Suhu tubuh mendadak dingin, keringat perlahan mengucur, bibir pucat, jantung berdetak semakin cepat, tangan beserta kaki gemetar, asam lambung serasa naik dan mual, fokus hilang, suasana hati turun secara drastis, tiba-tiba bergumam dalam hati “Bagaimana ini? Aku pasti gak akan bisa. Nanti kalau … bagaimana? Harus apa?”, kemudian mulai berdatanganlah pikiran-pikiran berlebihan.
Anxiety adalah musuh terbesar yang perlahan semakin saya lumpuhkan dari kebiasaan. Rasa cemas, sebenarnya suatu hal yang wajar dirasakan seseorang ketika mengalami atau mendengar situasi yang ditakuti. Sebuah respon pertahanan terhadap kondisi yang tidak kita inginkan. Namun yang dulu sering terjadi kepada saya yakni kecemasan tersebut menjadi sulit dikendalikan, menjadi berlebihan, bahkan mengganggu keseharian.
Dalam dunia public speaking, anxiety ini sering dikenal dengan istilah Glossophobia, yakni kecemasan atau ketakutan berbicara di depan umum. Rebecca Lake dalam tulisannya, Fear of Public Speaking Statistics and How to Overcome Glossophobia, menemukan fakta bahwa fobia ini sangat umum terjadi dan diperkirakan sebanyak 73% orang berjuang dengan rasa takut berbicara di depan umum sampai pada tingkat tertentu.
Dia juga menemukan satu survei bahwa 44% wanita lebih takut berbicara di depan umum daripada pria yang hanya berkisar 37%. Satu fakta menarik lainnya ditemukan oleh Rebecca Lake bahwa semakin seseorang berpendidikan, semakin nyaman dia berbicara di depan orang lain. Ditemukan bahwa sebanyak 24% lulusan perguruan tinggi merasa takut berbicara di depan umum, dibandingkan dengan 52% responden yang memiliki ijazah sekolah menengah atau kurang.
Setelah mengetahui fakta diatas, satu langkah yang benar jika kita tidak ingin menjadi bagian dari persentase tersebut. Sebaliknya, bagaimana kita menjadi 76% orang berpendidikan yang bisa nyaman berbicara di depan umum? Berikut saya rangkumkan teknik melawan glossophobia yang saya peroleh dari satu video Matt Abrahams melalui channel Youtube Stanford Graduate School of Business berjudul Think Fast, Talk Smart: Communication Techniques.
Menurut Matt, untuk menjadi seorang komunikator yang efektif, terlepas apakah hal itu direncanakan atau spontan, kita perlu mengendalikan kecemasan (glossophobia) kita. Matt menambahkan bahwa pada dasarnya rasa cemas adalah salah satu hal yang dapat membantu kita; memberikan energi, membantu kita fokus, serta memberi tahu kita apa yang penting untuk dilakukan. Namun, terlepas dari kebaikannya kita perlu belajar untuk mengendalikannya.
Dalam videonya, Matt mengungkap sebuah studi dari Chapman University terhadap orang Amerika terkait “Hal-hal Apa yang Paling Mereka Takuti”, menunjukkan fakta bahwa public speaking termasuk diantara lima jawaban teratas. Sehingga glossophobia dapat disimpulkan sebagai fobia yang pernah dirasakan oleh hampir setiap orang Amerika. Matt membagikan satu trik dari sebuah penelitian, bahwa ketika kita mulai merasakan gejala cemas maka;
Sapalah kecemasan kita dan katakan, “Hey, ini aku yang sedang merasa gugup”, tarik napas dalam-dalam dan sekali lagi katakan, “Ini aku yang sedang merasa cemas. Aku akan melakukan sesuatu yang berkonsekuensi.” Hal tersebut tidak berarti kita dapat mengurangi kecemasan, tetapi mampu membantu menghentikannya muncul dan menjadi lebih terkendali.
Satu teknik lain yang Matt bagikan yaitu dengan “Menganggap sebagai sebuah percakapan, bukan sebuah penampilan”. Tapi cara ini tidak cukup efektif jika kita melakukan trik menyapa seperti sebelumnya, kita perlu melatih diri dengan melakukan 3 hal konkret seperti yang disampaikan Matt berikut ini:
Mulailah dengan Pertanyaan. Pertanyaan pada dasarnya bersifat dialogis, dua arah. Dengan memberikan pertanyaan kepada audiens, maka mereka akan terlibat dan membuat kita sebagai pembicara merasa dalam sebuah percakapan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa berupa retoris, atau polling, atau mungkin saja kita memang benar-benar ingin mendengar informasi dari audiens. Matt juga menggunakan pertanyaan ketika menyusun garis besar presentasinya. Daripada menuliskan bullets point, menurutnya lebih efektif membuat daftar pertanyaan yang akan dia jawab saat presentasi dan hal tersebut berhasil membuatnya masuk ke dalam mode percakapan.
Gunakan Bahasa Percakapan. Bersikap komunikatif juga dapat membantu kita mengelola kecemasan. Banyak pembicara yang gugup, menjauhkan diri mereka secara fisik dari audiens. Mereka menarik diri karena merasa terancam oleh audiens. Hal ini juga mereka lakukan secara linguistik dengan menggunakan distancing language. Menurut Matt, untuk menjadi lebih komunikatif kita harus menggunakan bahasa percakapan [ragam bahasa yg dipakai dalam percakapan sehari-hari] serta menghindari penggunaan distancing language itu sendiri.
Berorientasi pada “Saat Ini”. Kebanyakan dari kita saat akan berbicara di depan umum, merasa khawatir terhadap konsekuensi masa depan. Sehingga, jika kita dapat membawa diri kita ke momen ‘saat ini’, kita tidak akan terlalu khawatir terhadapnya dan dapat mengurangi rasa gugup. Ada banyak cara untuk bisa berorientasi pada ‘saat ini’. Mungkin mendengarkan musik sebelumnya, atau menghitung mundur angka dari 100, atau lainnya. Adapun cara yang digunakan Matt adalah dengan mengucapkan tongue-twister. Menurutnya, cara ini cukup efektif dan dapat membantu melemaskan suara yang biasanya jarang dilakukan oleh kebanyakan pembicara yang gugup.
“I slit a sheet.
A sheet I slit.
And on that slitted sheet I sit”
Diatas adalah satu tongue-twister favorit Matt Abrahams. Dia menyukainya karena jika dia mengatakannya dengan salah, maka dia akan mengucapkan naughty word [sebuah kata yang dianggap kasar]. Dalam videonya Think Fast, Talk Smart: Communication Techniques, Matt juga membahas lebih lengkap mengenai 4 langkah melatih diri agar bisa nyaman berbicara dalam situasi spontan. Dari mulai latihan permainan bahkan dijabarkan pula model struktur kalimat yang dapat membantu kita menjadi story teller yang baik saat public speaking.
Add a comment