Di balik segala hal yang kita lakukan, pasti terdapat insentif yang menggerakkan kita. Banyak perusahaan teknologi yang memanfaatkan insentif yang menggoda kita untuk mencoba produk mereka. Gratis ongkos kirim untuk setiap pembelian barang dari website e-commerce tertentu adalah salah satu contoh yang sering kita jumpai. Insentif juga bisa datang dalam bentuk hukuman dan hal negatif lainnya. Menurut Steven & Stephen, insentif merupakan bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari aspek ekonomi, sosial, maupun moral.
Dalam kehidupan sehari-hari, penerapan sebuah insentif bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Diterapkannya insentif A, tidak selalu menghasilkan outcome B. Terkadang terdapat faktor-faktor lain yang tidak kita ketahui atau pertimbangkan sebelum insentif tersebut diterapkan. Dalam bukunya, Steven & Stephen memberikan contoh kasus dimana untuk setiap karyawan yang terlambat mengumpulkan pekerjaan sesuai deadline, perusahaan akan mendenda karyawan sebesar $5 per hari yang nantinya akan disumbangkan kepada pihak yang membutuhkan. Logikanya, setelah peraturan ini diterapkan, jumlah karyawan yang melewatkan deadline akan semakain berkurang. Namun yang terjadi adalah tidak ada perubahan yang siginifikan pada perilaku karyawan.
Alasan mengapa outcome yang dihasilkan tidak sesuai adalah pertama, insentif tersebut menghilangkan elemen tekanan sosial. Insentif ini justru memperjelas bahwa memang terdapat banyak karyawan yang melewatkan deadline sehingga mereka tidak perlu merasa malu terhadap rekan kerja mereka. Kedua, jika dilihat dari sudut pandang moralitas, walaupun mereka melewatkan deadline, setidaknya mereka masih berbuat baik karena toh uang $5 yang diberikan akan disumbangkan kepada orang yang membutuhkan. Ketiga, dari segi tekanan ekonomi yang ditimbulkan, $5 adalah jumlah yang relatif kecil dan tidak bisa memberikan efek jera kepada pelaku. Agar efek hukuman dari insentif tersebut terasa, besarnya jumlah denda harus melewati batas yang dianggap wajar.
Insentif juga sangat dipengaruhi oleh konteks. Jika kita ingin memberikan insentif agar suatu kelompok melakukan sesuatu yang kita inginkan, kita harus memulainya dengan menyadari bahwa setiap orang memiliki motivasi yang berbeda. Sadari bahwa, insentif yang sama tidak selalu menimbulkan hasil yang sama terhadap setiap individu. Sebagai contoh, mengapa kita masih sering menjumpai terjadinya pembunuhan walaupun kita tahu terdapat insentif negatif berupa hukuman sosial, hukuman perbuatan kriminal, dan moral dalam individu masing-masing yang mengetahui bahwa perbuatan itu buruk. Dalam kasus ini, insentif untuk mendapatkan keadilan atas keburukan yang dilakukan oleh korban pembunuhan terhadap pelaku di masa lalu atau keinginan untuk “merasa lebih baik” dinilai jauh lebih berharga oleh pelaku dibandingkan sanksi sosial dan hukum yang akan dia terima. Pengalaman unik, pandangan dan kondisi emosi dari penerima insentif sangat mempengaruhi perilaku mereka.
Poin menarik lain yang disampaikan oleh Steven & Stephen dalam bukunya adalah pakar atau orang yang ahli dalam bidangnya tidak selalu mempunyai iktikad baik. Pada umumnya, karena ketidak pahaman orang awam dalam satu topik tertentu mendorong mereka untuk mempercayai apa yang pakar katakan karena untuk memahami sesuatu yang sulit, membutuhkan energi lebih. Gap informasi ini meletakkan pakar pada posisi yang memiliki power. Pakar dapat menggunakan pengetahuan yang mereka punya untuk membantu memecahkan masalah anda, atau mereka dapat memanfaatkan ketidak tahuan anda untuk memenuhi kepentingan pribadi mereka.
Ambil saja kasus yang sedang marak dibicarakan akhir-akhir ini mengenai lembaga penasihat keuangan yang memberikan saran menyesatkan kepada nasabah yang awam mengenai masalah investasi. Nasabah mendapatkan saran untuk membeli saham dari perusahaan X yang baru saja sahamnya diterbitkan karena diprediksi value dari perusahaan tersebut akan meningkat dalam waktu dekat. Namun kenyataan berkata sebaliknya, nilai saham perusahaan X turun drastis selang beberapa waktu. Nasabahpun mengalami kerugian. Disinyalir, lembaga penasihat keuangan tersebut mendapatkan komisi dari perusahaan X untuk setiap saham yang berhasil terjual di pasar. Maka dari itu, sebelum anda melakukan transaksi apapun yang memerlukan dana besar, anda sangat disarankan untuk melakukan riset mandiri terlebih dahulu untuk meminimalisir terjadinya kemungkinan terburuk.
Poin penting terakhir yang kami tangkap dari buku Freakonomics adalah manusia, pada umumnya, merupakan mahluk yang sensitif terhadap ketidak-pastian. Coba kita lihat fenomena ini dari penggunaan dating-apps Tinder. Informasi apakah yang anda sangat perlukan ketika mencoba mencari pasangan di sana? Hampir pasti sebagian besar dari kalian akan menjawab profile picture. Tanpa pikir panjang, anda akan segera swipe left (tidak tertarik) dengan kandidat pasangan ketika dia tidak menampakkan wajah serta postur tubuhnya. Melalui gambar, anda akan mampu menilai tingkat kecocokan anda dengan kandidat tersebut. Tidak adanya gambar mengindikasikan bahwa kandidat pasangan menyembunyikan sesuatu yang tidak wajar dari orang lain, dan manusia cenderung akan menghindari resiko terburuk yang mungkin muncul.
Hal yang dapat kita pelajari dari case Tinder yang mungkin bisa diaplikasikan ketika kita menjalankan bisnis adalah cari tahu hal apakah yang menjadi perhatian utama dari calon pembeli ketika mereka akan membeli sebuah barang. Jika anda dapat memberikan informasi yang tepat terhadap pertanyaan dan kebutuhan dari calon pembeli, kemungkinan besar mereka akan membeli produk anda. Sekian yang dapat kami sampaikan dalam ringakasan ini. Berikan komentar and ajika anda memiliki masukan atau hal lain yang ingin disampaikan. Terima kasih
Add a comment