‘‘We’ve all had those moments when we look in the mirror and we don’t exactly like everything we see.’’
Terkadang kita benci pada pipi yang semakin menggembung, atau lemak perut yang semakin berlapis, atau jerawat yang melenggang hampir memenuhi wajah. Belum lagi ketika melihat orang-orang di media sosial yang terlihat sempurna paripurna. Suara penghakiman dalam hati kecil rasanya ingin segera merayap masuk untuk mencabik-cabik kita, dan meyakinkan tentang semua hal yang ingin kita ubah pada kekurangan kita.
Adele Jackson-Gibson dalam What Is Body Neutrality? Experts Explain Why It’s Worth Practicing, menuliskan bahwa pikiran tersebut mungkin menempatkan kita dalam ketakutan sesaat, atau mungkin itu adalah pertempuran internal yang berkelanjutan yang terus-menerus menyeret kita ke bawah. Apapun itu, dialog batin negatif ini dapat memengaruhi bagaimana kita menjalani hidup sehari-hari.
Hal ini juga dapat memengaruhi suasana hati, apa yang kita putuskan untuk dikenakan, bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain, bahkan apakah kita ingin orang lain melihat diri kita atau tidak. Ini mungkin mendorong kita untuk menghabiskan terlalu banyak waktu dan uang untuk “memperbaiki” diri sendiri, atau memicu kebiasaan berbahaya seperti olahraga berlebihan atau pola makan yang tidak teratur.
Terkadang kita terlalu memikirkan penampilan kita dan apa yang salah dengan penampilan tersebut, sehingga kita tidak bisa benar-benar menjalani hidup atau benar-benar “ada” untuk orang yang kita cintai. Jadi, ketika suara yang meremehkan itu berbisik di telinga kita, bagaimana menanganinya?
Untuk seseorang yang lebih menyukai pendekatan positif terhadap tubuh (Body Positivity), mereka mungkin mencoba menjawabnya dengan afirmasi seperti: “Saya mencintai tubuh saya” atau “Saya cantik”.
Tetapi yang lain, seperti aktris The Good Place, Jameela Jamil, menemukan pelipur lara dengan melepaskan diri dari obrolan tubuh internal sama sekali. Dia tidak pernah memikirkan tubuhnya. Hal itu seperti tidak membencinya, juga tidak menyukainya. Menurut Jameela, dia hanyalah kepala mengambang. Dia adalah kepala mengambang yang berkeliaran di dunia.
Betapa pun anehnya gambaran tersebut, ketika self-talk negatif menjalankan pertunjukan dan afirmasi positif, tubuh tidak memotongnya, pola pikir semacam ini bisa sangat membebaskan. Praktisi kesehatan inklusif menyebut pendekatan ini sebagai “Netralitas Tubuh” (Body Neutrality).
Kepositifan terhadap Tubuh
Kristen Fuller melalui tulisannya, Body Positivity vs. Body Neutrality, menjelaskan bahwa kepositifan tubuh (Body Positivity) adalah sebuah gerakan sosial di seluruh dunia yang berfokus pada kesetaraan dan penerimaan diri untuk semua jenis dan ukuran tubuh.
Namun, banyak orang percaya bahwa gerakan positif tubuh telah menciptakan budaya tidak sehat yang memungkinkan orang mengabaikan komplikasi medis yang sering menyertai obesitas. Obesitas terkait dengan diabetes maupun penyakit jantung. Sebaliknya, menjadi ‘kurus’ juga tidak secara otomatis meningkatkan kesehatan yang baik secara keseluruhan, dan menjadi terlalu kurus dapat menyebabkan komplikasi medis lainnya seperti osteoporosis dan ketidakseimbangan hormon.
Di sisi lain, gerakan positif tubuh dapat membuat orang terobsesi dengan penampilan mereka sehingga melupakan semua aspek penting lain dari kehidupan dan individualitas mereka sendiri. Kebanyakan orang juga tidak benar-benar bisa mencintai kekurangannya. Ini terutama berlaku untuk orang yang menderita gangguan makan, disforia gender, depresi, kecemasan, atau pernah mengalami trauma.
Akibatnya, banyak orang mungkin terlibat dalam budaya diet dan olahraga yang berbahaya karena mereka merasa tertekan untuk mencintai tubuh mereka. Sebagai manusia, kita memiliki banyak segi, dan penampilan fisik kita hanyalah salah satu dari banyak segi keberadaan kita. Penampilan fisik kita tidak menentukan siapa kita.
Mungkin sulit untuk mencintai tubuh kita setiap hari, terutama ketika kita mungkin merasa kembung atau merasa bahwa pakaian kita tidak pas seperti yang seharusnya. Terkadang kita merasa lesu dan lelah, kita merasa tidak nyaman dengan bentuk dan penampilan tubuh kita. Hal ini dapat membuat kita merasa bersalah karena kita tidak menganut budaya kepositifan tubuh dan bisikan kecil di kepala kita terus memberi tahu bahwa kita perlu berbuat lebih baik dan lebih menerima.
Beberapa hari kita tidak akan merasa baik tentang diri kita sendiri, dan tidak apa-apa. Sementara hari-hari lain, kita akan merasa hebat dalam apa pun yang kita kenakan. Kepositifan tubuh berarti menghargai dan mencintai tubuh yang kita miliki dan tidak mengkritik diri sendiri atas perubahan yang terjadi secara alami karena penuaan, kehamilan, atau pilihan gaya hidup.
‘‘There’s no need to reframe anything about your body or what it’s gone through within a lens of positivity for your body to be acceptable.’’
Berpikir Netral, Mungkin Lebih Baik
Adapun Kristen Fuller melanjutkan dalam tulisannya bahwa alih-alih berfokus pada mencintai tubuh kita apa pun yang terjadi, pendekatan netralitas tubuh adalah filosofi yang berfokus pada apa yang dapat dilakukan tubuh kita untuk kita.
Netralitas tubuh berarti mengambil perspektif netral terhadap tubuh kita, artinya kita tidak harus memupuk rasa cinta pada tubuh atau merasa bahwa kita harus mencintai tubuh setiap hari. Kita mungkin tidak selalu mencintai tubuh kita, tetapi kita mungkin masih hidup bahagia dan menghargai semua yang dapat dilakukan tubuh kita.
Misalnya, tubuh kita dapat berlari, bermain game, membawa tas belanjaan, memeluk orang yang dicintai, melahirkan anak, dan membawa kita ke banyak tempat di seluruh dunia. Tubuh kita dapat melakukan hal-hal luar biasa. Saat kita makan donat ekstra atau menambahkan sedikit krim kental ekstra ke kopi kita di pagi hari, kita memuaskan tubuh dengan makan secara intuitif dan mempraktikkan netralitas tubuh.
Netralitas tubuh biasanya berjalan seiring dengan perhatian dalam arti bahwa ketika kita menghormati tubuh, memberikan perawatan, nutrisi, istirahat, dan gerakan, kita akan melihat seberapa baik kita mulai merasa dan seberapa baik fungsi tubuh kita.
Adele menambahkan dari tulisannya bahwa menurut ahli, netralitas tubuh adalah tentang menerima tubuh kita apa adanya. Itu dia. Kita tidak mencoba mengubah dan melawan tubuh kita dan kita tidak terlibat dengan suara bisikan yang menyuruh kita melakukannya.
Dengan kata lain, berlatih netralitas tubuh memberi kita kesempatan untuk beristirahat dari percakapan tubuh apa pun (apakah mencintai diri sendiri atau tidak), membebaskan energi dan ruang otak untuk fokus pada apa yang benar-benar kita pedulikan; seperti memulai proyek yang sudah kita kerjakan atau mimpikan dan merawat orang yang dicintai.
Memang banyak dari kita mencoba mengganti kritik diri dengan afirmasi positif seperti, “Tubuh gemuk saya indah!”, dan itu berhasil bagi sebagian orang. Tetapi, sekali lagi yang lain mungkin menganggapnya tidak autentik jika mereka tidak benar-benar merasa seperti itu, dan itu juga valid. Netralitas tubuh memberi kita kesempatan untuk menerima emosi yang sulit alih-alih menyangkalnya.
Dengan melakukan itu, menurut Joy Cox, kita menyelamatkan diri dari beban ganda perasaan tidak enak tentang perasaan kita sendiri, seperti “Saya tahu saya seharusnya tidak membenci tubuh saya, tapi…” Menjadi netral terhadap tubuh berarti kita tidak perlu membencinya dan menilai diri sendiri, karena tidak perlu menjadi “body positive” sejak awal.
Itu penting, mengingat penelitian terbaru dari Journal of Personality and Social Psychology yang juga dirangkum dalam tulisan Adele, menunjukkan bahwa menilai diri sendiri untuk sesuatu yang disebut emosi negatif dapat melanggengkan siklus rasa malu dan bersalah.
Penerimaan, di sisi lain, dapat membantu kita untuk beristirahat. Para peneliti menemukan bahwa ketika orang membiarkan diri mereka merasakan emosi yang tidak diinginkan tanpa penilaian, kesehatan mental mereka meningkat. Perasaan itu cenderung berjalan dengan sendirinya tanpa menjadi semakin buruk.
Melepaskan penolakan yang kita miliki terhadap perasaan negatif tersebut dapat menciptakan lebih banyak ruang untuk belas kasih. Misalnya, jika kita tidak menyukai perut kita karena alasan apa pun, kita tidak perlu menanggapi bisikan buruk di pikiran kita yang memberi tahu bahwa kita menjijikkan atau tidak layak. Saat mulai mendengar suara itu, berhentilah sejenak. Terima saja bahwa kita tidak menyukai bagian tubuh itu, dan menurut Chrissy King, coba tanyakan:
‘‘Bagaimana saya bisa memperlakukan diri saya dengan kelembutan?’’
“Bagaimana saya bisa memberikan tubuh saya apa yang dibutuhkannya, terlepas dari gambar yang saya lihat di cermin?”
Karena kita semua pantas mendapatkan kebaikan terlepas dari tubuh kita. Secara umum, netralitas tubuh adalah pengingat bahwa harga diri kita tidak berpusat pada penampilan tubuh, bahwa terlihat (dan merasa) cantik tidak diperlukan untuk menghargai diri sendiri dan merasa damai di dalam diri.
Melatih Menetralitaskan Tubuh
Setiap orang memiliki cara berbeda untuk mendekati netralitas tubuh, dan bagian dari mewujudkan latihan ini adalah mencari tahu apa yang cocok untuk diri kita. Jadi, jika kita baru mengenal pola pikir ini dan tidak yakin bagaimana menerapkannya, berikut dirangkum dari tulisan Adele adalah beberapa hal yang bagus untuk dimulai:
Pahami bahwa citra tubuh kita (yaitu pikiran, persepsi, dan sikap kita tentang penampilan fisik kita) tidak ada dalam ruang hampa.
Menurut Chrissy, kita hidup dalam masyarakat yang sangat fobia lemak dan budaya diet, jadi kita terus-menerus menerima pesan dari media sosial, TV, dan majalah tentang mengapa tubuh kita tidak cukup. Sehingga, jika kita merasakan tekanan internal untuk melihat dengan cara tertentu, ketahuilah bahwa itu benar-benar normal dan dapat dimengerti. Setelah kita menyadari bahwa tidak ada yang salah dengan kita dan bahwa kita tidak sendirian, kita dapat menjadi lebih lembut dengan diri sendiri bahkan di saat-saat sulit.
Buka keyakinan kita tentang tubuh kita dan dari mana asalnya.
Kita mungkin tumbuh dengan lingkungan orang-orang yang mengatakan bahwa kita terlalu pendek, terlalu gemuk, terlalu gelap, dan lain-lain. Atau mungkin kita mendengar betapa kasarnya orang lain di sekitar kita berbicara tentang tubuh mereka sendiri. Ini semua dapat berkontribusi pada bagaimana kita melihat diri kita di dunia. Tetapi ketika kita dapat meluangkan waktu untuk membuat jurnal atau merenungkan dari mana penilaian tentang diri kita ini berasal, kita dapat mulai berhenti memikirkannya sebagai fakta konkret dan alih-alih melihatnya persis apa adanya. Meneliti dan membaca buku tentang akar masalah di balik fatphobia dan cita-cita kecantikan lainnya juga bisa membuka mata ketika harus mengubah orientasi citra diri kita.
Fokus pada apa yang tubuh kita lakukan untuk kita, bukan seperti apa kelihatannya.
Sepanjang hari tubuh kita melakukan banyak hal agar kita tetap hidup dan terhubung dengan orang lain. Mungkin kita menghargai kenyataan bahwa jantung kita berdetak tanpa berpikir, atau bahwa kaki kita cukup kuat untuk membantu ayah membawa barang belanjaannya menaiki tangga. Menuliskan cara-cara di mana tubuh mendukung kita dan orang lain dapat meningkatkan rasa syukur kita. Perspektif ini dapat memberi kita lebih banyak tujuan dan penghargaan diri.
Terima dan tunjukkan belas kasih terhadap bagian tubuh kita yang sedang berjuang.
Tubuh berubah seiring bertambahnya usia, persalinan, penyakit, kecacatan, dan keadaan lain yang mengubah hidup. Menemukan hal-hal untuk dihargai tentang diri kita dapat meningkatkan suasana hati kita. Tetapi jika, misalnya, kita menderita kelelahan kronis atau mengalami cedera punggung yang parah, menerima bagian tubuh kita yang tidak berfungsi seperti yang kita inginkan (atau seperti yang dikatakan masyarakat umum “harus”) dapat membantu kita melepaskan penilaian, rasa malu, dan penolakan. Bersikap jujur pada diri sendiri juga dapat membuat kita menyadari kapan kita perlu istirahat, mendapatkan bantuan dari teman, atau mencari perawatan yang sesuai.
Cabuti gulma yang tumbuh dalam kebun media sosial kita.
Menurut National Eating Disorders Association, semakin banyak waktu yang kita habiskan di dunia media, semakin kita terpapar pada citra tubuh yang sempurna, dan semakin rentan kita untuk membandingkan penampilan kita dengan standar tubuh yang tidak realistis. Ini berarti jika kita mencoba mencapai ruang netral tubuh, sebaiknya perhatikan jenis media yang kita gunakan. Gulir melalui feed kita, perhatikan jika kita melihat postingan yang menekankan diet, atau apa pun yang umumnya membuat kita merasa down tentang tubuh kita. Jangan ragu untuk menekan tombol “berhenti mengikuti” ketika kita menemukan sesuatu yang memicu.
Kenakan pakaian apa pun yang paling nyaman bagi kita.
Menurut para ahli, ketika kita mencoba untuk mengurangi seberapa banyak kita fokus pada tubuh, kita mungkin tidak ingin mengenakan pakaian yang membuat kita merasa tidak nyaman dan tidak percaya diri. Ini tidak berarti “berpakaian untuk tipe tubuh kita” (apa pun artinya). Alih-alih, pikirkan lebih banyak tentang menemukan produk yang membuat kita merasa paling nyaman dan lebih menjadi diri sendiri.
Sadarilah bahwa tubuh kita hanyalah satu bagian dari diri kita.
Kita adalah manusia yang kompleks dan memiliki banyak segi dengan banyak kualitas yang menjadikan kita dalah kita.
Secara keseluruhan, jalan kita menuju netralitas mungkin terlihat berbeda dari jalan orang lain, dan itu lebih dari cukup. Netralitas tubuh menempatkan kita di persimpangan jalan di mana kita benar-benar dapat melihat bagaimana kita ingin tampil di tubuh kita dan bagaimana kita ingin hidup dalam tubuh kita.
Ketika kita mencoba membangun hubungan baru dengan tubuh, ingatlah bahwa hal itu bisa memakan waktu dan akan selalu ada pasang surut dalam cara kita merasakan diri kita sendiri. Meskipun menantang, ketahuilah bahwa kita juga bukan satu-satunya dan ada banyak orang yang menunjukkan cara berbeda untuk mewujudkan penerimaan, kepercayaan diri yang otentik dan bahkan rasa kebebasan.
Yang jelas tidak ada yang lebih unggul antara perspektif positif ataupun perspektif netral terhadap tubuh kita. Apa pun pola pikirnya, jika itu yang berhasil dan membuat kita nyaman, maka lakukanlah. Tidak apa-apa untuk mengakui bahwa tubuh kita terkadang sakit, bahwa tubuh kita terkadang pernah mengalami trauma.
Add a comment