Sudah sejak beberapa minggu yang lalu, ketika terakhir kali saya mengingat apa yang dikatakan oleh David JP Phillips melalui unggahan TikToknya. Dia mengklaim satu trik psikologis yang tepat untuk seorang overthinker dan tidak akan kita percayai sampai kita benar-benar mencobanya.
“Keep your eyeballs still..”
David menjelaskan bahwa agar otak kita dapat berpikir dan mengambil ingatan, maka otak perlu menggerakkan mata kita. Dan ketika kita menghentikan gerakannya, maka yang terjadi adalah otak tidak akan bisa mengambil ingatan dan melakukan perenungan seperti biasanya. Dalam ilmu psikoterapi, hal ini dinamakan EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing).
Sudah jelas bahwa overthinking memang melelahkan. Bayangkan berada di labirin besar di mana setiap belokan mengarah ke jalinan peristiwa bencana menyedihkan yang lebih dalam dan lebih rumit. Menurut artikel dw.com, monolog batin ini memiliki dua komponen yakni perenungan dan kekhawatiran. Orang-orang yang rentan terhadap pola pikir overthinking, dapat menganalisis secara berlebihan setiap detail dari suatu permasalahan.
Scott Mautz dalam tulisannya, 11 Mental Tricks to Stop Overthinking Everything, menambahkan bahwa terlalu banyak berpikir menyebabkan kita menghabiskan terlalu banyak waktu, terjebak dalam lingkaran kelambanan, dan mengubah refleksi positif menjadi kekhawatiran yang melemahkan. Tidak hanya itu, hal ini juga tidak menggerakkan kita ke depan, justru menggerakkan kita ke belakang bahkan ke bawah.
Lingkar Kebiasaan
Dalam bukunya, The Power of Habit, Charles Duhigg memaparkan bahwa sebuah kebiasaan terdiri dari suatu lingkar bertahap tiga. Pertama, tanda (cue), yakni pemicu yang memberitahu otak untuk memasuki mode otomatis terhadap kebiasaan mana yang harus digunakan. Kedua, rutinitas (routine), yakni bisa berupa fisik, mental, ataupun emosional. Ketiga, ganjaran (reward), yakni yang membantu otak kita mengetahui apakah lingkar ini perlu diingat untuk masa depan.
Claude Hopkins seperti yang juga diceritakan dalam buku The Power of Habit, menciptakan ‘mengidam (craving)’ yang ternyata menyebabkan tanda dan ganjaran bekerja. Mengidam inilah yang menggerakkan lingkar kebiasaan kita. Claude berhasil mempopulerkan mengidam ‘senyum yang indah’ untuk membuat orang-orang melakukan rutinitas gosok gigi menggunakan Pepsodent, dengan hanya bermodalkan sebuah tanda ‘lapisan lengket yang membuat gigi menguning dan kotor’. Claude membuktikan bahwa kebiasaan baru dapat diciptakan.
Lantas apakah overthinking adalah sebuah kebiasaan?
Ann D. melalui laman GoodTherapy, mendefinisikan bahwa kebiasaan adalah setiap perilaku sadar yang kita lakukan secara rutin. Berdasarkan pengertian itu, maka dalam kasus saya, overthinking adalah kebiasaan. Untuk mengetahui lebih dalam, saya mencoba menjabarkannya secara detail melalui lingkar kebiasaan. Hasilnya yakni overthinking akan muncul ketika saya:
Tanda (cue); memikirkan suatu hal yang saya cemaskan (misal: seorang teman bisa lebih dulu mendapatkan pekerjaan mapan).
Rutinitas (routine); overthinking terjadi. Mulai memikirkan banyak hal di luar kendali (misal: bagaimana dengan saya? apa yang sudah saya perbuat? kenapa selalu gagal? mengapa selalu membuat kesalahan?, dll).
Ganjaran (reward); stres. Saya sempat bingung mendefinisikan ganjaran apa yang saya peroleh ketika overthinking. Apakah ada hal yang membuat saya candu tapi melalui rutinitas yang salah? Namun setelah memikirkannya dengan matang, ternyata tidak ada yang saya dapatkan kecuali perasaan cemas berlebih dan stres. Uniknya, meskipun saya tahu bahwa kebiasaan ini tidak memberikan ganjaran yang menguntungkan bagi saya, tetap saja sulit untuk keluar darinya.
Apakah mungkin untuk kita dapat menghilangkan kebiasaan?
Mengutip kembali dari buku The Power of Habit, kebiasaan tidak akan pernah benar-benar hilang. Kebiasaan diprogramkan ke dalam struktur otak kita. Dalam beberapa hal disebutkan bahwa kebiasaan menguntungkan bagi kita, sebab akan menyulitkan sekali jika kita harus belajar lagi cara menyetir setiap kali pulang liburan. Masalahnya, otak tidak bisa tahu mana kebiasaan yang buruk dan mana yang baik.
Menurut Tony Dungy, kita tidak pernah bisa benar-benar melenyapkan kebiasaan buruk, melainkan hanya bisa mengubahnya. Cara kerjanya yaitu gunakan tanda yang sama, sediakan ganjaran yang sama dan ubah rutinitasnya. Namun dalam kasus saya, rutinitas dan ganjaran adalah apa yang mengganggu saya. Sehingga tidak akan mungkin dipertahankan.
Saya kemudian melakukan satu eksperimen dan menganalisisnya sendiri berdasarkan beberapa pedoman bacaan terkait. Pola kebiasaan overthinking saya, selalu terjadi ketika ‘tanda’ muncul. Dengan memanfaatkan ‘tanda’ yang sama tersebut, saya akan mencoba memotong lingkar kebiasaan lama dan mengalihkannya ke lingkar kebiasaan baru, dengan penjabaran berikut:
Menciptakan ‘mengidam’. Apa ganjaran yang saya inginkan? Ya, sebuah ketenangan, alih-alih stres yang sebelumnya saya dapatkan.
Membuat ‘tanda’ baru. Pada saat saya sadar bahwa ‘tanda’ lama muncul (memikirkan suatu hal yang dicemaskan), selanjutnya saya akan membuat ‘tanda’ baru yakni trik super dari David JP Phillips, “Keep your eyeballs still.” Disinilah tepatnya saya memotong pola lama. Dan dalam tahap ini, kesadaran adalah langkah pertama untuk mengakhiri overthinking.
Pikirkan secukupnya dan alihkan. Ketika saya sudah sadar, maka segala pikiran yang muncul seharusnya sudah ada dalam kendali saya. Segala hal yang telah membuat cemas akan saya pikirkan dengan matang dan dengan porsi secukupnya. Jika perlu, saya akan membuat durasi untuk itu. Kemudian alihkan dengan melakukan rutinitas lain (trick your brain into happiness). Menyelesaikan buku bacaan, membersihkan kamar, atau memilah pakaian lama untuk disumbangkan dapat membantu dalam memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Namun saya juga tetap memastikan bahwa rutinitas baru ini hanya sebagai istirahat sementara, bukan penolakan atau penghindaran total terhadap permasalahan.
Menikmati ganjaran. Perasaan damai dan tenang sudah bersiap siaga untuk memeluk saya dengan erat. Live in the moment. Saya merasakan pikiran buruk berhenti, ada rasa aman, serta lebih mensyukuri momen yang saya lalui saat ini.
Adapun satu hal lain yang juga menjadi catatan penting dari buku The Power of Habit adalah bahwa meskipun proses pengubahan kebiasaan mudah dijabarkan, bukan berarti mudah untuk dijalankan. Perubahan sesungguhnya membutuhkan usaha dan pemahaman diri mengenai perasaan mengidam yang mendorong perilaku. Mengubah kebiasaan apa pun membutuhkan kebulatan tekad yang kuat.
Di sisi lain, memahami tanda dan mengidam yang mendorong kebiasaan kita juga tidak akan dengan ajaib membuatnya menghilang. Tidak ada orang yang akan berhenti merokok hanya karena mereka berhasil menggambarkan lingkar kebiasaan merokoknya. Namun, dengan memahami mekanisme kebiasaan, kita akan memperoleh wawasan yang menjadikan perilaku baru lebih mudah untuk dimengerti dan memberi kita cara merencanakan bagaimana mengubah pola tersebut.
Tidak Apa-Apa Jika Sesuatu Tidak Sempurna
Bagi seorang overthinker, menjamin segala sesuatu terlihat sempurna bukan menjadi satu rahasia lagi. Berdasarkan pengalaman saya, jika tidak melakukan pekerjaan dengan detail dan sempurna, maka saya lebih baik tidak melakukannya sama sekali. Karena saya tidak bisa. Namun, saya juga merasakan bahwa hal ini sangat menguras isi pikiran, waktu dan tenaga saya. Apalagi jika hal yang saya anggap harus sempurna itu bukanlah satu hal yang serius.
Morgan Cutolo dalam tulisannya, 11 Simple Tricks to Stop Yourself from Overthinking Everything, menyebutkan bahwa tidak semuanya harus sempurna. Ketelitian pada setiap detail kecil dapat mendorong kita ke dalam keadaan lumpuh, cemas, dan menunda-nunda. Hal ini juga tidak baik untuk kesehatan mental kita, dan faktanya, WHO menghubungkan gangguan kecemasan yang parah dengan keinginan untuk perfeksionisme ini.
“At its root, perfectionism isn’t really about a deep love of being meticulous. It’s about fear. Fear of making a mistake. Fear of disappointing others. Fear of failure. Fear of success.”
— Michael Law
Dalam banyak hal, nyatanya memang menjadi sempurna itu tidak akan pernah saya capai. Semakin saya ingin semuanya sempurna, semakin sering saya merasa khawatir dan mengakhiri diri dengan overthinking. Sekarang, saya selalu berusaha meyakini bahwa hanya Tuhan lah yang Maha Sempurna (juga Demian Aditya atau Andra and The Backbone). Alih-alih membuat segala hal menjadi sempurna, melakukan yang terbaik adalah hal yang lebih penting.
Add a comment