Kemiskinan, kekurangan gizi, dan kekurangan hal esensial lainnya adalah sesuatu yang ada di dekat kita namun jarang sekali kita, sebagai manusia yang hidup berkecukupan, bicarakan. Kehidupan yang kita anggap sederhana merupakan sebuah kemewahan untuk mereka. Dengan privilese yang kita miliki, bagaimana caranya agar kita dapat menjalani sebuah hidup yang etis / beradab? Melalui buku ini, Peter Singer ingin menyampaikan pendapat logisnya mengapa membantu saudara kita yang kekurangan merupakan sebuah kewajiban.
Kita Dapat Menghilangkan Kemiskinan Ekstrem, Namun Kita Belum Melakukannya
Penulis adalah seorang filsuf. Suatu hari ia sedang mengajar mengenai etika di kelas dan menanyakan hal berikut kepada murid-muridnya. “Bayangkan kamu sedang berjalan menuju ke kantor. Sewaktu melewati sebuah danau, kamu melihat seorang anak yang tenggelam dan membutuhkan pertolongan sesegera mungkin. Namun untuk menyelamatkannya, kamu harus mengorbankan sepatu mahal yang baru saja kamu beli mengingat waktu yang terbatas. Akankah kamu melakukannya?”
Tentu saja setiap anak menjawab “iya” dengan cepat karena kita menyadari bahwa satu nyawa orang lain lebih berharga dari pada sepasang sepatu baru. Setelah itu beliau mengajukan pertanyaan lanjutan: “Di tahun 2017 terdapat 5,4 juta anak-anak berusia di bawah 5 tahun yang meninggal disebabkan oleh penyakit yang timbulnya dapat dicegah. Sekarang pertanyaannya, berapa banyak murid yang membelanjakan uangnya untuk membeli sepatu baru padahal dapat ia donasikan kepada lembaga amal yang efektif?”. Para siswapun terdiam mendengar pertanyaan yang tidak nyaman ini. Fakta sederhana tersebut menunjukkan bahwa apa yang kita lakukan tidak selalu sejalan dengan kompas moral yang kita miliki.
Menurut World Bank, pada tahun 2018, kurang lebih 736 juta orang hidup dalam kemiskinan di seluruh dunia; mereka menghabiskan tidak lebih dari USD 1,9 dalam satu hari. Kemisikinan inilah yang menjadi penyebab utama dari kematian dini. Di Negara seperti Sierra Leone, dengan angka kemiskinan yang tinggi, 1 dari 13 anak-anak meninggal sebelum mereka merayakan ulang tahun mereka yang ke-5. Sementara di negara kaya seperti Australia, hanya 1 dari 263 anak yang mengalami nasib sama.
Mungkin angka di atas terdengar mengerikan. Namun nyatanya manusia telah melakukan banyak kemajuan dalam mengubah kondisi ini. Sejak 1993, tingkat kemiskinan ekstrem dunia telah menurun hampir setengahnya. Bahkan di Asia Timur, tingkat kemiskinan menurun secara dramatis dari 60% di 1990 manjadi hanya 2,3% di tahun 2015. Negara kaya juga mengalami hal yang sama, semenjak 2018 lebih dari separuh populasinya berada pada kelas menengah keatas secara ekonomi. Menurut Forbes, ada sekitar 2000 miliuner yang tersebar di seluruh dunia, 20 kali lebih banyak dari 10 tahun yang lalu.
Jika terdapat begitu banyak kekayaan di dunia, mengapa kita biarkan jutaan orang meninggal karena mereka tidak mampu membeli makanan bergizi atau menikmati akses kesehatan dasar yang baik? Jika kita mengetahui bagaimana caranya untuk menghilangkan kemiskinan, mengapa kita tak melakukannya hingga sekarang?
Secara Etika, Menyimpan Uang Lebih Untuk Diri Sendiri Adalah Hal Yang Salah
Ketika melakukan eksperimen pemikiran seperti menyelamatkan anak yang tenggelam di bab sebelumnya, mudah untuk kita menjawab bahwa menyelamatkan nyawa anak adalah hal yang tepat untuk dilakukan mengingat bahwa itu adalah sebuah keharusan moral. Namun ketika kita mencoba untuk menerapkan prinsip pemikiran yang sama dari kasus tersebut kepada penderitaan yang terjadi kepada saudara kita di kehidupan nyata, akan lebih sulit bagi kita untuk menerapkannya.
Perlu kita ketahui bahwa pemikiran tersebut dibangun berdasarkan 3 asumsi dasar. Pertama, kondisi di mana banyak orang menderita karena kekurangan makanan bergizi, tempat berlindung dan akses kepada kesehatan adalah sama buruknya dengan kondisi dari anak yang tenggelam. Kedua, jika kita dapat mencegah terjadinya penderitaan ini tanpa mengorbankan sesuatu yang memiliki nilai yang sama dengan nyawa, maka melakukan hal sebaliknya adalah sebuah kesalahan. Dan ketiga, kita dapat mencegah penderitaan yang dialami saudara kita salah satunya dengan cara berdonasi ke lembaga amal yang efektif. Jika kita dapat menerima 3 alasan ini maka kesimpulannya jelas: dengan tidak berdonasi ke lembaga yang efektif, kita melakukan sebuah kesalahan.
Tentu saja ketika kita memandang kegiatan yang terlihat normal - seperti menikmati liburan atau membeli gadget mahal terbaru - dari sudut pandang pemikiran tersebut, secara etika perbuatan kita dapat dipertanyakan. Pasti akan ada orang lain yang berpendapat bahwa itu adalah cara mereka untuk menikmati hasil dari kerja kerasnya. Namun argumen di awal bukanlah tentang apa yang harus kita lakukan dengan uang kita; argumen tersebut berbicara tentang apa yang sebaiknya kita lakukan dengan uang kita. Argumen ini adalah tentang pilihan yang kita ambil.
Pola pikir tersebut bukanlah ide yang radikal. Salah satu tradisi yang dijunjung tinggi beberapa agama seperti Kristen, Yahudi, Konfusianisme dan Islam mengajarkan bahwa pengikutnya memiliki kewajiban moral untuk berbagi kepada fakir miskin. Walaupun begitu, masih banyak dari pengikutnya yang menolak atau membantah anjuran tersebut.
Keputusan Beramal Kita Tidak Selalu Berdasarkan Alasan Yang Masuk Akal
Sebagian besar orang menyatakan bahwa menyelamatkan nyawa adalah prioritas teratas. Namun nyatanya perbuatan kita tidak selalu sejalan dengan prinsip tersebut. Sering kali pilihan kita dalam berdonasi untuk menyelamatkan nyawa dipengaruhi oleh faktor selain berapa banyak orang yang dapat kita tolong.
Orang-orang cenderung memilih untuk menyumbangkan uang demi menyelamatkan nyawa dari satu orang yang spesifik dari pada menyelamatkan nyawa dari beberapa orang asing. Ini sudah dibuktikan oleh peneliti ketika mereka meminta dua kelompok yang berbeda untuk berdonasi kepada anak-anak. Kelompok pertama diberikan pernyataan umum tentang bagaimana uang yang didonasikan dapat membantu. Kelompok kedua diberi tahu bahwa uang tersebut akan disumbangkan kepada seorang gadis kecil dari Malawi berusia 7 tahun bernama Rokia. Ternyata, akibat merasa lebih dekat secara emosional dengan seorang anak yang identitasnya dapat diidentifikasi, grup kedua menyumbangkan lebih banyak uang.
Rasa takut akan kegagalan atau kesia-siaan juga mempengaruhi keputusan kita untuk memberi donasi atau tidak. Dalam sebuah studi, peneliti memberitahu para peserta bahwa donasi mereka dapat menyelamatkan nyawa dari 1.500 orang di sebuah kamp dari para pengungsi. Kelompok pertama diberi tahu bahwa secara total terdapat 3.000 pengungsi dalam kamp tersebut. Sementara grup kedua diberi tahu bahwa terdapat 10.000 penghuni di dalam kamp yang sama. Penelitian membuktikan bahwa grup pertama menyumbangkan lebih banyak uang karena mereka menilai bahwa sumbangan mereka dapat menyelamatkan nyawa dari separuh populasi di kamp tersebut. Sementara para donator di grup dua merasa bahwa donasi yang mereka berikan tak akan memberikan dampak yang besar walaupun kedua grup hanya dapat menolong 1500 orang.
Ini adalah dua fakta yang menunjukkan bahwa keputusan kita untuk beramal sangat tergantung pada emosi dibandingkan dengan pemikiran logis. Sebagian dari ini disebabkan oleh tekanan-tekanan evolusi (evolutionary pressures) yang telah membuat kita lebih peka terhadap penderitaan ketika itu berskala kecil dan ada di depan kita. Bagaimanapun, fakta ini tidak membebaskan kita dari sebuah kewajiban moral untuk memberi saudara kita yang membutuhkan.
Kita Dapat Meningkatkan Amal Dengan Menciptakan Budaya Beramal
Menciptakan budaya beramal berarti menciptakan sebuah lingkungan di mana menyumbangkan uang dan sumber daya untuk tujuan altruis menjadi norma yang dianut. Salah satu cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan mempromosikan sebuah gagasan bahwa beri-memberi sudah menjadi hal yang umum. Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang akan menyumbangkan lebih banyak uang ketika mereka berpikir bahwa orang lain melakukan hal yang sama. Sebuah percobaan di Swedia telah membuktikannya dengan memberi tahu para siswa bahwa 73% dari teman sekelasnya sudah berdonasi ke lembaga amal dapat meningkatkan donasi dari sekolah sebanyak dua kali lipat.
Strategi selanjutnya adalah mendorong gerakan altruisme secara sistematis dengan menciptakan sebuah komunitas amal yang terorganisasi. Sebuah organisasi yang bernama “Giving What We Can” meminta anggotanya untuk menandatangani sebuah kesepakatan bahwa mereka akan mendonasikan setidaknya 10% dari pendapatan mereka ke lembaga amal yang efektif. Semenjak didirikan di tahun 2007, 4.000 orang anggotanya telah mendonasikan uang sebesar USD 150 juta dan berkomitmen untuk meraih angka USD 1.5 miliar kedepannya.
Metode terakhir yang paling efektif adalah menjadikan berdonasi sebagai opsi dasar (default option) yang disetujui oleh tiap anggota organisasi. Sebagai contoh, perusahaan besar seperti Bain & Company serta CommBank mengintegrasikan skema donasi secara otomatis ke dalam kontrak kerja dari karyawan. Dalam peraturan tersebut, 1% dari gaji tiap karyawan akan dialokasikan untuk donasi, kecuali pegawai itu sendiri melakukan perubahan. Program ini dapat berjalan dengan lancar karena sangat sedikit karyawan yang memutuskan untuk keluar dari program donasi yang sudah berjalan dengan baik, dan itu merupakan default option dari kontrak yang ada. Jika kita mulai menganggap bahwa berbagi adalah bagian dari hidup, maka berdonasi tidak akan menjadi sesuatu yang memberatkan.
Program Bantuan yang Efektif Bertujuan untuk Menyelamatkan Nyawa Sebanyak Mungkin
Terdapat sebuah kesalahpahaman bahwa kita dapat mengevaluasi sebuah lembaga amal berdasarkan biaya administrasi yang mereka tagihkan; lembaga amal yang terlalu menghabiskan banyak dana untuk hal-hal ekstra (overhead) dan tak cukup uang yang dikirimkan kepada para penerima adalah lembaga yang buruk. Tetapi menurut penulis, ini adalah hal yang tidak relevan. Bukankah seharusnya staf dan organisasi yang terdanai dan dijalankan dengan baik sangat penting dalam mengirimkan bantuan dengan tepat dan efektif untuk menyelamatkan nyawa? Sebaliknya, metode evaluasi yang ditawarkan oleh penulis adalah dengan memeriksa kerja lembaga amal berdasarkan biaya untuk tiap orang yang dibantu.
Mari kita lihat sebuah kasus di mana sebuah lembaga amal di Amerika Serikat memberikan bantuan berupa seekor anjing pembimbing untuk para tunanetra. Ini adalah hal yang baik, namun biaya untuk tiap anjing pembimbingnya senilai USD 50.000. Kemudian, coba bandingkan dengan SEVA – sebuah organisasi yang bertujuan untuk mencegah kebutaan di negara berkembang dengan cara mengobati trakom. Penyakit tersebut dapat disembuhkan dengan memakan biaya USD 50 saja. Menyumbangkan USD 50.000 kepada SEVA dapat membantu 1.000 orang lebih banyak agar tidak mengalami kebutaan.
Sebuah website bernama thelifeyoucansave.org dapat membantumu menemukan lembaga amal yang dapat menolong banyak orang dengan sedikit uang di berbagai belahan dunia. Dari sana penulis menemukan organisasi bernama Helen Keller International (yang mendistribusikan suplemen vitamin A hanya dengan biaya USD 1 per orang) atau Fistula Foundation (menyediakan perawatan kebidanan untuk para wanita dengan menyumbangkan beberapa ratus USD saja).
Kami tahu bahwa terdapat beberapa kritik yang menyatakan bahwa lembaga amal internasional lebih banyak membawa derita dari pada bantuan. Kritik ini biasanya ditujukan kepada proyek yang didesain dengan buruk atau mempunyai maksud lain di belakangnya. Contohnya, beberapa program bantuan makanan mewajibkan agar bantuan harus dibeli dari petani di Amerika Serikat dengan biaya transportasi yang mahal alih-alih membeli produk lokal alternatif. Memang ini adalah sebuah pendekatan yang tidak efektif. Namun jika kita dapat menyaring program berdasarkan efisiensi riil mereka, maka yakinlah donasimu akan memberikan kontribusi positif.
Anakmu Berharga, Begitu Juga Nyawa Orang Lain
Sangat wajar jika kita lebih memedulikan keluarga terdekat kita dari pada orang lain. Orang tua akan rela untuk mengorbankan nyawa dari 10 orang untuk menyelamatkan anak mereka sendiri. Justru orang tua yang berlaku sebaliknya akan dituduh sebagai orang tua yang tak layak dan tak penyayang. Tapi apakah anggapan seperti ini dapat diterima secara moral? Jawabannya tergantung. Jika kita mengambil pandangan yang tidak memihak, nyawa dari semua orang sama berharganya tak peduli apakah mereka memiliki hubungan dengan kita atau tidak. Walaupun begitu, ikatan kekeluargaan adalah sesuatu yang penting; mengharapkan seseorang untuk mencintai tetangganya sepenuh ia mencintai anaknya adalah hal yang tidak realistis. Bahkan pada tradisi kibbutzim yang dijalankan masyarakat Israel, di mana semua anak dibesarkan secara komunal, orang tua akan lebih menyayangi anak mereka sendiri.
Jadi, fokus untuk merawat anak dan keluarga kita sendiri di tahap awal adalah hal yang pantas. Tetapi setelah kamu dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka, akan sangat baik secara moral jika kita dapat membantu komunitas yang lebih luas. Lagi pula, “mencekik” anak kita sendiri dengan memberikan kemewahan berlimpah sementara orang di sekitarnya kelaparan adalah hal yang berlebihan, walaupun hati tidak tega untuk melakukannya.
Logika yang sama digunakan oleh Chuck Collins untuk membangun sebuah organisasi amal bernama Responsible Wealth. Tidak seperti orang pada umumnya, alih-alih mewariskan semua harta kepada anak-anaknya, ia memutuskan untuk memberikan hanya hal-hal mendasar dan mendermakan sisanya untuk pihak yang membutuhkan. Melalui Responsible Wealth, ia mendukung elit-elit kaya untuk melakukan hal yang sama. Benar adanya jika peraturan tersebut akan memeras dana perwalian (trust fund) yang akan diwariskan untuk sang anak; tetapi dengan dana ini juga, banyak nyawa lainnya akan memiliki taraf hidup yang lebih baik.
Sebaiknya Kita Mendonasikan Sejumlah Uang Tiap Tahunnya (Dengan Perhitungan Yang Masuk Akal)
Berapa banyak sebaiknya donasi yang dikeluarkan tiap orang per tahunnya? Ada banyak perbedaan pendapat mengenai ini. Menurut ajaran Yahudi, para pengikutnya dianjurkan untuk menyumbangkan setidaknya 10% dari pendapatan tahunan mereka. Untuk umat Muslim yang mampu, setiap orang wajib memberikan 2.5% dari keseluruhan harta mereka tiap tahunnya. Beberapa komunitas Katolik bahkan meminta penganutnya untuk mendonasikan hampir sebagian besar dari harta mereka. Jadi berdasarkan standar yang ada, mana yang sebaiknya kita pilih?
Penulis menyarankan agar orang-orang yang berada dalam kondisi nyaman secara keuangan – yakni, mereka yang tinggal di negara kaya dengan pekerjaan layak – menyumbangkan setidaknya 5% dari pendapatan tahunan mereka. Pastinya standar ini dapat diatur sesuai dengan kondisi. Jika kamu sedang berada dalam kondisi yang serba terbatas, tak apa jika kamu mendonasikan lebih kecil dari 5%. Kenaikanpun berlaku jika kamu berada dalam kondisi yang lebih baik.
Coba kita lihat penerapannya. Jika kamu tinggal di Amerika Serikat dan pendapatan kotor tahunanmu sebesar USD 40.000, sudah sangat masuk akal jika kamu mendonasikan sekitar 1% dari pendapatanmu. Sebaliknya, jika kamu berada di pucuk piramida orang-orang dengan pendapatan tertinggi – dengan kata lain, menghasilkan sebanyak USD 53 juta per tahunnya – kamu setidaknya harus berkomitmen untuk memberikan 50% dari pendapatanmu. Berdonasi dalam kisaran 1% - 50% dari pendapatan tidak akan mengubah gaya hidupmu secara drastis. Tetapi, jika seluruh manusia di dunia dapat melakukan donasi ini secara konsisten, maka jumlah uang yang terkumpulkan berdasarkan hitungan konservatif dapat mencapai USD 1.3 triliun per tahun. Jumlah ini sangatlah cukup untuk memusnahkan kemiskinan dan membiayai proyek inisiatif yang dapat mengurangi ketimpangan ekonomi di masa mendatang.
Mungkin kamu akan merasakan sebuah cubitan kecil terhadap kondisi keuanganmu jika kamu memutuskan untuk berdonasi. Namun jumlah nyawa yang dapat diselamatkan dengan uangmu jauh lebih berharga pada akhirnya. Selain itu, dengan menghayati fakta ini, mungkin berdonasi akan memberimu kebahagiaan, arti, serta rasa puas melebihi rasa bahagiamu mendapatkan materi.
Add a comment