Puas, senang, sedih, marah, jengkel, sinis, dan terkadang juga berakhir penat. Campur-baur adalah perumpamaan yang tepat untuk siklus rasa yang sering kali muncul ketika saya membaca beberapa postingan di sosial media. Satu unggahan yang masih hangat yakni tentang seorang warganet yang memposting cuitan mengenai covid. Hampir tiap bulan nampaknya dia mengutarakan pemikirannya yang seolah menantang keberadaan virus tersebut. Namun malang, beberapa bulan kemudian dia mengunggah foto dirinya mengenakan ventilator oksigen, disertai kalimat memohon bantuan donor darah demi kesembuhannya akibat covid.
Seperti pepatah orang Jepang yang menyatakan bahwa, “kemalangan orang lain, rasanya seperti madu.” Benar saja. Saya seraya ingin menghujamkan kalimat-kalimat pedas, menertawai akibat kesesumbarannya, bahkan terdorong untuk memandang sinis dengan puasnya. Padahal saya tidak mengenal orang tersebut, saya tidak mengetahui cerita utuh kisahnya, saya terpancing. Namun, bukan hanya saya rupanya, berbondong-bondong manusia lain memenuhi unggahan tersebut. Mereka terus membagikan, mengomentari, mencaci, meremehkan, bahkan saya temui beberapa dari mereka yang sudah hilang nalarnya hingga mendoakan meninggal saja.
Kesenangan dari Kesulitan Orang Lain
Menikmati kemalangan orang lain memang sangat sederhana; kilatan kebencian, jentikan dendam. Salah satu artikel dalam laman GoodTherapy menjelaskan bahwa Schadenfreude (dalam kata Jerman), dikenal sebagai sebuah kesenangan atau hiburan dalam menanggapi kemalangan, rasa sakit, penghinaan, atau kesalahan orang lain. Seseorang lebih cenderung mengalami schadenfreude ketika mereka menganggap orang lain sebagai ancaman atau ketika mereka tidak menyukai seseorang. Namun, orang dengan self-esteem rendah terkadang juga mengalami schadenfreude, bahkan saat mereka peduli dengan orang lain. Seorang anak yang merasa orang tuanya tidak memperhatikan bakatnya, misalnya, mungkin akan senang dengan kegagalan saudaranya (kakak atau adik), terutama jika saudaranya tersebut sering mendapatkan pujian.
Dalam artikel dijelaskan juga bahwa seringnya, schadenfreude dapat menunjukkan kondisi kesehatan mental seseorang. Orang dengan diagnosis kepribadian seperti kepribadian antisosial mungkin akan senang dengan penderitaan orang lain dan kurang memperhatikan kesenangan orang lain. Kecemasan kronis dan depresi juga dapat menyebabkan seseorang mencari validasi atas kegagalan orang lain. Beberapa profesional kesehatan mental membedakan antara gembira karena kemalangan kecil (terpeleset kulit pisang atau membuat komentar bodoh) dan gembira karena penderitaan yang lebih serius (penyakit parah atau kematian seseorang). Simon Baron-Cohen mengungkapkan bahwa psikopat tidak hanya terlepas dari penderitaan orang lain tetapi bahkan menikmatinya.
Tiffany Watt Smith memaparkan sebuah penelitian di Würzburg, Jerman pada tahun 2015 melalui tulisannya, The secret joys of schadenfreude, bahwa penggemar sepak bola tersenyum lebih cepat dan lebih lebar (puas) ketika tim lawan mereka gagal mengeksekusi penalti, daripada ketika tim mereka sendiri mencetak gol. Kisah lain yang dibagikan Tiffany yakni ketika suatu hari sedang di kedai kopi, seorang teman bertanya apakah dia mendapatkan promosi yang dia inginkan. Dia menjawab, tidak. Dan kemudian dia perhatikan, di sudut mulut temannya, ada seringaian kecil yang nyaris tidak terlihat sebelum akhirnya tampak rasa simpati. Tiffany tergoda untuk bertanya kepadanya: “Apakah kamu baru saja tersenyum?” Tapi dia tidak melakukannya. Karena ketika temannya itu kalah, seperti yang kadang-kadang Tiffany lakukan, dia tahu bahwa dia juga akan mengalami rasa puas dan bahagia atasnya.
Terkadang mudah untuk berbagi kegembiraan kita, memposting ulang meme politisi yang dipermalukan, atau selebriti yang tertangkap mengonsumsi barang terlarang, atau aparat arogan yang dijatuhi hukuman. Jauh lebih sulit untuk diakui adalah rasa lega yang menyertai kabar buruk dari teman dan kerabat kita yang sukses. Schadenfreude datang tanpa sadar, semburan kesenangan yang membingungkan ini, berputar-putar karena rasa malu. Dan mereka menciptakan kekhawatiran kita. Bukan hanya karena kita takut bahwa kurangnya empati kita atau takut terhadap perkataan buruk tentang kita, tapi karena schadenfreude menunjukkan dengan jelas kecemburuan dan inferioritas kita, dan bagaimana kita mencengkeram kekecewaan orang lain untuk merasa lebih baik tentang diri kita sendiri. Egois.
Schadenfreude biasanya dianggap sebagai emosi sembunyi-sembunyi. Kita mungkin tidak hanya khawatir tentang terlihat jahat, tetapi bahwa schadenfreude juga memperlihatkan kekurangan kita yang lain, kepicikan kita, kecemburuan kita, perasaan tidak mampu kita. Namun, dalam tulisan Tiffany dijelaskan juga bahwa perasaan ini sering kali terjadi ketika penderitaan tersebut dapat ditafsirkan sebagai balasan (karma), hukuman yang pantas untuk menjadi sombong atau munafik, atau melanggar hukum. Pada tahun 2015, pendeta AS Tony Perkins mengatakan bahwa banjir dikirim oleh Tuhan untuk menghukum aborsi dan pernikahan gay. Dan kemudian rumahnya sendiri kebanjiran dan dia harus melarikan diri dengan sampan. Bahkan BBC yang selalu tidak memihak menikmati cerita ini, berpose foto udara dari rumah yang terendam banjir di sebelah wawancara kontroversialnya “Tuhan sedang mencoba mengirimkan pesan kepada kami”.
Kesenangan dari Kesenangan Orang Lain
Jika schadenfreude dengan mudahnya dapat membawa kita ke lingkaran ‘senang’ atas kegagalan dan kesalahan orang lain, maka “Mudita” adalah sebaliknya. Artikel dalam HealthyPsych, Mudita: Delight in the Happiness and Success of Others, menjelaskan bahwa Mudita (kata Pali dan Sansekerta) berarti kegembiraan yang kita rasakan dari kebahagiaan dan keberuntungan orang lain. Kadang-kadang disebut sebagai ‘simpatis’ atau ‘kegembiraan apresiatif’. Hal itu ketika sesuatu yang baik terjadi pada seseorang yang kita kenal dan kita merasa senang juga pada akhirnya. Akan tetapi, Mudita tidak semelekat schadenfreude, Mudita lebih mudah diucapkan daripada dilakukan bagi banyak dari kita terutama di dunia modern yang hiper-kompetitif dan semi-disconnected ini.
Mengutip lebih lanjut dari artikel tersebut, Lera Boroditsky, Ph.D. menyebutkan bahwa dia percaya pada dasarnya semua orang baik, tetapi ‘kekuatan evolusi’ dapat membentuk seseorang lebih ke arah positif atau negatif. Adapun Rick Hansen menyatakan bahwa agak memalukan untuk mengakui dirinya juga memiliki pengalaman schadenfreude yang tampaknya berakar pada rasa iri atau rasa tidak aman. Belajar tentang prestasi luar biasa seorang teman misalnya, dia mungkin merasa senang untuk mereka, tetapi juga sedikit cemburu. Karena bias negatif menghubungkan kita dengan yang baik dan yang buruk. Bagian kecemburuan ini pada akhirnya bisa mengelabuhi dan menjadi yang utama.
Roy Baumeister dan tim penelitiannya menyatakan bahwa “buruk lebih kuat dari baik.” Pada dasarnya, mereka menyarankan agar kita terprogram untuk memperhatikan hal-hal negatif. Dari sudut pandang evolusi, hal ini tidak selalu merupakan hal yang buruk (inilah yang memungkinkan kita untuk memperhatikan ancaman di lingkungan dan menjaga diri kita tetap aman), tetapi di dunia modern ini berarti bahwa kita dapat berakhir dengan memikirkan hal-hal yang sebenarnya cukup kecil. Psikolog telah menemukan bahwa keberhasilan orang-orang terdekat kita dapat memiliki efek positif atau negatif pada kita, tergantung pada konteksnya. Kita mungkin, misalnya, merasa bangga dengan keberhasilan teman kita, atau kita mungkin merasa iri jika kita membandingkan pencapaian kita dengan mereka.
Menurut Abraham Tesser, yang mengembangkan teori yang dikenal sebagai teori pemeliharaan evaluasi diri atau Self-Evaluation Maintenance (SEM), kita cenderung merasa bahagia untuk orang-orang yang dekat dengan kita ketika mereka berhasil dalam sesuatu yang secara pribadi tidak relevan dengan kita. Misalnya, jika kita tidak terlalu suka berolahraga, kita akan bangga dengan teman yang baru saja memenangkan lomba lari maraton, dan mungkin tidak terlalu iri pada mereka. Di sisi lain, jika teman kita berhasil dalam sesuatu yang kita investasikan penuh secara pribadi, kita mungkin mulai membandingkan pencapaian kita dengan pencapaian mereka.
Menurut Kat Boogaard, berdasarkan teori pemeliharaan evaluasi diri, pada dasarnya normal jika kita merasa sedikit cemburu setelah mendengar kabar baik orang lain, bahkan jika itu adalah orang yang kita sayangi. Terkadang kesuksesan seorang teman dapat menginspirasi kita untuk bekerja lebih keras, namun terkadang pula kita bereaksi dengan cara yang kurang sehat. Kita mungkin menjauhkan diri dari teman yang berprestasi baik, atau merendahkan prestasi mereka sebagai cara untuk melindungi perasaan kita sendiri. Namun, Mudita menawarkan cara yang lebih sehat untuk menanggapi kabar baik dari teman atau orang terkasih.
Mark Coleman menambahkan bahwa dalam filsafat Buddhis, Mudita dikenal sebagai salah satu dari “Empat Ketakterbatasan” atau “Brahma-vihara”, yakni praktik yang dirancang untuk menumbuhkan lebih banyak hati. Jika kita sudah merasakan banyak kegembiraan simpatik, cinta kasih, belas kasih, dan keseimbangan dalam hidup kita, maka secara alami dapat mencerminkan kemanusiaan kita yang terdalam dan kesehatan mental yang optimal. Tetapi, jika kita tidak sering merasakannya, masih ada hal baik untuk kita bahwa semua kondisi ini dapat dilatih, dengan latihan. Untuk mengolah Mudita, Mark menjelaskan “praktik perhatian”, di mana seseorang secara diam-diam melafalkan frasa tertentu, sambil membayangkan orang yang berbeda. Latihan di bawah ini diadaptasi dari karyanya yang saya rangkum berdasarkan kutipan artikel dalam laman HealthyPsych.
Luangkan waktu sekitar 10 menit untuk melakukan latihan ini dan perhatikan bagaimana perasaan kita setelahnya.
Langkah 1: Berikan perhatian penuh pada pernapasan kita untuk memusatkan diri. Mindfulness.
Langkah 2: Menit berikutnya, perhatikan secara aktif hal-hal yang menyenangkan dalam pengalaman indera kita. Misalnya, kita mungkin memperhatikan bahwa kita sedang duduk di kursi yang nyaman, bahwa kita berada di tempat yang aman, atau perut kita terasa enak setelah menikmati makanan enak. Sekali lagi, mindfulness.
Langkah 3: Bayangkan orang yang kita cintai baik-baik saja dalam beberapa hal. Mungkin mereka senang setelah baru saja memiliki anak pertama (atau cucu), atau karena mereka telah mencapai sesuatu yang penting seperti lulus dari perguruan tinggi atau mendapatkan promosi di tempat kerja. Bayangkan mereka dalam keadaan mudah dan bahagia itu. Perhatikan bagaimana perasaan kita.
Langkah 4: Kemudian, saat kita membayangkannya, ucapkan frasa berikut:
“Aku ikut bahagia untukmu dan kebahagiaanmu”
“Aku merayakanmu dan kegembiraanmu”
“Aku senang dengan kesuksesanmu, semoga terus berkembang”
“Semoga kamu menikmati kesuksesan dan penghargaanmu”
Jangan ragu untuk menyesuaikan bahasa dengan kata-kata yang terasa lebih alami bagi kita. Dalam prosesnya, kita dapat menghabiskan seluruh waktu untuk fokus pada satu orang, atau dapat berpindah ke orang lain. Saat kita menjadi lebih terampil dalam memunculkan situasi gembira secara alami (membayangkan kesuksesan atau kebahagiaan orang lain), selanjutnya kita dapat bereksperimen dengan membayangkan seseorang yang kita anggap ‘netral’, kemudian diikuti oleh seseorang yang kita anggap ‘sulit’ atau tidak kita suka. Ada manfaat dalam memperluas lingkaran ini, tidak hanya orang-orang yang kita sayangi, tetapi juga kenalan, orang asing, dan bahkan mereka yang tidak kita sukai. Kuncinya adalah mencoba memasuki perasaan alami terhadap kegembiraan dan kebahagiaan dalam diri kita, baik yang halus maupun yang kuat. Perasaan itu ada, tetapi bisa terkubur karena pengkondisian kita sendiri, terutama terkait kacamata kita terhadap orang lain sebagai hal yang terpisah atau berbeda.
Mark menambahkan ada beberapa hambatan umum atau “musuh” dalam Mudita, diantaranya:
Rasa iri: menginginkan apa yang dimiliki orang lain dan merasa tidak puas dengan keadaan kita sendiri.
Pikiran membandingkan: mengukur diri kita sendiri terhadap orang lain, sering kali gagal.
Penilaian negatif: menemukan kesalahan pada orang tersebut, tidak menyukai mereka apa adanya atau mengapa mereka bahagia.
Mitos kekurangan: bahwa ada kebahagiaan dan kegembiraan yang terbatas. Keyakinan yang salah, bahwa jika seseorang memilikinya, itu berarti kurang atau tidak mungkin bagi kita.
Penelitian baru-baru ini telah mendukung gagasan bahwa berbagi kebahagiaan atas nasib baik orang lain memiliki manfaat. Shelly Gable menyebutnya sebagai kapitalisasi. Ketika kita menanggapi kabar baik orang lain dengan memperhatikan mereka, memberi selamat, bersemangat dan antusias dengan berita mereka, ini disebut merespons secara aktif-konstruktif. Respon aktif-konstruktif menguntungkan orang yang membagikan kabar baiknya kepada kita dan juga menguntungkan hubungan kita dengan mereka.
Hidup di zaman schadenfreude, memungkinkan kita untuk takut terhadap emosi yang dapat menyesatkan ini. Tetapi seperti halnya semua emosi, mengutuknya hanya membuat kita semakin jauh dengan tujuan kita. Yang benar-benar kita butuhkan adalah memikirkan kembali hal-hal yang dapat memantik emosi kita, salah satunya dengan mengalihkan dan melatih mindfulness melalui Mudita. Dengan konsistensi, kita akan melihat kebahagiaan dan kesuksesan orang lain sebagai kebahagian kita juga, bukan lagi sebagai kedengkian atau kecemburuan. Sudah menjadi sifat kita manusia untuk merasa cemburu, dan oleh sebab itu bersikap keras terhadap diri sendiri juga bukan solusi yang tepat. Teruslah berusaha, kawan!
Add a comment