Sebagian besar ahli ekonomi di TV dan koran cenderung mengikuti teori yang sama, yakni teori free market economics (ekonomi pasar bebas). Dengan banyaknya ahli yang memiliki pandangan yang sama mengenai ekonomi, kita sebagai orang awam mungkin ikut berpikir bahwa itu merupakan satu-satunya cara ekonomi bekerja. Namun menurut penulis, terdapat banyak kecacatan dalam teori ekonomi pasar bebas. Ada beberapa pendekatan lain yang lebih baik yang sering diabaikan oleh media-media besar.
Teori Ekonomi Pasar Bebas bukan Merupakan Ilmu Pengetahuan yang Objektif
Kamu mungkin ingat tentang krisis keuangan besar yang melanda dunia di tahun 2008 silam. Kamu juga mungkin ingat bahwa di bulan-bulan setelahnya, para ekonom kehilangan sebagian besar kepercayaan dari masyarakat. Menurut penulis, ini adalah reaksi yang wajar mengingat sikap arogan yang ditampakkan oleh para ekonom di tahun-tahun sebelumnya; mereka percaya bahwa merekalah satu-satunya pihak yang dapat memahami kerumitan dari teori ekonomi sepenuhnya. Kepercayaan ini membuat para ekonom mengabaikan kritik yang ditujukan kepada mereka sehingga teori ekonomi alternatif lainnya dianggap rendah.
Penulis justru berpendapat sebaliknya: 95% dari ekonomi dapat dipahami dengan menggunakan logika sederhana. Bayangkan, ketika kamu berkunjung ke sebuah restoran, kamu setidaknya mengetahui standar kebersihan seperti apa yang dapat diterima walaupun kamu sebenarnya bukan ahli epidemiologi. Sama halnya dengan ekonomi; prinsip-prinsip dasar dari subjek ini dapat dipahami oleh siapapun. Lagi pula, kamu tak perlu menjadi direktur dari sebuah Bank Sentral untuk mengetahui bahwa sebuah negara tak seharusnya menaruh sebagian besar uangnya pada jenis investasi yang berisiko; ini sama hal nya dengan berjudi.
Dalam beberapa dekade terakhir, terdapat satu teori ekonomi yang telah mendominasi dunia, yakni: neo-classical free market theory (teori pasar bebas neo klasik). Asumsi yang digunakan di dalam teori ini adalah: setiap individu dalam masyarakat bertindak sebagai agen yang rasional sekaligus egois yang hanya membuat keputusan ekonomi berdasarkan pada seberapa besar keuntungan yang akan didapatkan. Banyak ekonom juga yang menganggap teori ini layaknya ilmu pengetahuan alam yang akhirnya membuat mereka terlalu fokus pada teori-teori normatif dan melupakan aplikasinya pada dunia nyata. Tak seperti fisika yang merupakan ilmu pengetahuan objektif, ekonomi merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempunyai banyak ruang untuk teori-teori alternatif.
Individu Tak Dapat Membuat Keputusan-Keputusan Ekonomi yang Benar-Benar Rasional
Di tahun 1997, dua orang ekonom bernama Robert Merton dan Myron Scholes mendapatkan penghargaan Nobel Prize pada bidang ekonomi. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa ketika membuat keputusan ekonomi, seperti kemana uang harus diinvestasikan atau membeli produk tertentu, manusia membuat keputusan yang benar-benar rasional. Setelah memenangkan penghargaan prestisius tersebut, dua ekonom ini mengaplikasikan teori mereka ke dunia nyata. Akan tetapi, alih-alih menghasilkan banyak uang, perusahaan mereka justru bangkrut, tak hanya sekali, namun dua kali. Kegagalan dari Merton dan Scholes mengajarkan kepada kita satu poin penting, yakni: kamu tak bisa mengharapkan manusia untuk selalu bertindak rasional. Mengapa?
Agar dapat membuat keputusan yang rasional, tiap individu perlu mempertimbangkan setiap informasi relevan yang ada. Contohnya, sebelum memutuskan untuk menginvestasikan tabungan hari tua, kita perlu mengetahui setiap jenis investasi yang ada, tingkat risiko dan keuntungan dari tiap alternatif, dan lain sebagainya. Hanya saat kita memiliki semua informasi ini, keputusan yang terbaik baru dapat dihasilkan. Namun di dunia nyata, kita tak dapat memiliki dan memproses seluruh informasi yang ada sebelum membuat sebuah keputusan. Manusia memiliki keterbatasan. Kondisi ini disebut dengan bounded rationality (rasionalitas terbatas) yang berarti: dengan keterbatasannya, individu akan cenderung memilih sebuah keputusan yang dapat diterima (satisfactory) dibandingkan dengan keputusan yang optimal. Bentuk keterbatasan manusia diantaranya adalah kemampuan kognitif dari tiap individu dan waktu yang tersedia untuk membuat keputusan. Kita cenderung membuat keputusan yang dapat diterima sesuai dengan kondisi dan sumber daya yang kita miliki di momen tersebut.
Lalu apa yang harus kita lakukan agar masyarakat dapat menghasilkan keputusan ekonomi yang terbaik dengan keterbatasan yang ada? Penulis berpendapat bahwa agar masyarakat dapat menghasilkan keputusan terbaik, pemerintah harus membatasi pilihan ekonomi yang ada di pasar. Jika kita disajikan dengan pilihan-pilihan yang pengaruhnya dapat kita pahami, kita akan bisa membuat keputusan yang lebih baik. Pemerintah sebenarnya sudah melakukan hal ini di beberapa bidang. Contohnya, agen pemerintah mencegah penjualan obat-obatan tertentu yang efek sampingnya masih dipertanyakan, atau melarang dijualnya mobil-mobil tertentu dengan standar keselamatan yang buruk. Lalu mengapa kita tidak menerapkan aturan yang sama di industri keuangan?
Manusia itu Tidak Sepenuhnya Egois
Pernahkah kamu berkeinginan untuk keluar dan lari dari taksi yang baru saja kamu kendarai tanpa membayar uang sepeser pun? Selama sang pengemudi taksi bukanlah Usain Bolt, kamu hampir pasti bisa melakukan kejahatan tersebut. Walaupun terkadang pemikiran semacam ini terlintas di otak, kamu selalu saja mengabaikannya dan membayar argo taksi yang tertera. Dari sudut pandang ekonom free market, tindakan membayar biaya taksi ini merupakan tindakan yang irasional karena mereka berpendapat bahwa manusia diprogram hanya untuk bertindak secara egois.
Maka dari itu, untuk menjelaskan fenomena di atas, ekonom free market datang dengan asumsi tambahan yang menyatakan bahwa: untuk setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang, akan ada imbalan atau sanksi yang tersembunyi (hidden rewards and sanctions). Dengan kata lain, untuk setiap tindakan, terdapat biaya yang harus kita bayarkan atau keuntungan yang akan kita dapatkan dalam jangka panjang, yang dampaknya tidak akan dapat dirasakan secara langsung. Jadi, menurut ekonom free market, alasan utama mengapa kita membayar biaya taksi adalah kita tidak ingin membangun reputasi buruk sebagai manusia pengelak tarif. Seseorang dengan reputasi ini akan dijauhi oleh para supir taksi sehingga ia tak dapat menikmati jasa transportasi tersebut.
Namun menurut penulis, teori hidden costs and sanctions ini tidak berfungsi di dunia yang masyarakatnya egois. Kembali ke contoh taksi tadi. Jika saja kita sebagai penumpang kabur, maka peran untuk memberi sanksi penumpang jatuh di tangan supir. Karenanya, sang driver akan mengejar kita, memaksa kita untuk membayar argo taksi, dan mengambil gambar wajah kita untuk diperlihatkan kepada supir taksi yang lain di area setempat. Sewaktu melakukan ini, otomatis kendaraan dari supir tersebut tak ada yang mengawasi dan berisiko untuk dicuri atau dirusak pihak lain. Jika supir taksi hanya memikirkan dirinya sendiri, maka tak ada untungnya bagi dia untuk mengejar satu penumpang tadi – uang dari argo yang dia dapatkan tak seberapa, selain itu, mengapa ia harus membantu supir taksi lain untuk mengenali penumpang tadi?
Padahal faktanya, kita membayar argo taksi karena kita memiliki nilai-nilai kebaikan yang kita junjung seperti kejujuran, rasa hormat, dan saling menghargai. Kita tidak sepenuhnya egois.
Ekonomi saat ini Tak Memberikan Penghasilan yang Pantas untuk Didapatkan Masyarakat
Apakah kamu setuju dengan pernyataan “kita semua harus mendapatkan apa yang pantas untuk kita dapatkan”? Tentu terdengar masuk akal bukan? Yang dimaksud pantas pada
pernyataan tersebut datang dari sudut pandang siapa? Jika kamu dibayar sesuai dengan apa yang pasar anggap pantas untukmu, mungkin kamu akan melihat pendapatanmu turun pada tingkatan yang mengkhawatirkan. Namun hal ini tak terjadi di negara maju. Mengapa? Karena upah untuk pekerja di sana dilindungi dari tekanan pasar. Dengan kata lain, upah yang diberikan perusahaan akan tetap tinggi tanpa melihat seberapa berharga pekerjaan yang dilakukan. Apapun pekerjaanmu saat ini, akan ada manusia di negara lain yang bersedia untuk mengerjakan pekerjaan tersebut dengan upah yang lebih sedikit. Untuk menjaga agar upah yang diberikan perusahaan tetap tinggi, pemerintah di negara maju menerapkan kontrol imigrasi yang ketat untuk mencegah masuknya orang-orang dari negara berkembang untuk menjadi tenaga kerja di negara maju.
Contoh di atas menunjukkan bahwa bukanlah kemampuanmu yang menentukan seberapa besar gaji yang pantas kamu dapatkan, tetapi negara tempat kamu tinggal lah yang menjadi penentu utama. Jika kamu tinggal di negara yang makmur dan masyarakatnya produktif, secara otomatis gajimu akan terangkat. Bahkan jika kamu merupakan orang yang paling malas dan tak produktif di kantor, kamu akan tetap mendapatkan upah yang lebih tinggi dari pada seorang pekerja keras yang ada di negara miskin.
Krisis Keuangan Disebabkan oleh Risiko yang Secara Sengaja Diakumulasi dalam Sistem
Krisis keuangan di tahun 2008 benar-benar menumbangkan ekonomi dunia. Kejadian ini mengakhiri pertumbuhan ekonomi yang telah berlangsung selama satu dekade dan menundukkan beberapa perusahaan keuangan terbesar di dunia. Tetapi, banyak dari perusahaan yang terkena dampak dari keruntuhan ini, seperti AIG perusahaan asuransi raksasa dan Lehman Brothers bank investasi, merupakan pemeran utama dalam krisis keuangan ini. Bagaimana bisa?
Pada tahun-tahun sebelumnya, sistem keuangan telah menjadi semakin kompleks. Dalam rangka menemukan produk keuangan baru untuk diperdagangkan, obligasi (surat utang berjangka dengan suku bunga tertentu) yang mereka sebut dengan financial derivatives pun diciptakan. Jenis dari financial derivatives pun beragam, namun di tahun 2008, Mortgage Backed Security - MBS (Sekuritas dengan aset dasar KPR) merupakan penyebab utama dari krisis keuangan tersebut.
Mari kita sedikit bahas tentang MBS. MBS merupakan cara perbankan untuk mendapatkan kembali uang yang telah mereka pinjamkan kepada masyarakat umum untuk membeli rumah dalam waktu yang relatif singkat. Jika perbankan menunggu peminjam melunasi KPR nya, maka diperlukan waktu antara 10 – 20 tahun untuk mendapatkan kembali uangnya. Maka dari itu, perbankan memutuskan untuk “menjual” utang tersebut kepada investor lain dengan menjanjikan pembayaran bunga secara berkala. Dengan dijualnya KPR tersebut kepada investor, maka bank bisa mendapatkan kembali uang yang sempat “terkunci” dan bank pun berjanji akan membeli kembali utang tersebut dari investor saat peminjam telah selesai melunasi KPR. Untuk membaca lebih detil terkait MBS, silahkan klik tautan ini.
Untuk menciptakan produk MBS, diperlukan banyak sekali kontrak KPR. Namun kita tahu bahwa tidak semua peminjam KPR memiliki kemampuan bayar yang baik. Jika peminjam KPR gagal membayar hutang dan bunganya, maka otomatis MBS tak akan ada nilainya karena nilai dari MBS didasarkan pada KPR itu sendiri. Di saat krisis, banyak dari kontrak KPR yang mempunyai kualitas buruk dan investor tidak benar-benar mengetahuinya. Iming-iming pembayaran bunga secara berkala telah membutakan mata dari para investor. Selain itu, karakter dari financial derivatives yang cukup kompleks ini telah menyembunyikan risiko sebenarnya yang dimiliki aset tersebut. Pelajaran yang bisa kita ambil dari sini adalah: sebelum membeli produk investasi, pastikan kamu benar-benar paham cara aset tersebut bekerja sehingga kamu memahami risiko sebenarnya dari produk tersebut.
Ekonomi yang Diarahkan oleh Pemerintah Negara dapat Berjalan dengan Baik
Apakah sebaiknya pemerintah ikut campur dalam menjalankan ekonomi dari sebuah negara? Ekonom pasar bebas hampir pasti menjawab tidak. Dalam menyampaikan pendapatnya, mereka akan memberikan negara Soviet Bloc yang gagal dalam mengendalikan ekonomi sebagai contoh. Walaupun memang ada beberapa pemerintah yang gagal, penulis buku berkeyakinan bahwa pemerintah juga dapat memainkan peranan pentingnya dalam memicu pertumbuhan ekonomi. Mengapa? Karena negara memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai ekonomi negara secara keseluruhan dibandingkan dengan perusahaan individu; dan pengetahuan ini dapat digunakan untuk mendukung industri yang sedang menghasilkan banyak keuntungan.
Mari kita lihat apa yang terjadi di Korea Selatan. Pada awalnya, perusahaan elektronik LG ingin berfokus untuk melayani pasar tekstil, akan tetapi pemerintah tidak setuju. Pemerintah tahu bahwa LG akan lebih sukses saat mampu melayani pasar elektronik, dari situ LG mulai mengembangkan produk-produk elektroniknya. Dan ini bukan hanya kebijakan pemerintah di negara berkembang. Pemerintah AS pun dengan cukup teliti dan matang menudukung awal pengembangan dari internet, biotechnology dan industri pesawat udara. Namun, apakah yang membuat perencanaan oleh pemerintah Korea dan AS berhasil? Kuncinya ada pada pengendalian dan pengarahan yang tidak begitu berlebihan.
Jika negara mencoba untuk mengendalikan seluruh aspek dari ekonomi, seperti yang dilakukan di negara komunis, justru yang terjadi adalah kemandekan. Akan tetapi, jika peran negara hanya sebatas memandu sistem perekonomian dengan menetapkan target yang bebas terbatas, seperti target angka inflasi dan pengendalian angka suku bunga, maka negara dapat mencapai kesuksesan. Dalam melakukan ini, peran negara seolah seperti seorang CEO dari sebuah perusahaan. Tugas dari seorang CEO adalah menetapkan tujuan dan langkah-langkah strategis untuk memastikan bahwa bisnis yang dijalankan dapat menuju ke arah yang benar.
Kesejahteraan Sosial itu Penting untuk Pertumbuhan Ekonomi yang Kuat
Ekonom pasar bebas menyarankan pemerintah di seluruh dunia untuk memotong tunjangan kesejahteraan sosial. Mereka berpendapat bahwa dengan membayarkan tunjangan seperti bantuan pengangguran (unemployment allowance) atau holiday pay seakan menghamburkan uang untuk mereka yang tidak bekerja. Walaupun teori berkata demikian, bukti dari dunia nyata membuktikan sebaliknya. Negara-negara yang menyediakan banyak bantuan kepada masyarakat pengangguran, mempunyai ekonomi yang lebih dinamis jika dibandingkan dengan negara yang membatasi bantuan.
Alasannya jelas. Di negara dengan sedikit bantuan untuk para pengangguran, orang-orang takut untuk kehilangan pekerjaannya. Karenanya, para pekerja berusaha untuk mendapatkan pekerjaan di industri atau profesi yang paling aman seperti kesehatan atau hukum. Dua bidang ini memang berperan penting dalam kehidupan sosial, namun tak mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk meraih pertumbuhan, pemerintah perlu mendukung masyarakatnya untuk terjun ke industri atau bisnis yang lebih berisiko. Tak heran, bagi negara yang mampu memberikan dukungan lebih kepada pengusaha akan memiliki ekonomi yang lebih berkembang dari pada negara yang membiarkan para pengusahanya begitu saja saat mereka gagal tanpa adanya jejaring pengaman.
Hal lain yang sering dibicarakan oleh ekonom free market adalah trickle-down effect (efek menetes kebawah). Mereka berpendapat jika pemerintah dapat mengalokasikan lebih sedikit uang untuk tunjangan, maka mereka tak perlu lagi memungut pajak lebih dari masyarakat; dengan begitu orang-orang kaya dapat dengan bebas menginvestasikan uang mereka secara langsung ke dalam ekonomi. Uang yang diinvestasikan dalam bentuk pabrik dan perusahaan akan menyerap tenaga kerja dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Namun di negara di mana kebijakan ini diterapkan, hasilnya tak sesuai dengan harapan. Contohnya, di antara tahun 1979 dan 2006, 1% orang terkaya di Amerika Serikat justru menggandakan porsi pendapatan nasional mereka dari 10% menjadi 17.1%.
Kita Harus Berhenti Memperbaiki Negara Berkembang dengan Menggunakan Asumsi dan Kebijakan yang Salah
Orang barat yang mempertanyakan mengapa negara berkembang tak kunjung kaya mungkin harus mencari jawabannya pada kebijakan yang mereka sendiri terapkan kepada negara lain. Contohnya, di tahun 1960-an dan 1970-an, negara-negara di Sub-Sahara Afrika sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif baik. Ini karena pemerintahan mereka mengeluarkan kebijakan untuk melindungi ekonomi dalam negeri dengan menyubsidi industri- industri domestik dan melindungi pemain domestik dari kompetisi dengan memberikan pajak yang tinggi untuk barang-barang impor. Akan tetapi, di tahun 1980-an, pemerintah negara barat meminta mereka untuk menyingkirkan pajak impor, akibatnya industri domestik yang telah dibangun goyah dan gagal.
Jika kita ingin mendorong negara berkembang untuk maju, negara barat perlu menarik kembali perintahnya kepada negara berkembang untuk membuka pasar. Pasalnya, negara maju juga pernah melindungi industri domestik dari kompetisi produk negara lain di tahun 1990-an. Contohnya, Amerika Serikat pernah melarang pekerja asing untuk menjabat sebagai direktur keuangan di perusahaan manapun dan pemberian tarif pajak sebesar 50% atas barang-barang impor. Bukankah sebaiknya negara berkembang mengikuti jejak ini?
Kapitalisme Bukanlah Permasalahannya, Akan Tetapi Cara Kita Mendesainnya lah yang Salah
Setelah membaca beberapa poin di atas mungkin kamu akan merasa marah terhadap kapitalisme. Namun, sebelum kamu mendaftarkan diri sebagai bagian dari partai komunis, kamu perlu menyadari satu hal: kapitalisme bukanlah permasalahannya, akan tetapi free market capitalism. Bahkan menurut penulis, kapitalisme merupakan sebuah cara yang efektif untuk menjalankan ekonomi.
The profit motive, atau keinginan untuk menghasilkan keuntungan, merupakan penggerak yang kuat bagi manusia. Banyak penemuan dan inovasi hebat berasal dari keinginan seseorang untuk membangun sebuah perusahaan yang sukses.
Kapitalisme juga merupakan sebuah metode yang efisien untuk mengoordinasikan ekonomi. Pasar adalah sebuah tempat yang tepat untuk memastikan bahwa tenaga kerja dan modal dapat sampai ke area-area di mana mereka dibutuhkan. Tanpa adanya pasar yang mengarahkan alokasi sumber daya manusia ke area yang dibutuhkan, kita mungkin akan mempunyai lebih banyak selebritas dari pada tukang ledeng.
Meskipun kapitalisme memiliki keunggulannya, efeknya bisa membahayakan bagi kehidupan masyarakat luas jika tidak diatur dengan benar. Coba anggap negara dengan ekonomi kapitalis seperti sebuah mobil. Jika mobil diproduksi tanpa dilengkapi dengan fitur-fitur keselamatan seperti rem, sabuk pengaman, dan kantong udara, besar kemungkinan bahwa mobil tersebut akan menabrak sesuatu sehingga melukai pengendara, penumpang, dan orang-orang yang berada di sekitarnya.
Sayangnya, pendekatan yang saat ini dominan diterapkan terhadap kapitalisme adalah kapitalisme dengan regulasi yang sangat minim. Padahal ada beberapa alternatif yang memungkinkan kita untuk membangun sistem kapitalisme yang lebih baik, adil dan aman. Salah satu prinsip yang bisa dijunjung dalam menerapkan kapitalisme yang lebih aman adalah bounded rationality: sebuah ide yang menyatakan bahwa kita akan membuat keputusan yang lebih baik saat kita memiliki pilihan yang terbatas. Menurut penulis, untuk menindaklanjuti pendekatan ini, kita perlu memberikan pemerintah sedikit lebih banyak power dalam sistem ekonomi. Kekuatan yang lebih ini dapat digunakan untuk menghapuskan kemampuan perbankan untuk membuat pilihan investasi yang sangat berisiko. Dengan begitu masyarakat dapat membuat pilihan-pilihan berdasarkan informasi akurat yang jauh lebih aman.
Add a comment