Dalam mitologi Yunani diceritakan bahwa seorang pematung, bernama Pygmalion, sangat mencintai salah satu patungnya. Dia memberikannya nama (Galatea), merawatnya, dan meyakini bahwa patung itu adalah seorang wanita yang hidup.
Tidak hanya itu, dia juga berdoa kepada Aphrodite, dewi cinta. Permohonannya kemudian meyakinkan sang dewi dan akhirnya mengubah patung tersebut menjadi manusia. Begitulah, Pygmalion hidup berbahagia dengan istrinya yang konon adalah wanita tercantik di seluruh negeri Yunani.
Keyakinan Pygmalion bahwa Galatea seolah-olah hidup menjadikan Galatea benar-benar hidup. Mitos Pygmalion ini, kini mengilhami satu teori dalam dunia psikologi yang memanfaatkan persepsi serta ekspektasi. Dikenal sebagai Efek Pygmalion, yakni fenomena dimana pikiran atau harapan yang positif dapat menyebabkan kinerja atau hasil yang benar-benar menjadi positif. Atau sebaliknya.
‘‘You are what you think.’’
Dalam tulisan Paul Bauce, Pygmalion Effect Definition, efek Pygmalion berfungsi sebagai ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya. Hal ini bekerja secara siklus melingkar, yakni:
Keyakinan dan harapan kita mempengaruhi tindakan kita terhadap orang lain.
Tindakan tersebut berdampak pada keyakinan dan harapan yang diyakini benar oleh orang lain tentang diri mereka sendiri.
Keyakinan mereka tersebut kemudian berdampak pada kinerjanya.
Keyakinan awal dan harapan kita terverifikasi. Memutarkan kita kembali ke nomor 1 di mana tindakan mulai memperkuat.
Adapun Jonas Koblin dalam The Pygmalion Effect, menuliskan bahwa efek Pygmalion dapat dipahami dengan baik, melalui sebuah contoh yang dimulai dari:
Pertama : KEPERCAYAAN KITA
Bayangkan kita adalah pelatih tim bola basket dan kita mengamati tim pada hari pertama: Chris dan Joe adalah anggota baru tim. Chris mengingatkan kita pada pemain terkenal, sedangkan Joe mengingatkan kita pada anak laki-laki yang menyebalkan dari masa sekolah menengah kita. Tanpa sadar, kita memutuskan apa yang diharapkan dari masing-masing dari mereka.
Kedua : Kepercayaan kita memengaruhi TINDAKAN KITA
Ketika Chris memasuki lapangan, kita senang melihatnya. Ketika dia bermain, kita mendorongnya untuk melakukan yang lebih baik, berlatih lebih keras, bertahan satu jam ekstra. Jika dia membuat kesalahan, kita menjelaskan kepadanya bagaimana memperbaikinya.
Namun ketika Joe masuk, kita hampir tidak memperhatikannya. Kita senang melihatnya mencetak gol, tetapi kita tidak memberinya banyak umpan balik dan tidak menginvestasikan waktu ekstra dalam pelatihannya. Ketika Joe melakukan kesalahan, kita sedikit kesal.
Ketiga : Tindakan kita memengaruhi KEPERCAYAAN MEREKA tentang diri mereka sendiri
Chris merasa kita menghargai dia, sehingga dia menghargai kita sebagai balasannya. Dia percaya pada kesuksesannya sendiri. Sedangkan Joe merasa kita memiliki sedikit kesabaran dan penghargaan untuknya. Dia tidak percaya pada kesuksesannya sendiri.
Keempat : Kepercayaan mereka tentang diri mereka sendiri menyebabkan TINDAKAN MEREKA terhadap kita
Chris menemukan lebih banyak kegembiraan dalam bermain, dan dia tidak pernah melewatkan sesi latihan. Selama pertandingan, dia memberikan usahanya 100% sepanjang waktu. Adapun Joe menemukan lebih sedikit kegembiraan dalam bermain daripada sebelumnya dan tidak memberikan upaya penuhnya dalam permainan. Terkadang, dia mulai melewatkan sesi latihan.
Kelima : KEPERCAYAAN KITA diperkuat
Kita melihat bagaimana Chris menikmati bermain, bagaimana dia berlatih keras dan menunjukkan peningkatan cepat dalam performanya. Di sisi lain, Joe tampaknya tidak terlalu termotivasi, keterampilannya tidak meningkat banyak dan dia mulai jarang muncul. Tuh kan, insting kita di awal memang benar (!)
‘‘Our expectations have the power to change reality.’’
Dalam tulisan Jonas, disebutkan bahwa efek Pygmalion juga dikenal sebagai Eksperimen Rosenthal, dinamai berdasarkan penelitian Robert Rosenthal di Harvard. Dalam studi pertama, Robert menantang subjek uji untuk melatih tikus melalui labirin. Setengah dari kelompok diberi tahu bahwa tikus mereka sangat cerdas dan terlatih secara khusus. Setengah lainnya diberi tahu bahwa tikus mereka ‘bodoh’.
Faktanya, semua tikus itu sama. Namun, selama percobaan, ‘tikus pintar’ berkinerja lebih baik daripada ‘tikus bodoh’. Hal ni menunjukkan bagaimana harapan para pelatih bahkan mempengaruhi kinerja tikus. Robert kemudian melakukan Studi “Pygmalion di Sekolah” bersama dengan Lenore Jacobson.
Diketahui bahwa pada awal tahun ajaran, sekelompok guru sekolah dasar diberitahu bahwa beberapa murid barunya memiliki bakat dan potensi yang luar biasa. Informasi yang dibuat-buat ini diberikan tentang rata-rata acak siswa di setiap kelas, semua siswa telah melakukan tes IQ terlebih dahulu.
Pada akhir tahun, siswa yang digambarkan lebih berbakat telah meningkatkan kinerja mereka secara signifikan dalam tes IQ, dibandingkan dengan kelas lainnya.
‘‘If you expect the worst, you’ll probably get it.’’
Pygmalion in Management yang ditulis oleh J. Sterling Livingston, menyebutkan bahwa dalam dunia profesional, beberapa manajer selalu memperlakukan bawahannya dengan cara yang mengarah pada kinerja yang unggul. Tetapi kebanyakan manajer, secara tidak sengaja juga memperlakukan bawahan mereka dengan cara yang mengarah pada kinerja yang lebih rendah daripada yang mampu mereka capai.
Cara manajer memperlakukan bawahan mereka secara tidak langsung dipengaruhi oleh apa yang mereka harapkan dari mereka. Jika harapan manajer tinggi, produktivitas kemungkinan besar akan sangat baik. Jika harapan mereka rendah, produktivitas cenderung buruk. Seolah-olah ada hukum yang menyebabkan kinerja bawahan naik atau turun untuk memenuhi harapan manajer. Beberapa kasus yang ditemukan oleh Sterling, diantaranya:
Apa yang manajer harapkan dari bawahan dan cara mereka memperlakukannya sangat menentukan kinerja dan kemajuan karir bawahan.
Karakteristik unik dari manajer superior adalah kemampuan untuk menciptakan ekspektasi kinerja tinggi yang harus dipenuhi bawahan.
Manajer yang kurang efektif gagal mengembangkan harapan yang sama, dan sebagai akibatnya, produktivitas bawahan mereka menderita.
Bawahan, tampaknya lebih sering melakukan apa yang mereka yakini akan mereka lakukan.
Di sisi lain, Paul melalui tulisannya juga menyebutkan bahwa dalam dunia bisnis dan kepemimpinan, apabila dilakukan dengan tepat, efek Pymalion bisa sangat bermanfaat. Berikut cara yang dapat diterapkan:
1. Sadar Terhadap Ekspektasi
Efek Pygmalion adalah dimana harapan kita terhadap orang lain memengaruhi perilaku kita terhadap mereka. Jika kita pertama kali mengakui keberadaannya, kita dapat menyesuaikan pikiran dan tindakan kita.
Penting untuk disadari ketika kita memiliki harapan yang berbeda. Jika kita melakukannya, menjadi sadar dapat membantu kita secara proaktif menghindari tindakan negatif. Sehingga, alih-alih melihat kelemahan orang, kita bisa melihat sisi positif dan potensi mereka.
Kita bisa menjadi sadar ketika harapan kita menghasilkan tindakan negatif. Misalnya, kita mungkin menegur seseorang yang mungkin memiliki ekspektasi rendah terhadap orang lain. Dalam contoh seperti itu, penting untuk mengakuinya dan mencoba untuk mencegah agar tidak terulang kembali.
2. Identifikasi Sifat Positif
Terkadang kita mungkin memiliki harapan yang rendah untuk orang lain dan tidak ada jalan lain untuk itu. Baik terhadap kolega, teman, atau orang lain. Mereka mungkin tampak sama sekali tidak kompeten. Karena alasan itulah sulit untuk berharap banyak dari mereka, yang pada gilirannya dapat memengaruhi tindakan kita.
Jika kita dapat mengidentifikasi dan mengomunikasikan beberapa sifat positif, kita mungkin dapat mengangkat harapan. Pada gilirannya, ini dapat mendorong orang lain dan berpotensi mencapai potensi mereka yang sebelumnya tidak dapat kita bayangkan.
Dari pemain sepak bola terkenal hingga baseball, ataupun akting, ada ribuan yang melebihi ekspektasi. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengidentifikasi sifat-sifat yang mungkin kita abaikan.
3. Buat Tantangan
Ketika kita mencapai suatu tujuan, kita merasakan pencapaian. Karyawan dapat tumbuh dengan rasa pemberdayaan untuk mencapai tujuan yang ambisius. Jika mereka ditantang, mereka tidak hanya dapat melebihi harapan kita sendiri tetapi juga harapan mereka.
Jika kita menetapkan tugas yang kita yakini mungkin di atas harapan kita dan mendorong mereka bahwa mereka bisa melakukannya, mereka akan memasukkan segalanya ke dalamnya. Ketika harapan tinggi diharapkan, kita sering melakukan semua yang kita bisa untuk memenuhinya.
4. Bahasa Positif
Apakah percaya seseorang mampu atau tidak, meremehkan mereka tidak akan membantu. Mengatakan hal-hal seperti ‘Saya tidak yakin kamu bisa melakukan ini’ atau ‘Bisakah kamu mencoba’, dapat dianggap negatif. Ungkapan seperti itu menekankan kurangnya kepercayaan dan harapan yang rendah.
Dengan memuji orang lain dan mengidentifikasi kekuatan yang mereka tunjukkan, kita dapat menciptakan harapan positif bagi mereka. Pada gilirannya, ini dapat memengaruhi tindakan kita sendiri. Saat kita fokus pada atribut positif mereka, hal itu juga menciptakan tingkat harapan yang tinggi. Ini kemudian dapat berubah menjadi ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya secara positif.
5. Berikan Umpan Balik
Baik itu siswa, karyawan, atau orang lain, penting untuk memberikan umpan balik yang dapat ditindaklanjuti. Salah satu kekurangan yang terjadi dengan efek Pygmalion adalah kurangnya pertimbangan dan upaya yang diberikan kepada mereka yang memiliki ekspektasi rendah. Akibatnya, kita mungkin tidak memberikan umpan balik apa pun karena ‘tidak ada gunanya’, atau ‘mereka tidak akan dapat melakukan apa pun’.
Daripada memikirkan ‘bagaimana-jika’ atau apakah umpan balik akan berguna, penting untuk setidaknya mencobanya. Alih-alih membiarkan harapan kita menjadi kenyataan, beri orang itu kesempatan untuk meningkatkan, mengembangkan, dan membuktikan bahwa kita salah.
“Your beliefs become your thoughts, Your thoughts become your words, Your words become your actions, Your actions become your habits, Your habits become your values, Your values become your destiny.”
Add a comment