Pasti dalam keseharian akan selalu ada waktu di mana kita harus melalui percakapan yang sulit, entah itu percakapan untuk mengakhiri sebuah hubungan, mengundurkan diri dari pekerjaan, meminjam uang karena berada dalam kondisi yang sulit, dan masih banyak lagi. Di kondisi tersebut kita bisa memilih untuk menghadapinya dengan kepala tegak atau berlari menghindarinya. Namun, segigih apapun kita mencoba untuk menghindar, percakapan sulit itu memang ditakdirkan untuk terjadi. Dengan buku ini, penulis ingin berbagi tentang bagaimana caranya untuk melalui percakapan sulit dengan lebih produktif, tidak merendahkan lawan bicara dan tidak ada beban di antara kedua belah pihak setelah percakapan berakhir.
3 Lapis Percakapan
Kadang kita memilih untuk menghindari percakapan sulit karena kita takut untuk merusak hubungan baik yang sudah lama terjalin. Agar hal tersebut tidak terjadi, kita perlu memahami bahwa dalam tiap percakapan yang sulit, terdapat tiga lapis percakapan:
Di lapisan pertama kita membicarakan apa yang terjadi? yang di dalamnya melibatkan perdebatan tentang siapa melakukan dan berkata apa, siapa yang benar dan siapa yang salah, apa yang harusnya terjadi, dan siapakah pihak yang harus disalahkan.
Di lapisan kedua, para penulis menyebutnya dengan “Feelings Conversation” (Percakapan Perasaan). Pada tahap ini, masing-masing pihak bertanya-tanya apakah mereka harus mengungkapkan apa yang mereka rasakan ataukah memendamnya saja untuk sekarang. Mereka juga mempertimbangkan akankah melukai lawan bicara jika emosi ini diungkapkan? Jika mereka siap untuk menghadapi segala konsekuensi atas emosi yang diungkapkan, mereka akan menyatakannya di tahap ini.
Di lapisan ketiga terdapat “Identity Conversation” (Percakapan Identitas). Percakapan ini adalah percakapan kita dengan diri sendiri. Kita mulai mempertanyakan tentang bagaimana pandangan orang lain terhadap diri kita setelah percakapan terjadi. Apakah orang lain akan menganggap kita tidak memiliki kemampuan yang cukup di bidang yang diperdebatkan? Apakah kita pantas menyatakan hal tersebut? Ataukah kita terlalu gegabah dan kurang bijaksana dalam menyikapinya?
Percakapan Pembelajaran
Sering kali, pada tahap dimana kita mencoba untuk menjelaskan apa yang terjadi, secara sadar atau tidak, kita memaksakan lawan bicara untuk mempercayai bahwa sudut pandang kitalah yang benar. Kita berbicara seakan kita mengetahui semua fakta yang berkaitan dengan hal yang diperdebatkan. Dengan cara seperti ini, kemungkinan besar percakapan akan berujung pada pertengkaran, saling menyalahkan, dan emosi yang terbungkam.
Menurut penulis, pendekatan yang seharusnya diterapkan di tahap awal ini adalah niat untuk belajar dari satu sama lain. Tanamkan dalam pikiran bahwa lawan bicara kita memiliki informasi dan persepsi penting yang kita tidak ketahui. Coba untuk melihat masalah yang didiskusikan dari sudut pandang lawan bicara. Kedua, hindari berasumsi bahwa lawan bicara kita memiliki niatan buruk terhadap kita. Sikap ini akan membantumu untuk menanyakan pertanyaan penting yang dapat membawamu semakin dekat kepada kebenaran alih-alih menyalahkan pihak lawan atas hal yang terjadi.
Tanyakan pertanyaan seperti “apa yang menyebabkan kesalahpahaman ini terjadi?”, “di mana letak kesalahan dari masing-masing pihak?”, dan “apakah yang kita bisa lakukan kedepannya?”.
Improving the Feelings Conversation
Mungkin mengendalikan emosi dapat terasa sulit untuk dilakukan, terlebih ketika rasa malu, tersakiti dan rasa tidak mampu muncul di permukaan. Namun dengan menerapkan pendekatan pembelajaran pada lapisan pertama, mengendalikan emosi akan terasa lebih ringan. Di samping itu, kita juga akan menyadari betapa pentingnya untuk berempati terhadap perasaan dari lawan bicara kita.
Sebelum terjun ke dalam percakapan sulit, kita disarankan untuk mendalami jejak emosi dari diri sendiri. Tanyakan pada dirimu tentang bagaimana caramu menangani emosi sewaktu kecil? Bagaimana cara orang-orang terdekatmu bereaksi terhadap emosi yang kamu luapkan? Setelah kamu menemukan pola dari emosimu, kamu akan semakin memahami cara untuk mengatasinya.
Perlu kamu ingat bahwa emosimu dapat berubah sesuai dengan persepsi atau pandanganmu mengenai sesuatu. Jika kamu dengan pasanganmu terlalu sering beradu pendapat, mungkin ini saat nya untuk mengevaluasi asumsi yang kamu miliki terhadap pasanganmu.
Misal, kamu baru saja menikah. Dan semenjak hari pernikahan, kamu (sebagai suami) belum sempat mendiskusikan dengan istrimu mengenai pembagian tugas rumah tangga karena kalian sibuk dengan pekerjaan kantor masing-masing. Karena budaya di Indonesia yang terbentuk cenderung melimpahkan pekerjaan rumah kepada istri, kamu beranggapan bahwa istrimu lah yang bertanggung jawab atas segala hal yang berkaitan dengan pekerjaan rumah. Padahal istrimu sudah cukup lelah dengan hari-harinya di kantor. Kamu bisa saja marah ketika istrimu mengeluh mengenai hal ini jika kamu tidak dapat mengubah asumsi awalmu; dan hal ini dapat berujung pada pertengkaran berkepanjangan. Maka dari itu, asumsi yang didasari dengan empati dan mau memahami penting untuk dimunculkan sedari dini.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, jangan tahan emosimu, baik yang bersifat positif maupun negatif. Biarkan lawan bicaramu tahu apa yang kamu rasakan. Sangat disarankan agar kamu tidak menggunakan kata-kata tuduhan yang berisfat ekstrim seperti “kamu selalu” atau “kamu tidak pernah” dalam penyampaiannya. Bantu lawan bicaramu memahami alasan dan sudut pandangmu secara jelas dan tanyakan kepadanya jika dia mempunyai pemahaman yang berbeda.
Improving the Identity Conversation
Tidak jarang kita mengaitkan diri kita dengan sifat-sifat seperti extrovert, loyal, disiplin, dan sebagainya untuk mendefinisikan siapa diri kita di hadapan orang lain. Namun hal yang jarang kita sadari adalah pada dasarnya identitas diri tidak bersifat mutlak. Jika kita tidak menyadari hal ini, kita akan mengalami kesulitan jika orang lain mempertanyakan siapa diri kita sebenarnya.
Sebagai contoh, kamu mendefinisikan dirimu sebagai orang yang patuh. Namun suatu hari, pihak manajemen dari perusahaanmu memutuskan untuk membuat satu kebijakan yang merugikan pelanggan. Kamu menyadari hal ini dan melawan keputusan tersebut dengan tidak menjalankan tugas yang diberikan oleh atasan. Ketika atasanmu mempertanyakan tentang kepatuhanmu, apakah kamu secara otomatis menjadi orang yang tidak patuh? Identitas bukanlah sesuatu yang hitam ataupun putih. Jadi, berhenti habiskan energi untuk mempertanyakan identitasmu ketika ada sesuatu yang lebih mulia untuk dicapai.
Para penulis meminta kita untuk menyadari tiga hal ini ketika kita berbicara tentang identitas: Kamu akan berbuat kesalahan, niat adalah sesuatu yang rumit, dan kamu juga memiliki kontribusi terhadap suatu masalah. Ketika kamu menyadari bahwa suatu saat kamu akan berbuat salah, kamu akan mulai memahami bahwa orang lain juga berbuat salah. Dengan begitu, kamu akan lebih mudah untuk menerima kenyataan bahwa kamu berbuat salah dan kamu akan berusaha untuk memperbaikinya.
Dua poin penting terakhir yang perlu diingat adalah kita tidak dapat mengendalikan reaksi dari lawan bicara. Yang dapat kita lakukan adalah mempersiapkan diri kita untuk menerima respon dari mereka dan mempersiapkan diri terhadap konsekuensi dari sikap yang kita ambil. Terakhir, jika kamu merasa kewalahan dengan percakapan sulit ini, mintalah waktu untuk berhenti sejenak untuk memikirkan segala sesuatu yang telah diucapkan.
Ceritakan dengan Sudut Pandang Orang Ketiga
Ketika kita membuka percakapan sulit dari sudut pandang kita, ini akan beresiko untuk mencederai harga diri dari lawan bicara kita. Akan lebih baik jika kita dapat menceritakan peristiwa penting dari sudut pandang seorang pengamat yang tidak memihak.
Misalkan, kamu tinggal di sebuah rumah kontrakan bersama dua orang temanmu. Kamu terbiasa untuk segera mencuci gelas dan piring ketika selesai menggunakannya. Namun dua temanmu akan mencucinya hanya ketika sudah terdapat banyak piring dan gelas yang menumpuk. Untuk mendiskusikan solusi dari permasalahan ini, sangat disarankan agar kamu dapat membuka percakapan dengan kalimat: “kita mungkin punya kebiasaan yang berbeda tentang kapan waktunya untuk mencuci piring,” alih-alih berkata: “kamu orangnya malas banget ya. Cuci piring setelah makan aja nggak mau.” Dengan menggunakan kalimat pertama, kamu tidak akan terdengar menghakimi. Merekapun akan dengan senang hati untuk menyampaikan sudut pandang mereka dan akhirnya mendapatkan solusi yang nyaman untuk kedua belah pihak.
Untuk membca lebih detil mengenai hal ini, silahkan beli buku dari penulis di toko terdekat. Mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam memahami maksud dari penulis.
Add a comment