“Lebih mudah untuk membesarkan anak untuk menjadi kuat dibandingkan dengan memperbaiki seorang pria dewasa yang rusak.” Kata Frederick Douglass. Cara kita mendidik anak dan cara kita berperilaku dalam menjalani keseharian akan sangat berpengaruh kepada kepribadiaanya. Jadi apa saja yang anak-anak mu butuhkan untuk menjadi seseorang yang dapat bergantung pada dirinya sendiri, bertanggung jawab, dan bahagia di kehidupan mendatang?
Orang Tua Bermental Kuat Mengajarkan Anaknya untuk Bertanggung Jawab dan Pantang Menyerah Kunci pertama untuk menjadikan anak memiliki mental yang kuat adalah memberikan dukungan dan kepercayaan kepada mereka untuk menghadapi tantangan hidup; jangan perlakukan mereka seperti korban dari sebuah keadaan, tetapi anggaplah mereka sedang berusaha untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka.
Mari lihat kasus Cody, seorang anak 14 tahun yang sedang mengidap ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Sekolah melaporkan bahwa setelah mendapatkan pengobatan, dia terlihat lebih tenang dan dapat memberikan perhatian penuh dalam pelajaran. Namun anehnya, nilai-nilainya tidak menunjukkan perbaikan. Sebagai respon, orang tua Cody meminta sekolah untuk memberinya lebih sedikit tugas.
Setelah diteliti, ternyata masalahnya tidak terletak pada tugas sekolah yang diberikan. Cody mengalami apa yang peneliti sebut dengan learned helplessness – dia percaya bahwa ADHD telah melenyapkan kemampuannya (baik dari sisi kecerdasan berpikir maupun emosional), dan perlakuan orang tua Cody terhadapnya semakin memperkokoh kepercayaan ini. Pada akhirnya orang tua Cody menyadari bahwa mereka harus memperlakukannya layaknya seseorang yang mampu menjalankan tugas-tugas yang dilimpahkan. Hasilnya, Cody mulai menunjukkan usaha lebih dalam belajar, dan nilai akademisnya berangsur membaik.
Kedua, mereka tidak membiarkan anak-anak mereka menghindari kewajiban.Biarkan mereka menghadapi konsekuensi dari setiap perbuatan mereka alih-alih menyalahkan orang lain atas hal buruk yang terjadi. Jika tidak diajarkan sekarang, kapan lagi mereka bisa belajar? Kalian bisa memulainya dengan membagikan jadwal kepada anak-anak untuk merapikan & membersihkan rumah; penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang diberi pekerjaan rumah sejak dini terbukti lebih sukses, lebih berempati dan dapat mengandalkan dirinya sendiri ketika dewasa.
Ketiga, ajarkan anakmu untuk memilih true thoughts dan jauhi BLUE thoughts. Ketika anak memiliki BLUE thoughts, mereka cenderung menyalahkan orang lain, melihat dan mencari sisi buruk dari seseorang ataupun kejadian. Sementara dengan true thoughts anak dapat menjalankan kewajiban, dapat mengambil langkah, selalu melihat dan mencari sisi baik dari hidup.
Ajari Anak-Anakmu Cara yang Sehat untuk Menghadapi Rasa Bersalah dan Takut Banyak orang tua yang khawatir bahwa mereka tidak menjadi orang tua yang cukup baik untuk anak-anaknya. Sayangnya, terlalu gelisah memikirkan hal ini dapat berujung pada cara mendidik yang bergantung pada rasa bersalah sebagai pedoman. Rasa bersalah membuat orang tua mudah untuk mengikuti apa kemauan anak-anak, meskipun mereka tahu bahwa keinginan ini berefek buruk untuk mereka, hanya untuk menghindari rasa bersalah sesaat.
Hal ini dialami oleh Joe dimana anak laki-lakinya, Micah, divonis oleh dokter kelebihan berat badan sebanyak 45 kg. Joe merasa bersalah karena telah membiarkan Micah memiliki kebiasaan yang tidak sehat dalam mengonsumsi makanan. Joe mangaku bahwa dirinya mengalami kesulitan mengatasi rasa bersalah yang tiba-tiba datang ketika Micah memohon dan menangis karena tidak diberikan kesempatan untuk mengonsumsi junk food. Jadi, bagaimana sebaiknya orang tua mengatasi rasa bersalah ini? Pikirkan akibat jangka panjang dari setiap keputusan yang kamu buat untuk anak. Dengan mengingat bahwa junk food memiliki efek buruk terhadap kesehatan Micah, Joe tidak ragu lagi untuk memberikan pola makan yang lebih sehat untuk Micah.
Di sisi lain, mendidik dengan rasa takut sebagai pedoman juga akan berakibat buruk terhadap perkembangan diri dari seorang anak. Ketika ia memasuki usia remaja, beri dia kesempatan untuk keluar dari zona nyaman. Jangan manjakan dia. Biarkan dia belajar untuk mengandalkan dirinya sendiri. Penelitian menemukan bahwa orang tua yang terlalu protektif mengakibatkan sang anak mengalami kesulitan bertransisi ke masa dewasa yang kadang terasa keras dan banyak sekali cobaan. Akan sangat baik jika kamu menghabiskan energimu, sebagai orang tua, untuk mengajarkan kemampuan yang dapat membantu mereka menghadapi dunia.
Buat Batasan yang Jelas dan Tegas agar Anak tidak Berbuat Semena-Mena Banyak orang tua yang memperlakukan anaknya bagaikan seorang raja ataupun ratu dengan memberikan perhatian yang berlebihan. Hal ini sangat tidak dianjurkan oleh penulis karena ini akan menimbulkan rasa bahwa sang anak adalah seseorang yang luar biasa dan berhak atas segala sesuatu tanpa memerlukan banyak usaha; perilaku ini sering disebut dengan superiority complex. Kemampuan untuk berempati terhadap orang lain, dari anak yang menderita superiority complex, berangsur menipis dan sering sekali ia merasa tidak puas dengan segala hal yang ia punya.
Jika kamu peduli dengan rasa percaya diri dan harga diri dari anakmu, perkenalkan kepadanya kerendahan hati. Alih-alih memberinya pujian berdasarkan hasil yang diraih seperti “kamu adalah pelari tercepat yang ayah tahu!”, pujilah ia karena usaha yang telah dilakukan dengan mengatakan “Selamat nak, kemenangan ini adalah hasil dari kerja kerasmu!”. Orang tua juga dapat memperkenalkan anak kepada rasa syukur dengan mengajaknya menjalankan ajaran dalam agama atau sesederhana menulis hal-hal yang ia syukuri hari ini dalam sebuah buku catatan. Ajak dia untuk melihat fenomena alam yang indah untuk memunculkan rasa takjub terhadap sesuatu yang lebih besar daripada dirinya.
Terakhir, untuk mendukung perkembangan karakter dari anak kalian, sangat penting agar hierarki yang jelas dapat didirikan dalam rumah tangga. Yang dimaksud dengan hierarki di sini adalah menentukan syarat dan prinsip hidup tanpa keraguan, melaksanakan tugas dengan segala konsekuensinya, memberikan penghargaan alih-alih suap, dan menunjukkan bahwa ayah dan ibu teguh dalam menjalankan peraturan yang telah ditetapkan. Menurut penulis, ini penting karena jika seorang anak memeliki terlalu banyak power, proses perkembangan anak akan terganggu.
Jangan Mengharapkan Kesempurnaan dari Seorang Anak Untuk menyembuhkan luka dari kegagalan di masa lalu, banyak orang tua yang memberikan tekanan lebih kepada anak agar ia dapat meraih kesuksesan di aspek tersebut. Sayangnya sikap ini dapat memberikan dampak yang merugikan terhadap kesehatan mental dari sang anak. Bisa saja ia mengalami apa yang peneliti sebut dengan socially prescribed perfectionism: sebuah kepercayaan bahwa orang lain tidak akan mencintai dirinya ketika ia melakukan sebuah kesalahan. Studi pada tahun 2013 yang dipublikasikan oleh Archives of Suicide Research mengungkapkan bahwa 70% dari laki-laki berusia antara 12-25 tahun bunuh diri diakibatkan oleh tekanan yang mereka berikan pada diri mereka sendiri untuk meraih kesempurnaan.
Lantas, bagaimana seharusnya orang tua bersikap? Agar rasa percaya diri dan harga diri anak tidak hancur dalam perjalanan meraih impiannya, beri tahu padanya bahwa mengusahakan yang terbaik sesuai dengan kemampuannya itu lebih baik dari pada mencapai kesempurnaan itu sendiri. Jangan terlalu banyak mengkritisi. Orang tua yang bersikeras dengan kesempurnaan tidak akan memberikan kebebasan kepada anak dalam membuat keputusan (micromanaging). Perlakuan seperti ini akan mencegah anak untuk belajar dan bangkit dari kesalahan. Mereka akan merasa tidak nyaman dalam membuat keputusan tanpa mendapatkan masukan, dan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan emosional dan fisik nya, yang pasti mengganggu fase transisi mereka menuju masa dewasa.
Jangan Lindungi Anakmu dari Rasa Sakit Sangat wajar jika kamu ingin melindungi anak-anakmu dari rasa sakit dan tidak nyaman, terutama jika mereka baru saja melalui trauma atau fase berat dalam hidup. Tetapi, ketika anak tidak diberi kesempatan untuk merasakannya, bisa saja anak mengartikannya bahwa mereka adalah seseorang yang rapuh. Melalui rasa sakit, mereka akan mempelajari cara untuk mengatasi tekanan yang muncul dalam hidup, seperti perceraian orang tua atau kematian salah satu anggota keluarga, dan pada saat itu mereka akan menyadari bahwa mereka tangguh dan mampu. Sementara, anak yang tidak pernah berlajar untuk mengendalikan rasa sakit menjadikannya seseorang yang akan menghabiskan hidupnya menghindari rasa sakit dengan cara-cara yang tidak sehat.
Ketika anak mengetahui bahwa rasa sakit itu ada, indra-indra pada tubuhnya akan lebih peka dalam menyadari kenikmatan atau kebahagiaan. Ia akan lebih pandai dalam menikmati sesuatu yang ada di depannya tanpa mencari kekurangan dari sesuatu tersebut. Karena ia memahami apa itu rasa sakit, anak akan lebih mudah untuk berempati terhadap orang lain yang sedang menghadapinya dan memudahkannya untuk menjalin hubungan sosial yang dapat saling menguatkan.
Biarkan Anakmu Merasakan Berbagai Jenis Emosi Sering kali orang tua mencoba untuk mengganti topik pembicaraan atau menghibur anak ketika mereka sedang merasa sedih. Namun di saat seperti ini, yang anak-anak butuhkan adalah validasi, bahwa adalah hal yang mausiawi untuk merasa sedih, dan dukungan. Jangan mengalihkan perhatian mereka dari apa yang mereka rasakan pada saat itu. Jika anak tidak bisa menoleransi rasa sedih dan kecewa, mereka tidak akan mempunyai keberanian untuk mengambil risiko kedepannya karena takut untuk mengalami kegagalan atau penolakan. Biarkan anakmu membangun “otot” emosi dan mentalnya dengan benar-benar merasakan semua jenis emosi yang ada. Toh mereka tidak akan bisa menghindar dari rasa bosan, rasa bersalah, kekecewaan, dan frustrasi seumur hidupnya.
Jadi apa yang harus dilakukan agar konsep kecerdasan emosional dapat dikenalkan kepada anak? Coba bicarakan perasaanmu terlebih dahulu jika kamu sedang mengalami momen yang tidak nyaman. Dari situ anak akan belajar cara untuk mengutarakan perasaannya. Ajarkan padanya kosa kata yang berhubungan dengan emosi agar dia dapat benar-benar menjelaskan apa yang dia rasakan. Menurut penulis, hindari penggunaan kata-kata kiasan seperti “naik pitam”, yang berarti marah. Ini dilakukan untuk menghindari kesalah pahaman.
Setelah anakmu dapat menjelaskan apa yang dia rasakan, cari tahu apa penyebabnya dan ajarkan padanya teknik untuk memperbaiki suasana hati agar ia tidak tersesat dalam kondisi tersebut. Mungkin kamu dapat mengajaknya jalan ke taman atau bersama-sama bertukar pikiran untuk mencari cara yang sehat untuk menenangkan dirinya, mengendalikan emosinya, dan bahkan menghibur dirinya sendiri.
Orang Tua perlu Memahami apa Perbedaan antara Disiplin dengan Hukuman Tentu saja membesarkan seorang anak membutuhkan banyak energi. Ketika mulai kehabisan energi, kadang kita ingin mencari cara termudah dan tercepat agar anak kita dapat mengoreksi perilakunya, mungkin dengan cara berteriak, memukul atau mempermalukannya. Perlu diingat bahwa akan ada efek samping dari cara-cara singkat ini. Memukul atau menampar akan berakibat pada perilaku agresif pada anak. Sementara berteriak dan mempermalukannya di depan umum dapat menjadikan anak pandai berbohong dan memperburuk kemampuannya dalam membuat keputusan di masa dewasa.
Persamaan dari seluruh perilaku yang bersifat menghukum di atas adalah mereka berfokus pada kesalahan anak. Sebaliknya, mendisiplinkan dengan cara yang sehat berfokus pada pembelajaran dan perbaikan. Dari mana sebaiknya kamu memulainya? Coba tuliskan karakteristik dari manager atau bos terbaik yang pernah kamu punya. Mungkin beliau mempunyai tujuan dan ekspektasi yang jelas sehingga terdapat peraturan dan konsekuensi yang logis untuk setiap perbuatan. Dari hal yang kamu tuliskan, coba terapkan hal itu dalam mendidik anak dengan melakukan beberapa penyesuaian. Pemberian reward yang bersifat mendidik juga dapat membantu anak mengendalikan sikapnya.
Satu hal penting lainnya, tunjukkan kepada anakmu betapa pentingnya untuk bersikap tekun. Bantu anak untuk menetapkan tujuannya; sebagai contoh, jika anakmu ingin menjadi pianis yang handal, buatkan jadwal kapan dia sebaiknya bermain piano dalam satu hari, dan lagu apa saja yang sebaiknya dia kuasai dalam waktu satu bulan. Dengan berlatih secara konsisten dan ada tujuan yang dapat diraih, anak akan merasakan betapa pentingnya untuk menjaga ketekunan dan kedisiplinan. Tentu saja, menjalankan peraturan kedisiplinan yang sehat membutuhkan kerja lebih keras dibandingkan peraturan yang bersifat menghukum. Jadi, berikan dirimu waktu untuk mengisi ulang energi dengan bercengkerama bersama kawan sambal minum kopi, atau apapun yang membuat dirimu merasa segar kembali.
Pastikan Nilai yang Kamu Sampaikan sesuai dengan Perbuatanmu Kyle, seorang murid pintar berumur 15 tahun, didapati curang dalam ujian dan mengakibatkan dia diberhentikan dari program spesial yang memberikan dia akses ke kelas-kelas perguruan tinggi. Orang tua Kyle tidak menyangka bahwa hal ini bisa terjadi. Kyle percaya bahwa orang tuanya memprioritaskan pencapaian dan nilai di atas kepribadian dan kejujuran. Pendapat Kyle ini didasari oleh perbuatan orang tuanya yang selalu membicarakan tentang bagaimana Kyle harus berkuliah di kampus ternama kepada suadara dan teman-temannya.
Pada sesi terapi, orang tua dari Kyle mengakui bahwa kegagalan harus dihindari dengan cara apapun. Karena pesan ini, Kyle mengaku bahwa ia tidak dapat mengerjakan semua tugas yang diberikan dan memilih untuk menyontek sebagai jalan keluar. Mulai saat itu, orang tua Kyle belajar untuk mundur satu langkah dan mempertimbangkan agar perilaku yang mereka tunjukkan dapat berjalan beriringan dengan nilai yang mereka ajarkan. Inilah alasannya mengapa anak-anak belajar lebih banyak dari apa yang kamu lakukan dibandingkan dengan apa yang kamu katakan.
Poin terakhir, orang tua tidak akan bisa menanamkan nilai pada anak dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sebelum mereka memperjelas nilai apa yang mereka pegang teguh. Penulis menyarankan agar seluruh anggota keluarga dapat berkumpul untuk mendiskusikan nilai-nilai tersebut. Lontarkan pertanyaan seperti “Apa yang menjadikan kita sebagai sebuah keluarga?” dan “Hal seperti apa yang dapat kita raih sebagai sebuah keluarga?”. Dengan masukan dari semua anggota, tentukan hal terpenting yang tiap anggota pedulikan. Tempelkan misi tersebut di tempat yang dapat dilihat oleh semua orang setiap saat.
Add a comment