Kita sudah sangat familiar dengan prolog seorang guru yang sampai-sampai mungkin bisa ditirukan oleh belasan muridnya, "Baik, Anak-anak. Pagi ini kita akan belajar mengenai bab ini ya. Jadi, apa yang disebut ini? Ini adalah sesuatu yang didefinisikan begini, begini, dan begini."
Coba bedakan dengan, "Baik, Anak-anak. Pagi ini, khusus hari ini, pelajaran kita adalah mengidentifikasi perasaan-perasaan. Diharapkan kalian semua mampu menyebutkan nama perasaan-perasaan dan mampu memperagakan indikasinya." Ya, saya ingin membayangkan bersama kalian tentang bagaimana gambaran para peserta didik di sekolah-sekolah formal saat mempelajari kecerdasan emosi dengan baik. Mari kita sepakat untuk membedakan benar dan baik: bahwa apa yang kita sebut benar adalah persoalan tekstual-formalitas alias teori, dan apa yang kita sebut baik adalah persoalan kontekstual-subtansial alias praktik.
Sepanjang dunia pendidikan yang kita tempuh, seberapa banyak kita secara baik mempelajari kecerdasan emosi di lingkungan sekolah? Justru apa yang ingin saya akui ini menjadi sebuah ironi, karena saya tak mendapatkan hal tersebut di bangku pendidikan, sedikitnya malah saya mendapatkannya di angkringan, bahu jalan, stasiun, pasar, serta kumpulan RT dan remaja kampung. Sudah bisakah kita sebut bahwa rupanya lingkungan sekolah yang notabene sebagai lingkungan pendidikan, malah tidak memberi kontribusi banyak terhadap kecerdasan emosi(?) Sebentar, saya mulai takut.
Kenyataan tentang kita berada di sebuah lingkungan sekolah, yaitu lingkungan yang berisikan orang-orang yang sedang belajar, berkenaan dengan teman sebaya terutama, itu adalah benar adanya. Tapi kenyataan tentang kita tidak banyak belajar nilai-nilai emosi pada teman sebaya di lingkungan tersebut lantaran memang tidak pernah dibentuk secara sistem, itu juga bagian dari kebenaran. Seolah keberadaan emosi pada peserta didik diabaikan begitu saja, atau dengan bahasa yang lebih lembut, dimandirikan, dengan cara tidak memanjakan peserta didik terhadap pengetahuan dan pengalaman mereka dalam membaca emosi.
Bila mau kita hitung, tak banyak siswa Sekolah Dasar memiliki cukup keberanian untuk bertanya yang betul-betul bertanya: minimal tidak slengekan dan memperlihatkan minat terhadap pengetahuan yang sedang ia gali. Saya pun mendapati yang demikian, ketika sesi bertanya menjadi sebuah momen paling sunyi di ruang kelas, para siswa saling pandang satu sama lain, beberapanya memilih menundukkan kepala ke meja. Begitupun ketika seorang guru mencoba melempar pertanyaan ke para siswa, tak sedikit yang saling dorong, beberapa lainnya mengatasnamakan temannya, dan sisanya menyembunyikan kepala dengan lengan. Entah di usia berapa kita akhirnya mendapatkan keberanian untuk asertif pada momen bertanya maupun menjawab sesuatu yang kita temui sepanjang hidup.
Pendidikan rasa tak ubahnya seperti kita saat mempelajari spektrum warna. Pada akhirnya kita mampu membedakan jenis-jenis warna di usia yang sangat dini. Namun kenapa hal tersebut tidak lantas terjadi pada spektrum rasa? Mungkin dengan dalih begini, "Rasa itu susah dijelaskan. Dia tidak berwujud. Bagaimana menjelaskan sesuatu yang tidak berwujud?" kita bisa bersembunyi. Ya, itulah kita. Padahal kalau kita mau saja mengambil jalan mudahnya, ya sudah sesuaikan saja dengan konsep pengajaran seorang guru ketika mengenalkan warna kepada muridnya.
Misalnya dengan memberikan tugas kepada murid untuk membawa majalah yang terdapat banyak wajah manusia di dalamnya. Satu siswa membawa satu majalah. Jangan sampai sama. Dari gambar wajah manusia di majalah itulah, para siswa diminta untuk menyebutkan perasaan yang bagaimana yang terlihat dari gambar tersebut, melalui raut muka dan ekspresi si model yang terpampang di situ.
Setelah seorang murid selesai menulis daftar perasaan sesuai banyaknya gambar wajah di majalah yang ia bawa, izinkan ia atau mintalah ia untuk memperagakan wujud perasaan tersebut. Apabila ada satu murid dengan murid yang lain terdapat kesamaan penulisan nama perasaan di dalam daftarnya, sangat boleh dan justru menjadi lebih baik ketika diperagakan bersama. Di sini para siswa yang sekadar menonton, seketika akan tahu bentuk riil indikasi perasaan, misalnya ketika si A jengkel, ketika si B jengkel, ketika si C jengkel, dan seterusnya. Para siswa yang menonton ketiga siswa yang sedang memperagakan perasaan jengkel tersebut langsung dapat merekam di memorinya tentang bagaimana ekspresi mereka bertiga ketika jengkel. Mungkin akan banyak samanya, tapi jangan menutup kemungkinan kalau ada perbedaannya.
Sejak pelajaran yang kita bayangkan di atas, para siswa akan sangat dimungkinkan memiliki pengetahuan yang lengkap terhadap perasaan jengkel pada sesama teman sebayanya, minimal teman sekelasnya. Saya sebut lengkap karena tidak hanya menyaksikan bagaimana bentuk indikasi kejengkelan, tapi juga memperagakan kejengkelan itu sendiri.
Mari kita bayangkan lagi: bayangan kita di atas barulah satu nama perasaan, yaitu rasa jengkel. Belum nama-nama perasaan lain seperti rasa takut, cemas, gembira, bingung, sedih, dan ada berapa banyak lagi kira-kira? Konsep pembelajaran yang menurut saya cukup menggembirakan ini, lantaran majalah yang menjadi diktatnya, bukan buku babon yang setebal 5 inci itu, sudah lebih dari sekadar ice breaking di tengah-tengah kepenatan pelajaran formal.
Pengenalan indikasi perasaan melalui ekspresi wajah manusia di majalah itu serupa dengan bagaimana para siswa mengenali spektrum warna yang sempat kita singgung di atas tadi. Objek materialnya tentu jelas, yaitu ekspresi wajah, sedangkan objek formalnya adalah perasaan. Begitu pula dengan objek material warna adalah gambar warna itu sendiri, sedangkan objek formalnya yaitu hakikat warna yang telah kita sepakati sesuai namanya.
Sedikit saja apabila para petinggi pendidikan mau memperhatikan betapa pentingnya kecerdasan emosi bagi keberlangsungan masa depan peserta didik, pastilah mereka sangat mampu membentuk program semacam ini. Lantaran kecedasan emosi pada seorang individu, menurut Goleman, sangat berguna bagi kehidupan sosialnya kelak. Tentunya kita juga sangat tahu, dalam dunia bisnis tidak hanya butuh pengetahuan yang benar, tapi juga perilaku yang baik. Perilaku yang baik, lagi-lagi, tidak dapat dicapai hanya dengan menghapal atau beretorika. Perilaku baik hanya dapat dimiliki dengan latihan. Latihan membaca emosi, contohnya.
Add a comment