Kita kadang memberi nasihat kepada orang lain. Mungkin bermaksud untuk membantu persoalan atau sekadar memberikan pandangan atas pengalaman yang kita miliki. Namun, alih-alih sebagai respon timbal-balik, pernahkah kita berpikir bahwa nasihat kita mungkin malah menekan orang lain? Jebakan nasihat ini dapat dengan mudah membutakan kita tanpa sadar menjadi seorang yang menggurui (Dunning-Kruger Effect). Jika memang hal ini yang ditangkap oleh orang lain, maka jangan harap pesan kita akan tersampaikan seberapapun baiknya niat kita.
Mendapat nasihat tanpa kita minta terlebih dari orang-orang yang lebih tua sudah bukan barang langka yang kita temui, istilah lainnya yakni “diceramahi”. Kita paham mereka ingin menjadikan kita lebih baik, tapi terkadang tidak tepat waktu dan kondisinya. Alhasil kita tidak memperoleh apapun dari nasihat yang mereka sampaikan. Pengalaman ini kemudian membuat saya berkaca, apakah tanpa sadar saya juga sering melakukan hal yang sama? Dan sepertinya iya. Entah berapa orang yang mungkin tertekan karena kesoktahuan saya. Namun ternyata memang tidak mudah mengendalikan satu ego. Saya terus belajar, tetapi terus terjebak juga, lupa lagi dan begitu perjuangan saya bahkan sampai saat ini.
Sebenarnya, mengapa kita memberi nasihat?
Menurut Isabella dalam tulisannya, Why You Should Stop Giving Advice, What to Do Instead, and A Surprising Reason Why You Should Give Advice, secara psikologi memberi nasihat merupakan hal yang wajar bagi kita sebagai manusia. Hal ini adalah naluri yang dapat membuat kita merasa lebih baik. Sebagai makhluk sosial yang diprogram untuk saling berbagi pengalaman dan cerita, kemampuan ini menjadi terbentuk dengan sendirinya. Bahkan ketika teman, pasangan, atau anggota keluarga datang dengan masalah dan keluhan mereka, memberi nasihat sudah seperti hal yang wajar dan benar untuk dilakukan.
Isabella menambahkan bahwa banyak dari kita memberi nasihat memang karena niat baik. Kita ingin memiliki tujuan yang lebih penting daripada hanya disimpan untuk kehidupan kita sendiri. Namun faktanya, beberapa dari kita lebih sering memberi nasihat daripada yang lain. Ada yang hanya sesekali memberi nasihat, namun ada juga yang lebih ekstrim dalam menasihati. Tidak ada salahnya memang jika kita berniat untuk membantu. Masalah dalam memberi nasihat yakni seringkali hal ini lebih merugikan daripada menguntungkan.
Mengapa kita harus berhenti memberi nasihat?
Seseorang yang memberi nasihat pada laman pengembangan diri memberikan nasihat untuk tidak memberi nasihat dan kemudian dia memberi nasihat lagi, tulis Isabella. Menurutnya, ada cara yang lebih baik untuk membantu orang lain memecahkan masalah mereka. Namun hal ini tidak berarti salah untuk memberi nasihat, apalagi jika teman atau kerabat memintanya. Tidak masalah untuk memberikan nasihat asalkan tepat cara penyampaiannya. Berhenti memberi nasihat yang dimaksud yakni saran yang tidak diminta, memberi nasihat ketika penerima tidak menginginkannya atau memintanya terlepas dari apakah mereka “membutuhkan” nasihat tersebut atau tidak.
Isabella juga menjabarkan ketika kita memberi tahu seseorang apa yang harus dilakukan atau apa yang harus mereka lakukan, kita secara tidak sengaja menyiratkan bahwa kita lebih tahu dan bahwa mereka secara emosional atau intelektual tidak mampu membuat keputusan tersebut, atau tidak mengetahui apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu. Bisa jadi menghina banyak orang jika mereka merasa kemampuan mereka diremehkan. Dan terkadang kita bisa terlihat seperti orang bodoh jika kenyataannya orang yang kita nasihati lebih tahu daripada kita.
“People take different roads seeking fulfillment and happiness. Just because they’re not on your road doesn’t mean they’re lost.”
Menurut Isabella, terkadang orang lain tidak menginginkan nasihat kita. Alasan ini saja seharusnya menjadi alasan yang cukup baik untuk tidak memberikan nasihat kepada seseorang. Setidaknya kita harus menghormati itu. Jika mereka tidak bertanya, mereka mungkin tidak menginginkannya. Jika mereka benar-benar menginginkan nasihat kita, pasti mereka akan bertanya. Seringkali orang hanya ingin curhat dan hanya ingin seseorang mendengarkannya. Mereka mungkin sudah tahu apa yang harus dilakukan atau memang tidak ada keputusan yang harus diambil.
Sebuah jajak pendapat internet yang ditemukan Isabella menanyakan orang-orang, apakah mereka suka menerima saran yang tidak diminta. Ketiga jawaban tersebut adalah 1) tidak 2) ya dan 3) hanya jika orang yang tepat memberikannya. Dari 847 orang, 56% menjawab tidak, 6% menjawab ya, dan 38% menjawab hanya jika orang yang tepat memberikannya. Namun Isabella tidak percaya bahwa memberi nasihat benar-benar hanya tentang orang yang tepat, menurutnya hal ini juga tentang cara yang benar dan konteks yang tepat. Saya juga sepakat, menurut saya “orang tepat” yang dimaksud responden mungkin orang yang sudah dipercaya atau dikagumi sehingga bisa memberikan sugesti bagi mereka.
Satu tulisan Phil Cooke, Stop Giving Advice to People Who Don’t Ask For It, juga membahas hal yang serupa. Phil butuh sebagian besar hidupnya untuk memahami hal ini, bahwa memberikan nasihat kepada orang yang tidak memintanya tidak akan berhasil, tidak peduli betapa mulianya niat kita. Bahkan mereka akan sering tersinggung dan hubungan kita pun bisa rusak. Nasihat yang tidak diminta hampir selalu tampak menghakimi, oleh karena itu sering tidak dihargai. Berikut beberapa hal yang Phil pelajari:
Jika mereka tidak bertanya, jangan beri nasihat. Sesederhana itu.
Hal ini berlaku untuk hampir semua hal, selain menghentikan orang berjalan di depan mobil yang sedang melaju.
Bukan berarti orang tidak tahu berterima kasih, tetapi orang sering malu ketika diingatkan tentang kesalahan atau kekurangan mereka.
Nasihat kita akan lebih efektif ketika mereka melihat kesalahannya, dan kemudian datang kepada kita.
Bukan berarti kita meninggalkan siapapun. Artinya sesederhana kita mengamati, melihat kemajuan mereka, tetap diam, dan kemudian siap menjawab pertanyaan mereka dengan cara yang positif dan menginspirasi.
“The impact of your advice isn’t just based on the insight, it’s also based on the timing.”
Pertama: Mendengarkan.
Hadir saja dan dengarkan orang tersebut. Mendengarkan tidak hanya berarti tidak mengatakan apapun. Hal ini butuh mendengarkan secara aktif. Jika kita berada di kepala kita sendiri menunggu untuk mengatakan sesuatu, artinya kita tidak mendengarkan. Jika kita memiliki dialog internal, artinya kita juga tidak mendengarkan. Saya pernah menuliskan hal serupa tentang etiket percakapan.
Kedua: Mengajukan pertanyaan.
Coba pahami situasi sepenuhnya dan tempatkan diri kita pada posisi orang tersebut. Kita tidak tahu segalanya. Kita juga tidak bisa membaca pikiran mereka. Tanyakan bagaimana perasaan mereka tentang hal itu, mengapa mereka merasa atau berpikir seperti itu, apa yang mereka inginkan terjadi, apa yang akan mereka lakukan, dan sebagainya. Jelas, konteks penting dalam pertanyaan apa yang harus diajukan. Selain itu, tanyakan apakah ada yang dapat kita lakukan. Tawarkan bantuan, jika mereka tidak butuh jangan paksakan.
Ketiga: Tunjukkan empati.
Jika hanya ada satu hal yang harus dilakukan daripada memberi nasihat, lakukan hal ini, bahkan bagi mereka yang ingin memberi nasihat. Penelitian menunjukkan bahwa mencoba membantu orang dengan masalah emosional, psikologis, dan sosial hampir tidak mungkin dilakukan dengan kurangnya empati. Studi lain menemukan bahwa dukungan lebih mungkin efektif ketika pemberi dukungan memiliki akurasi empatik yang lebih tinggi, yakni seberapa akurat seseorang dapat memahami pikiran dan perasaan orang lain.
Keempat: Bersikaplah suportif secara emosional.
Jenis dukungan ini dapat mencakup dukungan fisik seperti pelukan atau tepukan di punggung. Jika memilih untuk tidak memberikan nasihat, jangan bersikap dingin dan tidak responsif. Hanya karena kita tidak memiliki saran untuk ditawarkan, bukan berarti kita harus duduk di sana tanpa berkata apa-apa, bersikap menjauh dan canggung ketika seseorang ingin membicarakan sesuatu.
Meskipun sebagian besar dari kita pernah mendengar, “If you have nothing nice to say, say nothing at all,” daripada tidak mengatakan apapun, lebih baik mengatakan sesuatu yang menunjukkan bahwa kita peduli. Orang ingin diakui. Paling tidak yang bisa kita lakukan adalah menunjukkan pengakuan kepada mereka. Alih-alih mengambil posisi otoritatif dan dominan dengan memberi tahu mereka apa yang harus dan tidak boleh mereka lakukan, bantu mereka menjadi orang yang memecahkan masalah mereka sendiri.
Dengan begitu, ketika mereka menghadapi masalah serupa di masa depan, mereka lebih mampu mengatasinya. Hal ini memberi mereka rasa kemandirian dan tanggung jawab juga. Memberi mereka kebebasan untuk membuat keputusan sendiri. Seseorang yang mampu mengatasi suatu situasi dan membuat keputusan sendiri, terutama yang sulit, benar-benar dapat membantu mereka tumbuh dan belajar. Kita tidak bisa belajar dan tumbuh jika seseorang selalu membuat keputusan untuk kita.
Kelima: Tunjukkan keyakinan dan penilaian bahwa mereka mampu melakukan yang terbaik untuk dirinya.
Setiap orang adalah ahli dalam hidup mereka sendiri. Mengekspresikan kepercayaan pada mereka akan membantu memberi mereka kepercayaan diri. Terkadang hanya itu yang dibutuhkan seseorang dan mereka akan menghargai kita untuk itu. Hal ini juga dapat dianggap sebagai dukungan harga diri. Jenis dukungan ini umum diantara life coaches, terapis dan sering membuat klien mulai lebih percaya pada diri mereka sendiri.
Tidak ada yang benar-benar salah dalam hidup ini. Bahkan jam rusak pun benar dua kali dalam sehari. Terus belajar, ketahui kesalahan kita, belajar lagi, perbaiki lagi. Semangat!
Add a comment