Manusia diciptakan Tuhan dengan sangat istimewa. Mereka diberikan kemampuan, mereka pula yang diberikan kekurangan. Mereka diberikan sakit, mereka pula yang diberikan kesehatan. Tidak ada seorang dari kita yang hanya memperoleh satu, melainkan pasti mendapat keduanya. Tuhan kita memang sangat adil pada apapun. Akan tetapi, kita sebagai manusia seringkali lupa akan dua keistimewaan tersebut. Bahkan diantara kita pasti ada yang tidak menyadarinya sama sekali.
Kutipan pepatah, “Hidup itu seperti roda yang berputar” terdengar sangat akrab dengan kita. Bagi saya, hidup ini memang ibarat menunggu giliran. Harus siap siaga dan selalu sadar bahwa suatu saat giliran tersebut pasti akan datang. Harapannya agar kita tidak terlalu jatuh bahkan pada situasi terburuk sekalipun. Cara umum yang biasa kita lakukan agar kembali bangkit pada saat permasalahan datang adalah memenuhi hidup dengan lingkungan serba positif. Sebagian dari kita seringkali menganggap semua hal positif bisa menjadi obat. Tapi, pernahkah kita mengulik lebih lanjut dan berpikir bahwa mungkin saja hal positif tersebut malah bisa menjadi bumerang?
Dikenal dengan istilah Toxic Positivity, menurut Samara Quintero dan Dr. Jamie Long (The Psychology Group Fort Lauderdale, United States of America) yaitu suatu generalisasi berlebihan dari kondisi bahagia dan sifat terlalu optimis yang dapat menghasilkan penyangkalan (denial) di semua situasi. Jika kita jabarkan kembali definisi tersebut, toxic positivity seperti mengendalikan diri kita untuk tutup mata terhadap diri kita yang lain. Padahal seperti yang kita ketahui di atas, setiap manusia diberikan dua keistimewaan oleh Tuhan tanpa terkecuali dan itu sangat adil. Sebenarnya apabila ditarik benang merah, sama seperti apapun yang kita lakukan secara berlebihan pasti hasilnya tidak akan pernah lebih baik. Samara Quintero dan Dr. Jamie Long dalam tulisannya yang berjudul “Toxic Positivity: The Dark Side of Positive Vibes”, juga memberikan contoh perbedaan antara pernyataan toxic dan non-toxic dalam tabel terlampir.
Dari tabel, tentu kita tidak asing dengan semua pernyataan tersebut. Pernyataan yang sering saya jumpai dan banyak dari kita yang tanpa sadar pernah mengungkapkannya entah kepada diri sendiri atau bahkan kepada orang terdekat. Seorang yang mengalami toxic positivity seringkali menolak, menyangkal dan menjauhi emosi negatif. Adapun sebaliknya, menghindari toxic positivity bukan berarti menghalalkan untuk terus berpikir negatif. Tidak apa-apa jika kita berada dalam suasana hati yang buruk sesekali dan memiliki pikiran negatif. Hal itu terjadi pada semua orang.
“The truth is, humans are flawed. We get jealous, angry, resentful, and greedy. Sometimes life can just flat out suck. By pretending that we are “positive vibes all day,” we deny the validity of a genuine human experience.”
-- Samara Quintero & Dr. Jamie Long, Toxic Positivity: The Dark Side of Positive Vibes
Denzel Washington dalam pidatonya pada wisuda University of Pennsylvania pernah mengatakan bahwa setiap dari kita pasti akan gagal di beberapa titik dalam hidup. Terima itu. Kita akan kalah. Kita akan hilang arah. Kita akan mempermalukan diri sendiri dan hal tersebut tidak diragukan lagi karena pasti akan terjadi. Denzel juga menambahkan bahwa ketika kita jatuh sepanjang hidup, selalu ingat untuk jatuh ke depan (fall forward). Maksud yang saya tangkap dari pernyataan terakhirnya yakni meskipun kita jatuh dan masalah selalu datang menghampiri, kita tetap harus bangkit maju serta menemukan pelajaran dari setiap kondisi tersebut. Berpikir positif dan negatif sesuai porsi, karena tidak ada yang salah dengan diri kita di masa tersebut. Merekalah yang berjasa nantinya membentuk kita yang lebih baik di kemudian hari jika kita mau belajar.
“Everything worthwhile in life is won through surmounting the associated negative experience. Any attempt to escape the negative, to avoid it or quash it or silence it, only backfires. The avoidance of suffering is a form of suffering. The avoidance of struggle is a struggle. The denial of failure is a failure. Hiding what is shameful is itself a form of shame. Pain is an inextricable thread in the fabric of life, and to tear it out is not only impossible, but destructive: attempting to tear it out unravels everything else with it. To try to avoid pain is to give too many fucks about pain. In contrast, if you’re able to not give a fuck about the pain, you become unstoppable.”
-- Mark Manson, The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life
Semua orang tumbuh dari berbagai hal. Mereka kadang akan bahagia, kadang pula akan marah, lalu akan bahagia kembali, tiba-tiba menangis bahkan terpuruk dalam hidupnya. Titik-titik itu akan datang, tanpa ijin, tanpa permisi. Terkadang pula kita perlu sesekali melepaskan semua hal yang menyesakkan, merasakan apa yang begitu menyakitkan, kemudian membiarkan saja berjalan sebagaimana mestinya. Kita bukan robot yang bisa menahan semua hal dan tidak merasakan apapun. Tidak apa-apa, semua akan menjadi lebih baik. Belajar mengerti siapa sesungguhnya diri kita, apa sebenarnya yang kita butuhkan dalam hidup, apa yang ingin kita lakukan, kondisi seperti apa yang sekarang kita alami, apa yang harus kita perbaiki, apa yang harus kita kurangi.
Like, how do you wake up from yourself when you don’t know who you are.
---
Sumber gambar: Serial Netflix | Teenage Bounty Hunters
Add a comment