Setelah menemukan ide akan sebuah produk dan menciptakannya, apa yang biasanya akan kamu lakukan selanjutnya agar bisnismu dapat semakin dikenal? Hampir pasti kamu akan mencari nama yang mudah diingat, membuat logo merek yang mencerminkan nilai dari produk, dan kamu juga akan membuat sebuah website sebagai media untuk mendapatkan pelanggan secara daring. Ya, di era digital ini, website adalah media yang cukup efektif untuk mendapatkan pelanggan mengingat orang pada umumnya sudah mulai menggunakan search engine untuk mencari produk yang mereka butuhkan. Maka dari itu, website untuk bisnismu perlu dioptimalkan formatnya agar dapat digunakan semudah mungkin oleh calon pelanggan. Cara yang cukup efektif untuk mengoptimalkan website adalah dengan menerapkan A/B Testing yang akan membantu kita untuk memahami perilaku dari pengunjung website.
Lakukan A/B Testing Untuk Mengoptimalkan Website Anda
Berkat internet, saat ini perusahaan serta UMKM memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menemukan pelanggan baru secara daring dari berbagai wilayah. Yang dibutuhkan hanyalah sebuah website yang bisa digunakan untuk memperlihatkan barang dan memfasilitasi transaksi pembelian. Walaupun sepertinya terdengar mudah, meyakinkan pengunjung untuk membeli sebuah produk adalah hal yang cukup sulit untuk dilakukan, terlebih jika produk tersebut masih belum dikenal oleh banyak orang. Untuk mencari tahu format dan desain website seperti apa yang dapat memicu pelanggan untuk membeli produkmu, kita bisa menerapkan strategi A/B Testing.
Prinsip di balik A/B Testing cukup sederhana: dengan memperlihatkan versi yang berbeda dari website (entah itu dari segi tampilan, gambar, pengalaman, serta format) ke beberapa pengunjung website yang dipilih secara acak dalam satu periode waktu yang cukup pendek, kamu dapat mengetahui versi website mana yang paling efektif untuk mendorong pelanggan berperilaku sesuai dengan keinginan perusahaan.
Kita bisa mempelajari penerapan A/B Testing dari kampanye Calon Presiden Obama di tahun 2008. Melalui websitenya, pengunjung bisa mendaftarkan alamat email mereka untuk mendapatkan newsletter seputar program yang sedang beliau jalankan atau pengunjung juga bisa berdonasi untuk mendukung keberlangsungan dari kampanye. Pada awalnya, hanya ada satu versi dari website kampanye, yakni halaman yang menampilkan foto Obama yang berdiri di depan ratusan pendukungnya yang beberapa di antaranya sedang mengibarkan bendera “Obama 2008”; sementara kolom dan tombol pendaftaran email (sign up) terletak tepat di bawah gambar tersebut.
Masih belum puas dengan hasilnya, tim kampanye masih mempertanyakan apakah ini merupakan kombinasi gambar dan desain kolom sign up yang paling optimal untuk mempengaruhi perilaku pengunjung website. Setelah melakukan proses A/B Testing, tim menemukan satu format halaman yang paling optimal, yakni halaman dengan foto Obama yang sedang di kelilingi oleh keluarganya serta menggantikan tulisan “Sign Up” pada tombol daftar dengan “Learn More”. Dengan format tersebut, kemungkinan untuk pengunjung membagikan alamat email mereka 40,6% lebih tinggi dari pada format sebelumnya. Hingga akhir dari kampanye, perubahan format website ini telah membantu tim memperoleh 2,8 juta email tambahan dan menghasilkan donasi sebesar $57 juta. Metode A/B Testing ini menawarkan sebuah keunggulan yang tak bisa akses sebelumnya. Dulunya, teknologi ini cukup membingungkan dan mahal untuk diterapkan, namun saat ini, banyak software A/B Testing ditawarkan dengan harga yang cukup terjangkau. Platform yang paling sering digunakan di antaranya adalah Optimizely dan Google Optimize.
Untuk Memulai A/B Testing, Diperlukan Hipotesis dan Definisi Kesuksesan Yang Jelas
Sebelum memulai A/B Testing, kamu harus benar-benar mengetahui tentang apa yang ingin kamu uji. Tanpa definisi kesuksesan dan hipotesis yang jelas, tes ini tak akan memberimu banyak informasi. Jadi tetapkan terlebih dahulu metrik-metrik kesuksesan yang dapat diukur – data ini harus relevan dengan tujuan yang ditetapkan.
Katakanlah, kamu sedang menjalankan sebuah perusahaan majalah daring. Bukanlah strategi yang baik jika dalam menerapkan A/B Testing kamu hanya mengukur jumlah klik terhadap sebuah artikel, sebab jumlah klik tak mencerminkan tentang apa yang dipikirkan oleh pembaca mengenai konten. Alih-alih, dengan mengukur jumlah share, komentar atau kunjungan berulang yang dilakukan oleh seorang pengunjung dapat memberi tahumu tentang konten seperti apa yang sedang dicari oleh para pembaca.
Sementara itu, jika kamu sedang menjalankan sebuah perusahaan e-commerce, metrik kesuksesan yang bisa diukur di antaranya adalah jumlah transaksi yang berhasil terlaksana, jumlah produk yang ditambahkan ke “keranjang”, atau jumlah pengunjung halaman dari sebuah produk. Tentunya, metrik ini akan tergantung dari model bisnis serta produk / jasa apa yang sedang dijual.
Lalu apa yang dimaksud dengan hipotesis yang jelas? Untuk mempermudah penjelasan, mari kita lihat kembali sebuah kasus: Di tahun 2010, sebuah program bernama “The Clinton Bush Haiti Fund” dijalankan untuk membantu korban bencana gempa bumi di Haiti. Pada awalnya, halaman website dari program ini hanya terdiri dari tulisan tentang penjelasan mengenai program dan kolom penginputan data bagi para pengunjung yang ingin berdonasi. Tim kampanye berhipotesis bahwa dengan menambahkan gambar di atas kolom penginputan data donasi, maka jumlah kontribusi dari pengunjung akan meningkat; akan tetapi hal yang terjadi justru sebaliknya. Maka dari itu, hipotesis baru perlu dibentuk: Adanya gambar justru mengurangi jumlah donasi karena pengunjung harus menggulirkan halaman website agak jauh ke bawah untuk menemukan kolom input data donasi, letak kolom yang tak strategis membuat pengunjung malas untuk berdonasi karena proses ini terlalu memakan banyak waktu. Karenanya, mereka memutuskan untuk mengubah strategi dengan menempatkan gambar bersebelahan dengan kolom donasi. Ternyata hipotesis mereka benar dan strategi yang baru menghasilkan donasi lebih dari USD 1 juta untuk Haiti. Jika saja mereka mencoba hal secara acak tanpa memiliki hipotesis yang jelas, kecil kemungkinannya untuk strategi ini diterapkan.
Lakukan A/B Testing Sebelum Melakukan Perubahan Besar Terhadap Website
Kita tahu bahwa Disney memiliki beberapa stasiun televisi, salah satunya adalah ABC Family. Disney ingin bereksperimen dengan halaman beranda dari website ABC Family menggunakan metode A/B Testing. Untuk melihat perilkau dari pengunjung selama ini, tim menggunakan data yang diperoleh dari tab pencarian sebagai media pengunjung untuk menemukan acara TV. Dari data tersebut diketahui bahwa selama ini sebagian besar pengunjung hanya mencari beberapa acara TV tertentu saja. Jadi alih-alih melakukan perubahan kecil terhadap beranda, mereka memutuskan untuk mendesain website dengan struktur yang sangat berbeda dari sebelumnya dengan menampilkan semua acara TV yang paling sering dicari di halaman beranda. Harapannya, ini akan memudahkan pengunjung untuk menemukan konten yang sesuai. Target awal yang mereka tetapkan adalah meningkatnya jumlah klik terhadap konten acara TV sebesar 20%, namun kenyataannya berkat A/B Testing, tingkat interaksi pengunjung dengan website meningkat hingga 600%.
Perusahaan pemroduksi pakaian bernama Chrome Apparel juga memanfaatkan A/B Testing untuk memahami perilaku pelanggan sebelum melakukan perubahan besar terhadap website. Pada awalnya, di bagian utama dari halaman beranda ditunjukkan 3 kotak dengan konten promosi berbeda yang disusun secara horizontal dan acak. Mereka berasumsi bahwa kotak yang berada di sebelah kiri memiliki performa paling baik mengingat manusia terbiasa untuk membaca dari sebelah kiri ke kanan. Namun, saat A/B Testing terlaksana, tim menemukan bahwa jumlah klik yang dihasilkan oleh kotak yang berada di posisi tengah selalu mengungguli kotak promosi lainnya tanpa memedulikan isi konten promosinya. Jadi, jangan sampai kamu melewatkan proses A/B Testing saat kamu ingin melakukan perubahan besar terhadap website.
Sederhanakan Tampilan Website-mu Untuk Meningkatkan Interaksi Pengunjung
Pernahkah kamu memiliki pengalaman di mana di saat mengunjungi sebuah website, kamu dibombardir dengan gambar-gambar berisi iklan yang letaknya tak beraturan, jendela pop- up yang muncul berulang kali, dan permintaan untuk mendaftarkan diri sebagai pengguna dari sebuah website? Apa reaksimu? Hampir bisa dipastikan bahwa kamu akan meninggalkan website tersebut tanpa berpikir panjang. Menurut penulis, prinsip utama yang harus dilaksanakan saat mendesain sebuah website adalah “less is more” (semakin simpel, semakin baik). Banyak kejadian dari proses A/B Testing menunjukkan bahwa menghilangkan kolom yang tidak terlalu penting dapat memiliki pengaruh besar terhadap interaksi pengunjung.
Mari kita bahas kembali bagaimana cara tim Optimizely mengoptimalkan halaman utama dari website donasi Clinton Bush Haiti Fund. Berdasarkan data yang diamati oleh tim, terdapat dua kolom yang sepertinya tak begitu penting dan hanya akan memperlambat proses donasi yakni, kolom input data “nomor telepon” dan “gelar”. Selain itu, lembaga amal yang bertanggung jawab juga tak membutuhkan informasi nomor telepon selama pengunjung website masih mencantumkan alamat emailnya. Akhirnya, tim Optimizely memutuskan untuk menjalankan A/B Testing dengan membuat versi halaman tanpa adanya dua kolom tersebut. Perubahan kecil ini menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan di mana jumlah donasi yang diberikan meningkat sebesar 11% untuk tiap pageview (halaman yang ditampilkan).
Untuk semakin menyederhanakan tampilah website, kamu juga bisa memanfaatkan hide functions atau membagi satu halaman formulir penginputan data yang cukup panjang menjadi beberapa halaman. Hide function adalah sebuah fitur yang dapat menampilkan informasi hanya ketika informasi tersebut dibutuhkan. Perusahaan yang bernama “Cost Plus World Market” memanfaatkan hide function untuk menyembunyikan kolom “kode promosi” dan “pilihan berbelanja” di halaman checkout-nya untuk mempercepat proses pembelian barang. Fitur yang cukup sederhana ini mengurangi kerumitan tampilan di halaman checkout dan berhasil meningkatkan pendapatan untuk tiap pengunjungnya sebesar 15.6%.
Namun tetap saja ada kasus di mana kolom penginputan data tidak bisa dihilangkan atau disembunyikan karena data tersebut dibutuhkan. Yang kamu bisa lakukan di situasi tersebut adalah dengan membagi formulir pengisian menjadi beberapa halaman. Pendekatan ini sangat membantu tim kampanye “Pilih Lagi Obama di tahun 2012”. Mereka berpendapat bahwa halaman formulir input data masih terlalu panjang, namun semua informasi tersebut diperlukan tim untuk menyusun kampanye yang efektif. Akhirnya untuk membuat formulir terkesan lebih pendek, mereka membaginya ke dalam dua halaman – halaman pertama terkait dengan jumlah donasi, halaman kedua berisi tentang detail data personal. Lagi-lagi, tim berhasil mencapai target dengan menerapkan strategi ini.
Penggunaan Kata Yang Tepat Dalam Penyusunan Website Dapat Meningkatkan Interaksi Pengunjung
A/B Testing telah menunjukkan berulang kali bahwa jika kamu menginginkan pengunjung website untuk berinteraksi dan mencoba fitur-fitur yang ditawarkan oleh website, kamu perlu menggunakan kata-kata yang tepat untuk “membujuk” mereka. Perjelas maksud dari kata-kata yang kamu tuliskan pada tiap tombol. Pada case website donasi Clinton Bush Haiti Fund, alih-alih menggunakan kata “Kirimkan” untuk tombol yang terletak di ujung halaman penginputan data donasi, tim A/B tester bereksperimen dengan menuliskan “Dukung Haiti” pada tombol yang sama. Tim tester memiliki hipotesis bahwa “kata-kata yang baru memperjelas tujuan utama dari donasi yang dikirimkan, yakni untuk mendukung Haiti”. Setelah dijalankan, ternyata halaman dengan kata “Dukung Haiti” menghasilkan lebih banyak sumbangan untuk tiap pageview-nya.
Tips efektif selanjutnya yang dapat “mendorong” pengunjung website untuk melakukan tindakan sesuai dengan keinginan kita adalah: sebisa mungkin gunakan kata kerja, bukan kata benda. Kata benda hanya mampu untuk mendiskripsikan sesuatu, akan tetapi kata kerja memiliki kekuatan untuk mengajak pengunjung melakukan sesuatu. LiveChat, sebuah perusahaan pencipta software yang memungkinkan bisnis untuk bercakap-cakap secara langsung dengan pengunjung dalam website, pernah mengadakan sebuah kampanye “free trial” (percobaan gratis) yang bertujuan untuk mendapatkan pelanggan baru. Seorang visual designer yang bernama Lucy Frank ingin menguji apakah halaman yang menggunakan kata kerja pada tombol “call to action” dapat membujuk lebih banyak pengunjung untuk mendaftarkan diri. Dalam A/B Testing nya, ia membuat dua variasi halaman dengan tulisan tombol call to action yang berbeda, yakni: “Free Trial” (percobaan gratis) dan “Try It Free” (coba gratis). Hanya dengan mengubah dua kata ini menjadi sebuah ajakan dengan kata kerja (Try It Free) dapat meningkatkan rasio click-throughsebesar 14.6%. Maksud dari rasio click-through di sini adalah kemungkinan pengunjung untuk mencoba produk; ini diperlihatkan dari formula: jumlah klik / jumlah penayangan iklan.
Kegagalan Dalam Melakukan A/B Testing Adalah Sebuah Anugerah
Prinsip yang berbunyi “sebuah kegagalan adalah anugerah” juga berlaku pada dunia A/B Testing. Dari kegagalan, kita bisa mempelajari begitu banyak hal. Saat kita mampu menemukan solusi untuk jalan buntu yang nampak tak signifikan di saat ini, bisa saja solusi tersebut akan membawa manfaat yang besar di masa mendatang. Mari kita amati kembali kasus dari Chrome Apparel: pada awalnya, tim marketing hanya menggunakan gambar untuk mempromosikan produk-produk urban biking nya di website. Tak lama kemudian mereka berpikir apakah dengan menggunakan video, tingkat konversi dari seorang pengunjung menjadi pembeli akan semakin meningkat. Namun hasil dari proses A/B Testing selama 3 bulan menunjukkan bahwa ditampilkannya video produk pada website tak begitu memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap tingkat konversi. Walaupun percobaan ini tak memberikan tambahan pendapatan untuk perusahaan, tim marketing mendapatkan satu informasi baru yang tak mereka miliki sebelumnya, yakni: menggunakan video sebagai media untuk mengkomunikasikan produk tak akan menurunkan jumlah konversi di masa mendatang.
Tak hanya itu, A/B Testing juga dapat memberimu informasi penting mengenai user. IGN, sebuah website yang memberikan informasi seputar video game, ulasan game, serta tips dan triks untuk memainkan game, belajar banyak hal tentang pengunjungnya melalui A/B Testing. Dalam rangka meningkatakan traffic kunjungan ke situs yang didesain khusus oleh IGN untuk memperlihatkan informasi dalam format video (yang tentunya memiliki porsi cukup besar terhadap pendapatan perusahaan), tim marketing IGN mencoba untuk mengamati apa yang terjadi saat tombol “Video” dipindahkan dari ujung sebelah kanan dari navigation bar ke ujung sebelah kiri. Ternyata, memindahkan letak dari tombol “video” mempunyai dampak buruk: tingkat klik terjun bebas sebesar 92,3%. Informasi ini tidak membuat mereka kecewa; justru berkat ini mereka sadar bahwa sebagian besar dari pengunjung mereka adalah pengunjung tetap. Maka dari itu, saat tombol dipindahkan, para pengunjung kebingungan mencarinya. Walaupun uji coba ini tak meningkatkan traffic dengan cepat, sekarang IGN mampu melihat seberapa banyak dari pengunjung yang merupakan pelanggan tetap, bukan pengunjung baru.
Yakinkan Rekan Kerjamu Untuk Mengimplementasikan Pendekatan Yang Berbasis Data Saat Mendesain Website
Layaknya gerakan politik yang membutuhkan aktivis dan pelobi, diperlukan seorang pencetus agar A/B Testing dapat terlaksana. Dan salah satu cara terbaik yang bisa digunakan untuk meyakinkan orang lain mengenai dampak positif yang timbul dari pendekatan berbasis data (data driven approach) adalah dengan mengkomunikasikan hasil dari tes-tes sederhana dengan hasil yang cukup signifikan yang diperoleh setelah A/B Testing diterapkan. Menunjukkan variasi desain web dan hasil tesnya secara teratur akan mampu meyakinkan stakeholder (pemangku kepentingan) bahwa pengujian berbasis data bisa bekerja.
Hal inilah yang dialami oleh Lizzy Allen saat ia bergabung dengan IGN sebagai seorang analis di tahun 2010. Allen terkejut bahwa tak ada seorang pun di perusahaan yang pernah mendengar tentang A/B Testing. Karenanya, beliau mendedikasikan waktu selama sebulan untuk memperkenalkan konsep A/B Testing kepada perusahaan. Untuk memastikan bahwa rekan kerjanya menyadari tentang adanya konsep A/B Testing, Allen menciptakan sebuah program bernama A/B Master Challenge. Pada program tersebut, para karyawan diminta untuk melakukan voting terhadap hasil yang paling memungkinkan dari A/B tests untuk tiap variasi desain/format website. Walaupun hampir semua orang gagal dalam membuat prediksi yang tepat, mereka mempelajari satu hal penting: mereka tak mengetahui banyak hal dan menjaga kerendahan hati dalam mendesain segala hal adalah prinsip yang harus dipegang teguh. Akhirnya IGN menyadari bahwa ada banyak hal yang bisa dipelajari dari pendakatan berbasis data dan menjadikan A/B Testing sebagai bagian dari kebijakan perusahaan.
Add a comment