecepatan dari persepsi. Klik di sini untuk membaca penelitian Yaïr Pinto lebih lanjut.
Aspek-Aspek Pembentuk Rasa Keberadaan Diri (Sense of Self)
Sekarang kita sampai pada komponen terakhir dari consciousness, yakni: persepsi tentang diri kita (our self-perception). Menurut hasil penelitian penulis, rasa keberadaan diri (sense of self) juga merupakan hasil dari halusinasi otak yang terkontrol; dan ini bukanlah sensasi tunggal, akan tetapi sensasi ini terbuat dari berbagai macam aspek, diantaranya adalah:
Wujud diri (embodied selfhood): Rasa bahwa tubuh kita, milik kita
Perspektif diri (perspectival selfhood): Kita melihat dunia dari sudut pandang tertentu
Kemauan diri (volitional selfhood atau free will): Kita percaya bahwa tindakan kita berada di bawah kendali kita sepenuhnya
Narasi diri (narrative self): Identitas diri yang dibangun berdasarkan sejarah unik dan pengalaman dari tiap manusia
Sisi sosial diri (social self): Bagian dari diri yang sadar tentang bagaimana orang lain melihat kita
Tentunya kamu tidak memandang lima aspek tersebut sebagai bagian diri yang berbeda; mereka semua campur aduk menjadi satu dalam sebuah pengalaman menjadi dirimu (sense of being you). Namun menurut penulis, dengan adanya rasa menjadi diri ini, tidak membuktikan tentang keberadaan jiwa atau roh (immaterial soul) dalam tubuh. Terdapat juga peristiwa yang mana salah satu aspek diri dari seseorang runtuh sehingga aspek tersebut tak berfungsi dengan baik, atau terkadang juga terdapat beberapa aspek diri yang saling mencoba untuk menguasai satu sama lain.
Pada kasus “alien hand syndrome” misalkan, aspek embodied dan volitional diri seseorang sedang dalam kondisi terganggu: mereka merasa seakan gerakan tangan mereka tak berada dalam kendali mereka. Dalam pengaruh anestesi, kejang epilepsi, atau di bawah pengaruh obat- obat tertentu, banyak orang merasakan “pengalaman di luar tubuh” (out of body experiences) yang mana ini menantang aspek perspectival selfhood dari seseorang. Percobaan-percobaan baru dengan perangkat Virtual Reality (VR) juga menunjukkan mudahnya bagi seseorang untuk merasakan kepemilikan atas tubuh orang lain. Dalam sebuah laboratorium bernama BeAnotherLab yang berlokasi di Barcelona, dibantu dengan perangkat VR, kamu seakan dapat bertukar tubuh dengan pengunjung lainnya, dan tak lama kemudian kamu merasa bahwa kamu telah menempati tubuh orang lain. Pengalaman-pengalaman ekstrim ini menunjukkan bahwa rasa menjadi diri sendiri (sense of self) itu tidak se-stabil yang kita bayangkan seperti saat kita berada pada kondisi normal.
Kesadaran merupakan Fungsi Alami dari Tubuh Kita
Pada abad ke-7, seorang filsuf Prancis, René Descartes, berpendapat bahwa semua mahluk hidup adalah “beast-machines” (mesin binatang buas), akan tetapi hanya manusia lah yang dilengkapi dengan roh murni yang tak berwujud (divine immaterial soul). Menurut penulis buku, pendapat Descartes ini separuh benar, memang tubuh manusia bekerja seperti mesin, akan tetapi tubuh manusia tidak memerlukan roh yang tak berwujud untuk menjelaskan mengapa kita dapat menyadari keberadaan kita. Kesadaran merupakan bagian initrinsik dari tubuh kita yang masih hidup dan bernafas. Kesadaran adalah hasil dari proses evolusi biologi seperti bagian tubuh kita yang lainnya. Penulis juga menambahkan bahwa kesadaran merupakan “alat” lain yang berguna dalam rangka mempertahankan hidup kita.
Agar dapat memahami mengapa kesadaran itu berguna untuk bertahan hidup, kita perlu kembali melihat sejarah dari salah satu bidang sains yang terlupakan, yakni cybernetics. Di tahun 1970-an, cybernetics merupakan sebuah subjek penelitian yang mempelajari tentang komunikasi dan pengendalian tubuh pada hewan dan mesin. Penggemar cybernetics, William Ross Ashby dan Roger Conant, menjadi ujung tombak dari gagasan control-oriented perception. Pada dasarnya, hewan perlu mengatur fungsi-fungsi penting yang ada pada tubuh mereka seperti suhu tubuh dan level oksigen yang harus dipertahankan pada batasan tertentu. Control oriented perception membantu hewan dan manusia mengatur kondisi tubuhnya di saat ini dan masa depan dengan cara menuntun persepsi mereka menuju ke arah tertentu; contohnya, kita akan diarahkan untuk mencari-cari makanan ketika lapar atau melarikan diri dari predator saat dalam konidisi berbahaya.
Tentunya semua hewan secara terus menerus melawan hukum kedua dari thermodynamics yang kurang lebih berbunyi: semua sistem memeliki kecenderungan untuk hancur atau luruh seiring dengan waktu, menuju ke tingkat entropi (kekacauan) yang lebih tinggi. Saat kita masih hidup, tingkatan entropi kita cenderung rendah. Inilah alasannya mengapa semua hewan menciptakan model-model persepsi dari lingkungan mereka yang memungkinkan mereka untuk membuat prediksi dan beraksi demi meminimalkan entropi. Aspek volitional diri itu berguna karena dengan mempercayai bahwa tubuh berada dalam kendali kita sepenuhnya, kita mampu untuk belajar dan mencoba mencari cara-cara baru dalam menyelesaikan persoalan yang datang untuk mengacaukan kehidupan kita dengan lebih efektif.
Semoga penjelasan ini dapat dipahami kawan! Mohon maaf jika terdapat sesuatu yang belum jelas. Terima kasih sudah membaca!
Add a comment