“The greatest power is not money power, but political power” – Walter Annenberg
Adagium di atas kiranya mewakili alam pikir para cerdik pandai menyoal makna kata “politik”. Bila diterjemahkan ke dalam bahasa lain, adagium itu kurang lebih juga dapat berbunyi begini: power is everywhere and politics is about power. Sepanjang sejarah, politik dan kekuasaan selalu menjadi jalan kehidupan manusia. Politik mengalir dalam arteri pendidikan; tumbuh dalam upaya mencapai kesetaraan; hidup dalam beragam diskursus tentang kewarganegaraan. Dalam praktik-praktik sederhana, politik bahkan juga hadir di setiap jengkal kehidupan kita. Tidak ada satu pun hari-hari kita terlewati tanpa melalui praktik politik. Percakapan dengan keluarga di meja makan, perdebatan dengan kawan untuk memilih tempat begadang, hingga proses transfer ilmu pengetahuan di ruang kelas akademik, semua tidak terlepas dari berlangsungnya relasi kuasa yang menjadi roh praktik politik.
Berbicara soal praktik politik, saya jadi teringat cerita tentang sekelompok petani cabai di Magelang, Jawa Tengah yang pernah merugi akibat harga jual cabai anjlok, padahal harga beli komoditas cabai di pasaran sedang melambung tinggi. Dalam studi bertajuk “Dari Pemberdayaan Menuju Emansipasi”, Arifin (2017) mengungkapkan bahwa persoalan yang dihadapi para petani cabai cukup pelik. Masalahnya bukan lagi soal kualitas cabai yang rendah hingga menyebabkan harga jualnya turun, melainkan soal panjangnya rantai distribusi oleh para tengkulak nakal. Para tengkulak dengan leluasa memainkan harga untuk meraup untung setinggi mungkin, sementara para petani cabai terpuruk tiada berdaya. Dengan demikian, sesuatu yang dihadapi oleh para petani cabai bukan hal sederhana lagi teknis, melainkan soal kompleksitas kontrol para tengkulak atas komoditas cabai. Setelah melalui perjuangan politik yang panjang –yang tentu juga tidak mudah– para petani kini dapat lepas dari belenggu para tengkulak dan leluasa menjual cabai secara langsung ke pasar, tentunya dengan harga jual yang jauh lebih manusiawi.
Cerita di atas menunjukkan bahwa politik dan kekuasaan bukan hanya bersifat institusionalis dimana negara selalu ditempatkan sebagai subjek. Kembali pada adagium di awal penulisan artikel ini: power and politics is everywhere. Politik dan kekuasaan memiliki daya untuk mengontrol dan membentuk kehidupan kita sedemikian rupa.
Memahami politik hanya sebatas pada urusan birokrasi, partai politik, legislasi, dan hal-hal lain yang bersifat elektoral dengan demikian tidak lagi relevan. Kita perlu membuka cakrawala berpikir yang lebih luas bahwa praktik politik mengatur sendi-sendi kehidupan kita, mulai dari mengontrol tubuh hingga hal-hal eksepsional seperti persoalan ekonomi dan kesejahteraan.
Kaum Muda dalam Ruang Politik
Melihat interseksi kaum muda[1] dan politik menjadi menarik lagi penting, mengingat kaum muda selama ini berada pada ketergantungan legitimasi dan intervensi kaum dewasa serta menjadi objek –jika tidak ingin dikatakan sebagai korban– dari berbagai kebijakan negara yang bersifat politis (Sutopo, 2014). Beragam kompartemen kajian telah menunjukan bagaimana keputusan-keputusan politik menyangkut hajat hidup kaum muda justru diambil dalam bias orang dewasa. Berbicara pada konteks pendidikan inter-generasi, Astuti (2019) mengatakan bahwa generasi yang lebih tua seringkali memengaruhi pengetahuan, sikap, dan perilaku generasi yang lebih muda. Dalam kajian tersebut, Astuti (2019) secara khusus berbicara mengenai persoalan kaum muda, lingkungan, dan pembangunan. Argumentasi utamanya adalah bahwa proses pengambilan keputusan terkait isu pembangunan seringkali memarjinalkan keterlibatan mendalam kaum muda. Padahal, kaum muda adalah pihak yang akan paling merasakan dampak terburuk dan risiko kerusakan lingkungan paling besar di masa mendatang.
Kajian yang dilakukan oleh Pamflet (2013) juga menyimpulkan adanya peminggiran partisipasi kaum muda dalam berbagai kebijakan strategis menyangkut masa depan mereka. Mengambil contoh Undang-Undang Kepemudaan, Pamflet (2013) secara gamblang memaparkan bahwa negara belum mampu melihat kaum muda sebagai kelompok yang beragam dengan kebutuhan dan permasalahan yang spesifik, seperti kaum muda dengan disabilitas, kaum muda jalanan, perempuan muda, pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, hingga fundamentalisme. Definisi-definisi yang ada dinilai masih menggunakan kerangka lama, sehingga kerap tidak kompatibel dengan gerakan kaum muda kontemporer. Kajian tersebut sampai pada kesimpulan bahwa pandangan negara yang menempatkan kaum muda sebagai objek yang perlu dijaga dan dikontrol, alih-alih diposisikan sebagai subjek untuk ikut serta merumuskan kebijakan secara otonom, adalah sumber persoalannya.
Dalam permisalan lain yang lebih kritis, Yunita (2018) mengemukakan bahwa dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio tahun 2012, sebenarnya telah muncul kesadaran untuk menyertakan suara kaum muda dalam proses pengambilan keputusan terkait pembangunan global. Namun demikian, beberapa peneliti tetap saja skeptis: mekanisme partisipasi yang disediakan tidak memungkinkan kaum muda untuk dapat berkontribusi secara mendalam. Yunita (2018) menambahkan bahwa dengan demikian, partisipasi emansipatoris dan politis harus dilihat pada konteks yang lebih luas dari struktur kekuatan sosial politik yang ada.
Melampaui kajian-kajian di atas, kita perlu mahfum bahwa ada banyak kompartemen studi lain yang menunjukan adanya jarak antara kaum muda dengan realitas politik –baik sengaja “digagalkan” untuk masuk ke dalam struktur dan institusi politik maupun bersumber dari ketidakpahaman mereka menyoal praktik politik itu sendiri (Asumsi, 2019). Segala ruang politik yang ada seolah berada dalam cengkeraman dan hegemoni kaum dewasa –oleh Kollmuss dan Agyeman (2002) disebut lebih rentan terhadap pemikiran yang mengaburkan penilaian mereka ketika berhadapan dengan isu-isu yang dianggap sulit dan kontroversial. Akibat sempitnya, atau bahkan tidak adanya, ruang partisipasi politik yang diberikan kepada kaum muda itulah, kaum muda tidak memiliki kuasa (power) untuk menentukan arah gerak kehidupannya yang amat dikontrol oleh kebijakan bernuansa politis.
Dengan demikian, memahami dimensi politik (melek politik) dalam kehidupan bernegara menjadi sangat penting bagi kaum muda, utamanya apabila praktik politik itu menyangkut kebijakan-kebijakan yang berkaitan langsung dengan hajat hidup mereka. Peka terhadap praktik politik bukan melulu soal menghafal nama-nama anggota dewan, jauh lebih substansial daripada itu, melek politik berarti mengerti bagaimana bekerjanya nalar kekuasaan dan relasi kuasa yang hendak mengontrol kaum muda dan berpotensi akan merugikan mereka. Dengan memahami politik secara substansial, kaum muda akan menjadi lebih kritis sehingga memiliki benteng pertahanan untuk ‘menyelamatkan’ dirinya sendiri dari belenggu nalar politik negara. Di samping itu, kaum muda yang melek politik lagi kritis juga akan menjadi pengontrol atas hadirnya negara tirani. Dalam bingkai demokrasi khususnya, kepekaan terhadap dimensi politik-kritis yang demikian akan menjadi amunisi bagi terbentuknya sistem demokrasi yang sehat.
Representasi Politik Kaum Muda
Peduli kemudian posisi. Peduli atau melek politik saja tidak cukup. Kaum muda juga perlu ikut mengambil bagian dalam proses politik untuk memastikan berbagai kebijakan negara sesuai dengan kebutuhan dan hak-hak mereka. Hal itu dimaknai sebagai upaya untuk memperjuangkan kepentingan kaum muda dalam ruang politik. Menghancurkan barrier dan jarak antara kaum muda dengan realitas politik dengan demikian menjadi agenda super mendesak yang perlu dilakukan. Sebagaimana Walker (2012) katakan, keputusan politik tentang masa depan kaum muda tidak boleh dibuat tanpa melibatkan mereka.
Melampaui bentuk-bentuk ekspresi politik yang sudah ada, sebagaimana ‘politik jalanan’ atau demonstrasi, kritik melalui media daring, forum diskusi dan komunikasi, merebut ruang politik dengan masuk ke dalam struktur politik adalah langkah paling revolusioner untuk memperjuangkan kepentingan kaum muda. Sudah bukan masanya lagi kaum muda hanya dijadikan lumbung suara dan peserta upacara dalam setiap perayaan pesta demokrasi. Bukan saatnya pula kaum muda hanya dijadikan aksesoris kebijakan pemerintah. Representasi kaum muda dalam ruang-ruang politik penting untuk menjadi legitimasi dan kekuatan atas berbagai kebijakan pemerintah agar dapat mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan kaum muda.
Kita boleh berbangga, sebab kini kita jumpai ada sepuluh anak muda berusia di bawah 27 tahun[2] yang berwenang menggodok produk perundang-undangan dan akan menentukan hajat hidup masyarakat di setiap jengkal tanah air. Namun demikian, kita masih belum pantas berpuas diri, sebab perjuangan merebut hegemoni ruang politik itu belum sepenuhnya kita menangkan. Tanpa bermaksud meremehkan ‘perjuangan’ dan kapasitas sepuluh minion DPR, kita harus mengerti bahwa kaum muda yang saat ini duduk di kursi elite pemerintah tidak datang dari kantong-kantong penderitaan. Privileges berupa akses pendidikan dan ekonomi adalah milik mereka sedari lahir. Kaum muda tersebut hampir seluruhnya lahir dari bibit seorang bupati, gubernur, mantan ketua DPR, dan direktur utama BUMN dengan nilai kekayaan pada usia semuda sudah mencapai miliar-an rupiah. Riyanto (2019) menyebut secara implisit bahwa posisi politik yang mereka duduki saat ini dengan demikian bukanlah sesuatu yang aneh –memang sudah seharusnya mereka miliki.
Dalam bahasa lain, keterwakilan kita dalam struktur politik akan direpresentasikan oleh segelintir kaum muda dengan berbagai privileges yang sudah mereka sandang sejak lahir –dari masa ke masa memang segalanya ditentukan oleh yang segelintir. Sesuatu yang pantas menjadi kekhawatiran kita bersama adalah jangan-jangan representasi kaum muda tersebut hanyalah bersifat ‘keadilan pengakuan’ bukan ‘keadilan pemerataan’[3]. Keadilan pengakuan didedikasikan oleh segelintir dari mereka kepada segelintir lainnya untuk memperoleh posisi strategis dari kelas mereka sendiri. Sudah pasti, penerima manfaat dari hal itu adalah mereka yang sudah memiliki keuntungan sosial, budaya, dan ekonomi yang cukup besar (privileges). Keadilan pengakuan hanya berfokus untuk membuktikan bahwa kaum muda (yang memiliki privileges) juga bisa merebut ruang-ruang politik yang selama ini dicengkeram kaum dewasa. Sementara jutaan kaum muda lain yang tidak seberuntung itu tetap terjebak di ‘ruang bawah tanah’. Pada akhirnya, ‘keadilan pemerataan’ yang hakikat utamanya memperjuangkan keadilan sampai pada akar-akarnya jadi terlupakan. Akan sia-sia saja apabila kaum muda yang saat ini menempati posisi struktural justru berhenti pada pengakuan atas individu, terlebih pengakuan atas sistem politik yang menutup keran partisipasi politik kaum muda lainnya.
Sebelum beranjak terlalu jauh, ada baiknya kita memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada kaum muda ‘terpilih’ itu untuk bekerja. Tanpa perlu berharap banyak –sebaiknya memang tak usah berharap– kita tetap harus berjuang merebut ruang politik kaum muda dengan jalan perjuangan kita masing-masing. Bila memang langkah-langkah revolusioner untuk memasuki ruang politik itu masih jauh panggang daripada api, kita dapat menciptakan ruang politik kita sendiri. ‘Politik jalanan’, media daring, forum komunikasi dan diskusi adalah sederet ruang politik yang dapat kita ciptakan, utamanya untuk melatih kepekaan nalar politik kita atas berbagai relasi kuasa negara.
Menatap Masa Depan
Merebut ruang politik untuk kaum muda bukan hanya dimaknai sebagai upaya untuk memperjuangkan kepentingan mereka, melainkan juga upaya untuk membantu negara dalam menciptakan kebijakan politik yang inklusif[4]. Selain kaum muda yang harus berjuang merebut hegemoni atas ruang politik, ada baiknya negara juga melakukan affirmative action dan affirmative policy untuk memperpendek jarak antara kaum muda dengan realitas politik. Affirmative action dilakukan dengan mewajibkan partai politik melakukan kaderisasi kepada kaum muda dengan prosentase minimal 30 persen dari kepengurusan di tingkat pusat dan daerah. Sementara affirmative policy dilakukan dengan memberlakukan kebijakan yang memberikan kuota sebesar 20 persen pada kaum muda untuk duduk di kursi DPR dan DPRD (Geotimes, 2019). Dalam perjalanannya, kaum muda juga perlu diarahkan untuk membuat dan merevisi produk perundang-undangan yang berkaitan dengan kaum muda itu sendiri, seperti Undang-Undang Kepemudaan, ketenagakerjaan, pendidikan tinggi, dan lain sebagainya. Dengan adanya perjuangan kaum muda untuk merebut hegemoni ruang politik, ditambah dengan aksi dan kebijakan afirmatif negara untuk memperpendek jarak kaum muda dengan dunia politik, jargon-jargon yang selama ini sering didengungkan “masa depan bangsa berada di tangan kaum muda” bukan lagi utopia.
Bacaan Pendukung
1. Astuti, Rini. 2019. Keadilan Inter-Generasi, Malapetaka Lingkungan, dan, Pemuda di Era Antroposen. Jurnal Studi Pemuda Volume 8 Nomor 2 Tahun 2019
2. Asumsi. 2019. Demi Hari Depan, Anak Muda Indonesia Harus Jadi Menteri. Diakses pada 16 Agustus 2020 melalui https://tinyurl.com/y5ceq27j
3. Arifin, Badrul. 2017. Dari Pemberdayaan Menuju Emansipasi: Telaah Kritis terhadap Social Entrepreneurship dan Tawaran untuk Pembebasan Kaum Marjinal. Jurnal Sosio Informa Vol. 3, No. 03 September – Desember 2017
4. Geotimes. 2019. Menghadirkan Representasi Politik Anak Muda. Diakses pada 19 Agustus 2020 melalui https://tinyurl.com/y4mhjebu
5. Kollmuss, A., Agyeman, J. 2002. “Mind the Gap: Why do people act environmen- tally and what are the barriers to pro-envi- ronmental behavior?” Environmental Education Research 8, 239–260. https://doi. org/10.1080/13504620220145401
6. PAMFLET. 2013. Kajian Kebijakan Anak Muda Indonesia. Diakses pada 14 Agustus 2020 melalui https://tinyurl.com/y3jlt553
7. Riyanto, Geger. 2019. Beri Aku Sepuluh Milenial Tajir, akan Aku Jadikan Mereka Pejabat Negara. https://tinyurl.com/y3tgzxzy
8. Warta Ekonomi. 2019. 10 Anggota DPR Muda dan Harta Kekayaannya. Diakses pada 16 Agustus 2020 melalui https://tinyurl.com/y2zsufrt
9. Widhyharto, Derajad. 2014. Kebangkitan Kaum Muda dan Media Baru. Jurnal Studi Pemuda Vol. 3, No. 2, September 2014
10. Yunita, S.A.W. 2018. “We are just cheerleaders”: Youth’s views on their participation in international forest-re- lated decision-making fora”. Forest Policy and Economics 88, 52–58. https://doi. org/10.1016/j.forpol.2017.12.012
Catatan Kaki
[1] Lihat Widhyharto (2014). Dibandingkan istilah “pemuda” dan “generasi muda”, terminologi “kaum muda” dianggap mewakili kuantitas atau jumlah yang banyak, subjek yang otonom (dapat mengambil keputusan dan melakukannya sendiri maupun bersama), serta mewakili nilai dan budaya (baik sebagai pencipta maupun peraga).
[2] Geger Riyanto (2019) dalam “Beri Aku Sepuluh Milenial Tajir, akan Kujadikan Mereka Pejabat Negara” menyebut mereka sebagai Sepuluh Minion DPR
[3] Meminjam istilah Nancy Fraser dalam bukunya yang bertajuk Feminism for The 99%.[4] Dampak kebijakan politik itu dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Selain kaum muda, kelompok masyarakat yang termarjinalkan seperti difabel, perempuan, masyarakat adat, dan lain sebagainya juga dapat merasakannya.
Add a comment