Pada suatu bulan September tahun 2009, Dave Ficks merasa sangat lelah dan putus asa setelah kunjungan medis yang mengkhawatirkan. Dia dianjurkan untuk menjalani operasi tonsilektomi dan operasi plastik untuk mengatasi sleep apnea yang dideritanya. Dia mulai meragukan apakah hidupnya akan berakhir di sana.
Dave adalah seorang yang gemar makan dengan porsi yang sangat banyak, tidak peduli apakah dia lapar atau tidak. Dengan berat badan yang terus bertambah selama 15 tahun terakhir, Dave merasa lemas dan sangat tua. Dia juga merasa kesepian. Namun, dalam momen keputusasaannya itu, sebuah artikel tentang mindful eating muncul di halaman utama Yahoo.
Dave, yang selalu di depan komputer, memutuskan untuk membaca artikel tersebut. Konsep makan dengan penuh perhatian benar-benar baru bagi Dave. Tanpa ragu, dia memesan buku “Eat What You Love, Love What You Eat” oleh Michelle May dan memulai perjalanan mengubah kebiasaannya.
Setahun kemudian, Dave bukan hanya membaca bukunya, tetapi juga mengikuti workshop dan pelatihan tentang mindful eating. Meskipun perjalanan itu penuh rintangan dan kesulitan, Dave berhasil kehilangan 75 pon (atau sekitar 34 kg) dan sleep apnea-nya pun sembuh tanpa perlu operasi. Stamina jantungnya bahkan seperti orang separuh usianya.
Namun, cerita Dave tidak berakhir di sana. Dalam empat tahun berikutnya, Dave menghadapi tantangan baru dalam hidupnya. Dia mencoba memulai bisnis kecil, kehilangan pekerjaan, dan menghadapi masalah keuangan yang mengiringinya.
Bagi Dave, makan bukan lagi pilihan untuk mengatasi stres yang menimpanya. Dia menikmati makan dengan penuh perhatian, bahkan di tengah situasi yang paling sulit sekalipun. Pendekatan ini membantunya menjaga keseimbangan emosi dan menghadapi kecemasan serta depresi dengan lebih baik.
Dave menyadari bahwa meskipun kita tidak bisa mengendalikan segala hal yang terjadi dalam hidup, kita dapat mengendalikan cara kita meresponnya. Dalam perjalanan hidupnya, Dave belajar bahwa makan dengan penuh perhatian adalah salah satu kunci untuk menghadapi tantangan dan menjalani hidup dengan lebih bermakna.
“Paying attention to the moment-to-moment experience of eating can help you improve your diet, manage food cravings, and even lose weight.”
Apa itu Makan dengan Penuh Perhatian?
Menurut satu artikel Mindful Eating 101 — A Beginner’s Guide oleh Adda Bjarnadottir, bahwa makan dengan penuh perhatian (Mindful Eating) adalah teknik yang membantu kita mengelola kebiasaan makan dengan lebih baik. Melibatkan perhatian yang lebih dalam pada makanan dan bagaimana makanan tersebut menciptakan perasaan kita.
Makan dengan penuh kesadaran didasarkan pada konsep kesadaran (mindfulness) yang berasal dari Buddhisme. Kesadaran adalah bentuk meditasi yang membantu kita mengenali dan mengatasi emosi serta sensasi fisik.
Selain membantu kita belajar membedakan antara rasa lapar fisik dan emosional, makan dengan penuh perhatian juga terbukti membantu mengobati berbagai kondisi, termasuk gangguan makan, depresi, kecemasan, dan berbagai perilaku lain terkait makanan.
Pada dasarnya, makan dengan kesadaran melibatkan:
Makan dengan lambat dan tanpa gangguan;
Mendengarkan isyarat lapar fisik dan makan hanya sampai merasa kenyang;
Membedakan antara rasa lapar yang sebenarnya dan pemicu non-lapar;
Menggunakan indera kita dengan memperhatikan warna, aroma, suara, tekstur, dan rasa;
Belajar mengatasi rasa bersalah dan kecemasan terkait makanan;
Makan dengan cara yang lebih sehat dan seimbang;
Menyadari efek makanan terhadap perasaan dan tubuh kita;
Menghargai makanan yang kita konsumsi;
Adapun Lawrence Robinson dan Jeanne Segal menuliskan dalam Mindful Eating, bahwa makan dengan penuh perhatian adalah menjaga kesadaran saat ini terhadap makanan dan minuman yang kita konsumsi. Ini melibatkan pengamatan terhadap bagaimana makanan membuat kita merasa dan sinyal-sinyal yang dikirim tubuh tentang rasa, kepuasan, ataupun rasa kenyang.
Makan dengan penuh perhatian mengharuskan kita untuk sekadar mengakui dan menerima tanpa menghakimi perasaan, pikiran, dan sensasi tubuh yang kita amati. Bagi banyak dari kita, kehidupan sehari-hari yang sibuk sering membuat waktu makan menjadi terburu-buru. Kita sering makan di dalam mobil saat perjalanan ke tempat kerja, atau makan di depan meja, di depan layar komputer, bahkan di sofa sambil menonton TV.
Kita makan tanpa sadar, mencicipi makanan tanpa memperhatikan apakah kita masih lapar atau tidak. Bahkan, seringkali kita makan bukan karena lapar, tetapi untuk memenuhi kebutuhan emosional, mengurangi stres, atau mengatasi emosi negatif seperti kesedihan, kecemasan, kesepian, atau kebosanan. Makan dengan penuh perhatian adalah kebalikan dari jenis makan “tanpa pikiran” yang tidak sehat ini.
Makan dengan penuh kesadaran bukanlah tentang menjadi sempurna, harus selalu makan makanan yang tepat, atau tidak pernah memperbolehkan diri kita makan saat bepergian. Dan ini bukan tentang menetapkan aturan ketat tentang berapa kalori yang boleh kita makan atau makanan mana yang harus kita masukkan atau hindari dalam diet kita.
Sebaliknya, ini tentang fokus pada semua indera kita dan hadir saat kita berbelanja, memasak, menyajikan, dan makan makanan kita. Meskipun kesadaran tidak cocok untuk semua orang, banyak orang menemukan bahwa makan dengan cara ini, bahkan hanya dalam beberapa kali makan seminggu, kita dapat menjadi lebih peka terhadap tubuh kita.
Makan dengan sadar dapat membantu kita menghindari makan berlebihan, memudahkan perubahan kebiasaan makan kita menjadi lebih baik, dan menikmati peningkatan kesehatan tubuh dengan diet yang lebih sehat.
Bagaimana Berlatih Makan dengan Penuh Kesadaran?
Dikutip kembali dari tulisan Lawrence dan Jeanne, bahwa Untuk berlatih kesadaran, kita perlu terlibat sepenuhnya dalam setiap kegiatan yang kita lakukan. Dalam konteks makan dengan penuh kesadaran, sangat penting untuk makan dengan sepenuh perhatian, bukan dalam keadaan “otomatis” atau saat kita sedang terpaku pada membaca, menggunakan ponsel, menonton TV, berkhayal, atau merencanakan hal lain.
Ketika perhatian kita teralihkan, kita harus membawa perlahan perhatian tersebut kembali ke makanan kita. Meskipun sulit dan tidak selalu memungkinkan untuk mempraktikkan makan dengan penuh kesadaran secara ketat, kita masih bisa menghindari makan secara tidak sadar dan mengabaikan sinyal tubuh.
Sebelum makan, kita dapat mengambil beberapa napas dalam-dalam untuk merenungkan apa yang akan kita makan dengan tenang. Apakah kita merasa lapar atau apakah makanan tersebut hanya sebagai respon terhadap emosi seperti kebosanan, kecemasan, atau rasa kesepian?
Kita juga dapat mempertimbangkan apakah makanan yang kita pilih memberikan nutrisi atau hanya memberikan kenyamanan emosional. Bahkan saat harus makan di meja kerja, kita bisa meluangkan sedikit waktu untuk benar-benar fokus pada makanan kita, daripada teralihkan oleh tugas-tugas atau gadget elektronik.
Makan dengan penuh kesadaran bisa dianggap seperti olahraga: setiap usaha kecil memiliki arti. Semakin kita berusaha untuk melambatkan ritme makan, fokus sepenuhnya pada proses makan, dan mendengarkan tubuh kita, maka semakin besar kepuasan yang kita rasakan dari makanan kita serta semakin banyak kontrol yang kita miliki atas pola makan dan kebiasaan gizi kita.
Untuk lebih memahaminya, Michelle May & Rebecca Johnson menjabarkan tentang 6 Siklus Makan dengan Penuh Kesadaran melalui tulisannya Mindful Eating — Shifting the Focus from Weight to Well-being, bahwa siklus ini adalah model pengambilan keputusan yang dikembangkan oleh Michelle May, mengintegrasikan kesadaran dengan pendekatan non-diet dan netral terhadap berat badan.
1: Mengapa saya makan?
Banyak orang tidak tahu mengapa mereka memilih makanan tertentu. Alasan di balik pilihan makanan kita sebenarnya sangat penting dan memengaruhi keputusan yang kita buat. Sebagai contoh, beberapa orang makan untuk mendapatkan energi dan nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Orang-orang ini mungkin peduli dengan keseimbangan energi dan nutrisi dalam makanan yang mereka pilih.
Di sisi lain, ada juga orang yang makan karena adanya faktor lingkungan atau emosional seperti stres, kebosanan, atau keinginan untuk memanjakan diri. Orang-orang ini cenderung memilih makanan yang praktis, mengandung banyak energi, dan enak. Sayangnya, ketika makanan tidak berhasil mengatasi pemicu yang mendasarinya, orang ini cenderung makan berlebihan.
Masalahnya, banyak program penurunan berat badan hanya mengajarkan kita apa dan berapa banyak kita seharusnya makan tanpa mempertimbangkan alasan di balik makanan kita. Akibatnya, peserta program tidak belajar untuk mengenali dan mengatasi pemicu makan mereka dengan efektif.
2: Kapan saya merasa ingin makan?
Program-program yang sering membatasi makanan dalam rangka penurunan berat badan sering kali memberikan aturan-aturan seperti jadwal makan yang ditentukan. Namun, rasa lapar adalah metode primitif tetapi juga dapat diandalkan dalam mengatur pola makan.
Dengan menunda dan bertanya kepada diri sendiri, “Apakah saya lapar?” setiap kali merasa ingin makan, individu dapat memulihkan persepsi lapar sebagai sinyal utama untuk makan. Pertanyaan sederhana ini memiliki dampak yang kuat karena membantu kita membedakan antara kebutuhan fisik kita akan bahan bakar dan isyarat dari lingkungan atau emosi.
Ketika individu dapat mengidentifikasi rasa lapar dengan akurat, mereka dapat meningkatkan kesadaran akan seberapa lapar mereka sebenarnya, dan membuat keputusan yang disengaja tentang berapa banyak makanan yang seharusnya mereka konsumsi. Ketika mereka menyadari bahwa keinginan untuk makan bukanlah disebabkan oleh lapar, mereka dapat mengidentifikasi pilihan alternatif yang lebih efektif daripada hanya makan.
3: Apa yang saya makan?
Saat mengikuti pola makan yang membatasi, kita harus menjaga keinginan untuk mematuhi aturan tersebut tanpa batas. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang sedang diet cenderung menjadi terlalu fokus pada makanan, merasa kekurangan dan bersalah, serta merasa putus asa ketika “melanggar aturan”.
Perasaan gagal dan merasa rendah diri ini, yang dikombinasikan dengan peningkatan rasa lapar dan keinginan makan, seringkali mengakibatkan makan secara berlebihan. Michelle menyebut siklus ini sebagai “siklus makan-menyesal-berulang”. Siklus ini merupakan salah satu alasan mengapa metode konvensional tidak menghasilkan perubahan jangka panjang dan malah memicu siklus naik turun berat badan.
Namun, pendekatan non-diet dalam melihat pertanyaan “Apa yang saya makan?” mengakui bahwa pola makan “normal” melibatkan berbagai jenis makanan, termasuk makanan yang kita nikmati karena kesenangan. Ketika makanan favorit tidak lagi dilarang dan kita dapat menikmatinya tanpa rasa bersalah, keinginan untuk makan secara berlebihan akan berkurang.
Ketika tidak ada lagi perasaan kekurangan, secara alami kita akan cenderung menuju pola makan yang seimbang. Dengan dukungan pendidikan dan pengalaman pribadi tentang efek makanan pada tubuh, suasana hati, dan tingkat energi, peserta akan dapat membuat keputusan yang lebih baik tentang makanan yang mereka pilih.
4: Bagaimana cara saya makan?
Banyak orang makan dengan terburu-buru atau sambil melakukan kegiatan lain seperti menonton televisi, mengemudi, atau bekerja. Hal ini membuka peluang untuk makan secara berlebihan. Namun, individu yang berlatih makan dengan penuh kesadaran menggunakan pendekatan “Siklus Makan dengan Penuh Kesadaran”. Mereka belajar untuk makan dengan lebih bermakna dan sadar.
Hal ini sering melibatkan menetapkan niat tentang seberapa kenyang yang ingin dirasakan setelah makan, serta memberikan perhatian penuh pada makanan dan bagaimana makanan tersebut memengaruhi tubuh. Dengan memperhatikan keputusan-keputusan yang diambil seputar makanan, peserta mempelajari strategi untuk menjadi lebih sadar sebelum, selama, dan setelah makan.
Selain itu, ketika mereka merasakan manfaat dari makan dengan penuh kesadaran, mereka seringkali menerapkan konsep-konsep ini ke aspek lain dalam hidup mereka, seperti pekerjaan, hubungan, dan perawatan diri.
5: Berapa banyak yang harus saya makan?
Di tengah berlimpahnya pilihan makanan saat ini, kemampuan menentukan seberapa banyak makanan yang seharusnya kita konsumsi sangat penting. Sebagian besar program penurunan berat badan mengandalkan kontrol eksternal seperti pengukuran makanan, penghitungan kalori, atau poin-poin tertentu.
Namun, pendekatan ini memakan waktu dan energi yang sulit dipertahankan, serta mengubah pengalaman makan menjadi sesuatu yang terasa mekanis dan terputus dari isyarat tubuh kita. Melalui pelatihan kesadaran, individu belajar untuk menentukan jumlah makanan yang tepat dengan memperhatikan isyarat internal mereka dan mengklarifikasi tujuan situasional yang ada.
Mereka belajar bahwa ketika mereka makan dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan bahan bakar tubuh mereka, mereka merasa lebih baik, lebih puas, dan mampu mencapai tujuan kesehatan jangka panjang serta meningkatkan kualitas hidup mereka dengan lebih efektif.
6. Di mana saya menginvestasikan energi saya?
Pesan yang umum tentang “kalori masuk, kalori keluar” sering membuat orang mengaitkan olahraga dengan hukuman atas makanan atau sebagai imbalan untuk boleh makan. Selain itu, faktor-faktor lain seperti kurangnya waktu, rendahnya energi, atau ketidaknyamanan fisik dapat menyebabkan asosiasi negatif dan kecenderungan untuk menghindari aktivitas fisik.
Pendekatan non-diet menggabungkan pendekatan personal dan bertahap dalam beraktivitas fisik, dengan tujuan untuk menemukan kembali kebahagiaan dan energi dalam bergerak. Selain makan dan bergerak, pendekatan ini juga menekankan kesadaran dan pandangan netral terhadap berat badan, serta mendorong pendekatan holistik terhadap kesejahteraan yang meliputi kesehatan emosional, spiritual, intelektual, dan fisik.
Ketika individu terlepas dari fokus yang terus-menerus pada makanan dan berat badan, serta mengembangkan keterampilan kesadaran, energi mereka bebas untuk diinvestasikan dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dengan lebih baik.
‘‘Compared to diets, mindfulness is a process-oriented rather than an outcome-driven behavior.’’
Tidaklah kebetulan bahwa dalam pendekatan ini, pilihan yang sering diambil oleh individu adalah makan dengan porsi yang lebih sedikit, menikmati makanan dengan lebih banyak, dan memilih makanan yang memberikan manfaat kesehatan yang diinginkan.
Adapun menurut Lawrence dan Jeanne, kita semua tahu bahwa kita seharusnya mengurangi konsumsi gula dan makanan olahan serta lebih banyak mengonsumsi buah dan sayuran. Tetapi jika hanya mengetahui “aturan-aturan” makan sehat sudah cukup, maka tak seorang pun dari kita akan mengalami kelebihan berat badan atau kecanduan makanan tidak sehat.
Namun, ketika kita makan dengan penuh kesadaran dan semakin mengakrabkan diri dengan tubuh, kita dapat mulai merasakan bagaimana makanan yang berbeda mempengaruhi kita secara fisik, mental, dan emosional. Dan hal itu dapat membuat lebih mudah bagi kita untuk beralih ke pilihan makanan yang lebih sehat.
Misalnya, setelah kita menyadari bahwa camilan manis yang kita inginkan saat lelah atau sedih sebenarnya membuat kita merasa semakin buruk, maka lebih mudah bagi kita untuk mengendalikan keinginan tersebut dan memilih camilan yang lebih sehat yang meningkatkan energi dan suasana hati kita.
Add a comment