-
Topik TulisanEkonomi
-
Sub Judul TulisanTeori Pasar Keuangan & Ekonomi Alternatif
- Berikan Komentarmu
Bahkan jika kamu tak pernah menginvestasikan sepeserpun uangmu pada saham atau obligasi, hidupmu tetap saja dipengaruhi oleh pasar. Jika kamu pernah mencari pekerjaan di saat krisis keuangan pada tahun 2008 sedang berlangsung, kamu akan tahu bagaimana berlangsungnya perbankan dan bisnis pada umumnya sangat tergantung pada kondisi ekonomi yang sehat. Jadi cukup masuk akal jika setidaknya kita memiliki pemahaman dasar tentang bagaimana ekonomi dan dunia bekerja. Melalui buku ini kamu akan mempelajari tentang teori pasar saham yang dianut oleh sebagian besar orang saat ini dan teori baru yang ditawarkan oleh penulis yang beliau sebut dengan “adaptive markets”.
“Hipotesis Pasar Efisien (Efficient Market Hypothesis)” Adalah Teori yang Secara Luas Diterima untuk Memahami bagaimana Pasar Bekerja
Secara sederhana, teori “Hipotesis Pasar Efisien (EMH)” berkesimpulan bahwa harga dari saham, obligasi dan aset investasi lainnya yang serupa akan selalu merefleksikan secara akurat tentang keuntungan, nilai umum, dan kesehatan dari sebuah perusahaan. Namun dalam beberapa tahun terakhir, banyak yang melihat bahwa teori EMH tidaklah sempurna, tetapi para akademisi dan ahli di sektor investasi masih menganggapnya sebagai teori terbaik yang ada di luar sana.
Mari kita lihat cara kerja EMH pada harga saham dari Morton Thiokol, sebuah perusahaan yang membantu NASA untuk membuat roket di tahun 1980. Morton juga yang menyebabkan ledakan dari Challenger Space Shuttle di tahun 1986 karena adanya bagian dari peralatan yang rusak. Sangat masuk akal jika harga saham dari Morton Thiokol terjun bebas beberapa menit setelah bencana melanda Challenger, ini menandakan bahwa ada sesuatu yang salah pada manajemen dan kegiatan operasional perusahaan.
Teori EMH dapat diandalkan karena teori tersebut dinilai mampu menampung kebijaksanaan kolektif (collective wisdom) dari para investor yang secara konstan menganalisa pasar dan merefleksikan penilaian terbaik mereka tentang bagaimana bisnis akan berjalan di masa depan pada harga di mana mereka bersedia untuk membeli dan menjual aset. Secara umum kita setuju bahwa dengan menyatukan seluruh ahli dengan pemikiran keuangan yang aktif, kita akan mendapatkan refleksi yang cukup akurat akan nilai perusahaan.
Karena terdapat kepercayaan yang tinggi terhadap keakuratan EMH, dinilai cukup sulit jika seseorang dapat “mengalahkan pasar” (atau mendapatkan keuntungan di atas rata-rata), karena ini berarti orang tersebut mampu mengamati sesuatu yang telah dilewatkan oleh para ahli yang ada di pasar. Karena kamu tak bisa mengalahkan pasar, maka saran umum yang akan kamu dapatkan adalah “bergabung dengan pasar” dengan berinvestasi secara jangka panjang, pada reksa dana (atau index funds) berisiko rendah yang biasanya terdiri dari gabungan saham yang nilainya cenderung stabil dari waktu ke waktu.
Dengan tetap berinvestasi pada index funds atau reksa dana dalam jangka panjang, seorang investor yang sabar dapat memanfaatkan kecenderungan dari harga saham yang cenderung meningkat seiring berjalannya waktu. Inilah prinsip dasar dari EMH yang digunakan oleh John Bogle untuk menciptakan Vanguard Index Trust, yang merupakan reksa dana pertama di dunia pada tahun 1976. Semenjak saat itu, bisnis reksa dana telah menjadi industri yang nilainya mencapai triliunan dolar.
Hipotesis Adaptive Market Memperhitungkan Elemen Manusia dalam Bidang Keuangan
Mungkin sekarang kamu bertanya-tanya, jika Efficient Market Hypothesis begitu akurat dan sederhana, mengapa krisis keuangan besar yang terjadi akibat kesalahan pasar dalam melakukan valuasi terhadap nilai aset seperti di tahun 2008 dapat terjadi? Jawaban dari
pertanyaan ini ada hubungannya dengan sifat manusia dan fakta bahwa mereka yang memegang kendali pasar sangat riskan terhadap membuat keputusan berdasarkan emosi yang tak rasional. Jadi, bahkan jika sebuah perusahaan dinilai sehat dari segala aspek, jika harga saham dari perusahaan tersebut turun untuk sesaat, ini dapat memicu terjadinya respons kepanikan di antara para trader (pedagang saham) karena mereka khawatir kehilangan terlalu banyak uang sehingga mereka memutuskan untuk menjual saham dari perusahaan tersebut. Fenomena seperti ini bisa dijelaskan oleh ilmu behavioral economics (Ekonomi Perilaku).
Maka dari itu, yang kita butuhkan adalah sebuah paradigma yang memperhitungkan aturan logis dari EMH dan aturan tak logis dari sifat manusia; dan kedua aturan ini dapat ditampung oleh hipotesis Adaptive Market. Pada dasarnya, hipotesis Adaptive Market melihat pasar dari sudut pandang evolusioner untuk menyadari bahwa segala hal terjadi karena sebuah alasan.
Contohnya, John Bogle mulai memperkenalkan sebuah fitur baru pada Vanguard Index Trust yang dikenal dengan “market cap weighted indexes”; ini merupakan bentuk respons terhadap kompetisi di industri yang semakin ketat dan upaya dari reksa dana Bogle untuk mengurangi peranan manager portofolio dalam mengatur proporsi saham dari tiap perusahaan. Karena reksa dana yang meggunakan fitur ciptaan John Bogle membutuhkan lebih sedikit pengawasan, maka mereka juga dapat menghemat banyak waktu dan uang; ini menjadikannya menarik di mata investor. Jika kita melihat fenomena ini melalui sudut pandang evolusi, maka tak heran jika fitur ini dapat ditemukan pada setiap reksa dana yang ditawarkan di pasar pada saat ini; ini adalah hasil dari kompetisi, inovasi dan seleksi alam yang berlangsung dalam lingkungan dari pasar yang efisien.
Sama halnya, kita juga sebaiknya mempertimbangkan karakteristik manusia yang tampak tak logis, seperti rasa percaya diri yang berlebihan dan juga takut kehilangan uang sebagai hal yang natural dari keinginan kita untuk bertahan dalam lingkungan sistem ekonomi.
Manusia Sering Kali Tak Rasional saat Berurusan dengan Uang
Salah satu limitasi dari Efficient Market Hypothesis adalah teori ini mengasumsikan bahwa aksi investor yang rasional akan mengungguli dampak yang ditimbulkan oleh investor yang irasional. Padahal kita semua setuju bahwa manusia pasti akan berbuat kesalahan dan membuat penilaian yang buruk pada beberapa waktu tertentu; lalu pertanyaannya adalah “seberapa buruk perilaku ini dapat mempengaruhi pasar?”. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita pahami dulu seberapa irasionalnya manusia saat berurusan dengan pengambilan risiko, menentukan probabilitas dan membuat keputusan finansial.
Psikolog bernama Daniel Kahneman dan Amos Tversky pernah melaksanakan sebuah riset yang membuktikan bahwa kita cenderung merasakan luka emosional atau psikologis yang lebih dalam saat kehilangan sesuatu (baik secara nyata ataupun baru hanya potensi saja) dibandingkan rasa senang yang dirasa saat mendapatkan keuntungan yang sama besarnya. Misalkan, luka dari kerugian sebesar Rp 100.000 akibat berinvestasi itu cenderung lebih sakit dibandingkan dengan rasa senang yang ditimbulkan saat mendapatkan keuntungan sebesar Rp 100.000. Terkadang efek psikologis dari mengalami kerugian atau potensi kerugian ini dapat memicu seseorang untuk melakukan perilaku berisiko yang justru membuat kerugian tersebut semakin besar atau bertambah parah. Kecenderungan ini disebut dengan loss aversion (keengganan akan kehilangan). Ini adalah konsep yang penting untuk dipahami mengingat perilaku ini memainkan peran besar terhadap inefisiensi di bidang keuangan.
Salah satu kejadian buruk terkait dengan loss aversion pernah dialami oleh Jérôme Kerviel, seorang trader junior di bank investasi Prancis bernama Société Générale. Di tahun 2008, Kerviel mengalami kerugian sebesar €4.9 miliar setelah ia mencoba untuk menutupi kerugian- kerugian kecil melalui keputusan-keputusan trading yang ceroboh, lagi dan lagi. Tekanan psikologis dari fenomena loss aversion justru mendorongnya untuk memperbesar investasi nya pada aset-aset yang berisiko (namun memiliki potensi keuntungan besar) alih-alih menghentikan kerugiannya pada titik itu saja. Untuk lihat video kisah Jérôme, klik di sini.
Kecenderungan tindakan irasional lain yang sering dilakukan manusia disebut dengan probability matching yang terjadi ketika kita mencoba untuk memprediksi apa yang terjadi selanjutnya. Misalkan kamu sedang bermain roulette wheel. Setelah menyaksikan beberapa putaran terakhir, kamu memperhatikan bahwa bola lebih sering jatuh di kantong bola berwarna merah dari pada hitam; bahkan 75% dari keseluruhan putaran, bola jatuh pada kantong merah. Karena adanya efek probability matching yang berlangsung di pikiran, instingmu akan mengarahkan 75% dari pilihan taruhanmu pada kantong merah. Namun, jika trend 75% bola jatuh pada kantong merah ini berlanjut, dan kita hanya menaruh 75% dari pilihan kita pada kantong merah, maka kemungkinan kita untuk menang hanyalah sebesar 62.5%. Pilihan yang lebih pintar namun kurang manusiawi adalah dengan 100% meletakkan pilihan pada kantong merah sehingga kemungkinan menangmu menjadi 75%.
Perilaku Manusia Dibentuk oleh Emosi dan Insting
Apa yang sebenarnya membuat kita begitu rentan terhadap kecerobohan dan keputusan yang tak rasional saat berurusan dengan uang? Ilmu saraf berpandangan bahwa aktivitas pembuatan keputusan manusia terhubung erat dengan bagian emosional dari otak. Contohnya, seks, judi dan cocaine memacu mekanisme yang sama di otak kita, yakni dilepaskannya zat neurokimia bernama dopamine yang memberikan sensasi menyenangkan dan memuaskan. Melalui penelitian yang menyeluruh, para ahli saraf menyimpulkan bahwa dopamine memaikan peranan penting dalam menyebabkan manusia untuk mengambil risiko yang tak masuk akal.
Pengetahuan ini telah dimanfaatkan oleh industri perjudian di mana slot machines didesain sedemikian rupa agar otak terus memompa dopamine pada tingkat tertentu sampai-sampai para pejudi tetap memainkan permainan walaupun ia telah kehilangan cukup banyak uang. Mesin tersebut mampu melakukan manipulasi psikologis dengan membingkai kerugian layaknya sang pejudi hampir mendapatkan jackpot; terbukti, metode ini mampu memicu dilepaskannya dopamine. Untuk meraih jackpot, biasanya pemain harus berhasil mendapatkan tiga gambar sama yang tersusun secara sejajar setelah tuas dari slot machines ditarik. Namun sering kali, hanya dua gambar yang sama yang muncul secara sejajar; ini memberikan kesan jika pemain hampir memenangkan jackpot. Kejadian hampir menang ini memberikan efek senang yang lebih signifikan.
Jika aktivitas ini dilakukan berulang kali pada jangka waktu tertentu, maka aktivitas ini akan berubah menjadi kebiasaan yang berujung pada kecanduan yang merusak diri. Hal lain yang perlu diketahui adalah, saat kita berada pada situasi emosional akibat pengaruh dopamine, sangat mungkin bagi kita untuk membuat keputusan berdasarkan impuls/hasrat mendadak dibandingkan berdasarkan pertimbangan rasional.
Untuk memahami fenomena tersebut, seorang pilot perlu berlatih berulang kali. Saat mesin jet dari sebuah pesawat mati mendadak dan menyebabkan pesawat tak mampu mempertahankan ketinggiannya, sangat wajar jika seorang pilot mengikuti instingnya untuk menarik tuas kendali. Akan tetapi, aksi ini justru akan menyebabkan pilot semakin kehilangan kendali atas pesawatnya dan membuat pendaratan yang aman menjadi semakin tak mungkin. Yang seharusnya dilakukan pilot adalah mengarahkan bagian hidung pesawat ke arah bawah untuk meningkatkan kecepatan demi mendapatkan gaya angkat yang cukup besar saat pesawat semakin mendekat ke permukaan bumi sehingga pendaratan yang mulus dapat dilakukan. Karena respons semacam ini melawan intuisi alami dari manusia, maka pilot-pilot penerbangan harus melalui latihan berratus-ratus jam agar insting lama mereka dapat diganti dengan kebiasaan yang baru.
Survival of the Richest (Kelangsungan Hidup yang Terkaya) Merupakan Kekuatan Besar di belakang Kompetisi, Inovasi dan Adaptasi
Kamu mungkin sudah pernah mendengar istilah “survival of the fittest” yang merupakan inti sari dari teori seleksi alam temuan Darwin. Teori tersebut menyatakan bahwa hanya mereka yang mempunyai karakteristik optimal yang akan mampu bertahan hidup dalam lingkungan dan spesies tertentu, dan di kemudian hari, kita akan melihat karakteristik tersebut menjadi lebih dominan. Akan tetapi, dalam ekonomi dan linkungan pasar keuangan, kita dapat melihat bahwa yang telah menjadi hukum adalah “survival of the richest” (kelangsungan hidup yang terkaya). Fenomena ini mungkin dapat diilustrasikan secara sempurna pada proses perkembangan dari perusahaan hedge funds (dana lindung nilai) dari tahun ke tahun.
Pada dasarnya hedge funds adalah kerja sama antara investor kaya raya untuk membeli aset- aset yang mendatangkan keuntungan besar di masa mendatang. Adanya hedge funds merupakan gagasan dari seorang ahli statistik sekaligus sosiolog bernama Alfred Winslow Jones. Di tahun 1949, dengan uang sejumlah $100.000, Jones memulai hedge fund pertamanya sebagai lembaga untuk membeli saham-saham perusahaan menarik yang ia prediksi akan bertumbuh dengan baik dan di saat yang sama Jones melakukan short selling atas saham-saham yang ia percaya akan turun nilainya. Jika diamati, ia sedang menerapkan strategi untuk melindungi nilai dari “taruhannya” dan memperkecil risiko yang memang ada pada aktivitas investasi; maka tak heran nama dari lembaga ini adalah dana lindung nilai.
Dua dekade kemudian, hedge fund pertama usungan Jones menghasilkan keuntungan tahunan lebih dari 20%. Berkat gagasannya, kisah Jones diliput dalam bagian profile di majalah Fortune. Walaupun metode sebenarnya yang digunakan oleh hedge funds untuk berinvestasi masih menjadi rahasia, banyak hedge funds baru mulai bermunculan. Ini adalah karakter evolusioner dari pasar adaptif (adaptive market) yang sedang beraksi: yakni kemunculan spesies baru yang lebih superior sehingga mereka menggandakan diri dan mendominasi. Tentunya, tak semua hedge funds mampu membuat keputusan yang tepat, dan biasanya mereka yang lemah akan segera mati. Tetapi hedge fund yang efektif akan menjadi semakin sukses, dan hingga hari ini masih banyak hedge fund baru bermunculan sembari proses seleksi alam di pasar tetap berlangsung.
Hipotesis Pasar Adaptif (Adaptive Market) Dapat Digunakan untuk Membuat Keputusan Keuangan yang Lebih Baik
Seperti yang kita ketahui di bab sebelumnya, ketika pasar yang efisien bekerja dengan benar, semua harga saham di pasar mencerminkan nilai sebenarnya dari perusahaan tersebut. Kondisi ini dikenal sebagai state of equilibrium (keadaan keseimbangan). Menurut EMH, harga-harga cenderung mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu, tetapi pada akhirnya pasar akan kembali pada keadaan seimbang (equilibrium). Dan inilah alasannya mengapa investasi jangka panjang merupakan sesuatu yang masuk akal karena strategi ini memberikanmu kesempatan untuk melihat redanya fluktuasi; kamu tahu bahwa ini hanyalah masalah waktu saja hingga akhirnya investasimu menampakkan nilai yang sebenarnya. Secara teori strategi ini terdengar baik, namun Adaptive Market Hypothesis mampu memberikan strategi yang lebih baik.
Bagaimanapun juga, terdapat beberapa pasar yang harus melalui masa-masa suramnya lebih lama dari jangka waktu yang investor bisa tunggu. Contohnya, pasar saham Jepang anjlok di tahun 1991 dan tetap mandek pada level tersebut hingga 20 tahun mendatang; periode ini dikenal sebagai “the lost decades”. Tak ada investor manapun yang mau menunggu selama itu hingga akhirnya equilibrium tiba, dan terkadang menjadi pemain pasif bukanlah strategi yang terbaik bagi para investor. Namun, beradaptasi terhadap kondisi pasar yang terus berubah merupakan strategi yang lebih baik.
Katakanlah harga saham menurun secara drastis akibat aksi dari segelintir investor yang ingin menjual saham tersebut bagaimanapun caranya. Jika dilihat dari kaca mata EMH, investor disarankan untuk mengacuhkan anjloknya harga karena mereka percaya bahwa pada akhirnya harga akan kembali lagi pada level yang sebelumnya (atau bahkan lebih tinggi). Namun, pada kasus-kasus seperti ini, sebuah perilaku yang disebut dengan behavioral premium dapat muncul ke permukaan: perilaku ini terjadi ketika aksi yang irasional dari segelintir investor menjadi pemikiran yang dominan di pasar sehingga memicu para investor lain untuk menjual saham tersebut, akibatnya ini menimbulkan dampak buruk terhadap nilai jangka panjang dari perusahaan. Dalam skenario ini, bergantung pada teori pasar efisien merupakan tindakan yang kurang bijaksana. Reaksi yang lebih baik adalah dengan menggunakan pendekatan yang lebih dinamis dan selalu siap untuk mengubah struktur portofolio investasimu berdasarkan pada situasi yang sedang berlangsung. Pada contoh di atas, ini berarti kamu bersedia untuk menjual saham yang nilainya terus menurun.
Krisis Keuangan Merupakan Akibat dari Perkembangan Pasar yang Tidak Diawasi dengan Benar
Setelah krisis keuangan 2008 terjadi, investor mengalami saat-saat sulit dalam menentukan bagaimana sebaiknya bereaksi, banyak dari mereka yang mulai menyalahkan pihak lain dan mencoba mencari-cari penjelasan. Jadi apa yang sebenarnya terjadi? Sebagian besar dari krisis keuangan merupakan sebuah fenomena di saat kondisi pasar berubah lebih cepat dari pada kemampuan para investor untuk beradaptasi.
Selama ini, adaptasi terjadi dalam waktu yang relatif lama. Contohnya, sang hiu putih besar (great white shark) membutuhkan waktu sekitar 400 juta tahun untuk menjadi salah satu hewan yang paling mematikan di lautan. Namun, ketika kamu menempatkan hiu tersebut di daratan, ia tak akan mampu beradaptasi untuk menghadapi kondisi yang benar-benar berbeda; dalam waktu yang tak lama, ia akan mati.
Hal yang sama dihadapi oleh institusi keuangan pada umumnya. Mereka telah menghabiskan beberapa dekade untuk melakukan hal yang sama dengan cara yang sama sehingga akan kesulitan untuk menghadapi perubahan radikal. Di tahun 1990-an, pasar keuangan mengalami serangkaian perubahan cepat yang tak pernah terjadi sebelumnya; inti dari perubahan ini terkait dengan tingkat bunga baru dari hipotek yang dapat disesuaikan (new adjustable-rate mortgages). Hipotek sendiri merupakan kredit berjangka panjang yang dilakukan dengan memberikan hak tanggungan properti dari peminjam kepada pemberi pinjaman sebagai jaminan terhadap kewajibannya. Kredit Perumahan Rakyat (KPR) merupakan salah satu bentuk dari hipotek.
Untuk mengeruk lebih banyak keuntungan dari hipotek, institusi keuangan mengeluarkan sejumlah produk aset keuangan baru seperti collateralized debt obligations - CDO (hipotek- hipotek terbitan perbankan yang dikemas dalam sebuah sekuritas baru yang menjanjikan pembayaran bunga secara berkala kepada para pembelinya) dan credit default swap - CDS (sejenis asuransi yang dibeli oleh kreditur untuk melindungi dirinya dari sebuah kejadian di mana peminjam utang (debitur) tak mampu melunasi utangnya; kreditur diwajibkan untuk membayarkan premi kepada penerbit CDS selama gagal bayar belum terjadi). Produk-produk semacam inilah yang kemudian memicu para investor untuk berbondong-bondong “menginvesatsikan” uangnya.
Dengan adanya CDO dan CDS, industri perumahan pun menggelembung. Pada tahun 2003, lebih dari USD 30 miliar sekuritas yang nilainya didasarkan pada KPR atau hipotek sejenis diterbitkan di AS. Walaupun total nilai sekuritas tersebut sudah tidak wajar, beberapa ekonom masih tak sadar dengan konsekuensi-konsekuensi yang berpotensi untuk menghancurkan ekonomi. Kemudian di tahun 2006, harga rumah mulai memuncak dan bahkan cenderung menurun, akan tetapi bunga atas KPR semakin meningkat. Selain itu, seleksi atas siapa saja individu yang pantas mendapatkan KPR semakin longgar karena perbankan pun membutuhkan KPR tersebut untuk menjual produk CDO. Akibatnya, para pemilik rumah mengalami gagal bayar atas KPR mereka, dan memicu terjadinya reaksi berantai yang akhirnya berdampak pada merosotnya nilai saham dari bank-bank tersebut. Keadaan ini membuat pasar menjadi benar- benar panik. Industri hipotek runtuh dan membawa industri keuangan jatuh bersamanya. Untuk melihat penjelasannya secara lebih detil, klik link ini. Dengan melihat kejadian ini dari kaca mata Adaptive Market Hypothesis, kita dapat memahami lebih baik tentang apa yang telah terjadi. Akan tetapi, apakah teori pasar adaptif dapat mencegah terjadinya kehancuran industri hipotek sejak awal?
Adaptive Market Hypothesis tak Hanya Dapat Memperbaiki Sistem Keuangan Kita
Sejarah telah memberi tahu kita bahwa kita membutuhkan perundang-undangan yang lebih baik untuk mencegah terjadinya keputusan-keputusan yang didasarkan pada keserakahan dan ketakutan yang dapat menumbangkan ekonomi kita. Perundang-undangan dapat memainkan peran penting untuk menjaga sistem keuangan kita tak keluar dari jalurnya. Setelah kecelakaan USAir Flight 405 di tahun 1992, National Transportation Safety Board (NTSB) Amerika menyimpulkan bahwa kecelakaan tak disebabkan oleh teknologi yang rusak atau perilaku yang menyimpang yang dilakukan oleh para kru; akan tetapi, ini adalah hasil dari sistem yang cacat dalam industri penerbangan itu sendiri. Karena NTSB adalah organisasi independen yang terpisah dari industri penerbangan, mereka dapat mengadakan investigasi secara efektif dan menghasilkan investigasi yang tak bias. NTSB berani untuk menunjuk maskapai penerbangan mana saja yang melakukan kecerobohan dan regulasi apa saja yang masih kurang.
Jika kita benar-benar ingin mencegah terjadinya krisis keuangan di masa mendatang, kita membutuhkan lembaga keuangan yang independen dan sebanding dengan NTSB untuk menginvestigasi dan menganalisa permasalahan demi menentukan regulasi yang lebih baik. Tak ada alasan mengapa industri keuangan harus selalu dikaitkan dengan keserakahan dan egoisme, ketika industri tersebut dapat menggunakan kekuatannya untuk kebaikan manusia secara menyeluruh.
Contohnya, saat ini hanya ada sedikit sekali investasi swasta (private investment) yang disalurkan di bidang biomedicine karena bidang ini tergolong mempunyai risiko tinggi (yang berarti hasil dari investasi tersebut baru bisa dirasakan lebih dari sepuluh tahun mendatang). Namun, jika kita bisa memberikan bidang ini perhatian yang sama besarnya dengan industri lain, sangat mungkin bagi kita untuk menemukan obat kanker yang efektif dalam waktu dekat.
Penulis berandai-andai, mungkin kita bisa membentuk dana investasi yang bernama “CancerCures” yang dikelola oleh sebuah panel yang terdiri dari para ahli biomedical dan investor berpengalaman dibidang kesehatan. Dari dana tersebut, dapat dibentuk 150 proyek penelitian independent yang didanai oleh investor umum melalui penggunaan obligasi yang mirip dengan skema pendanaan selama perang dunia kedua berlangsung. Proyek-proyek penelitian ini dapat diatur dengan cara yang terdiversifikasi untuk mengurangi risiko dan menawarkan kemungkinan didapatkannya tingkat keuntungan yang pantas bagi para investor. Dengan 150 proyek independen yang meneliti bermacam upaya pengobatan, kita dapat memberikan estimasi probabilitas keberhasilan sebesar 98% bahwa tiga dari 150 proyek tersebut dapat berhasil. Skema semacam ini mengombinasikan investasi massal dengan pembayaran yang terjamin dan bisa diterapkan pada proyek yang mempunyai tujuan mulia.
Semoga ringkasan ini bermanfaat kawan!
Add a comment