Salah satu reaksi di atas mungkin sudah tidak jarang kita dapati ketika merespon lelucon [atau lebih terasa seperti penghinaan] yang sebelumnya telah dilontarkan seseorang kepada kita. Faktanya, terkadang reaksi mereka tersebut justru bisa lebih menyakitkan daripada lelucon [penghinaan] aslinya. Jika kita tidak tegas atas perilaku ini, sama saja kita membiarkan mereka berpikir tidak apa-apa untuk terus melakukannya.
Saya setuju bahwa humor, lelucon, candaan atau apapun itu sebutannya merupakan satu cara paling gampang untuk mengakrabkan diri dengan orang lain. Sudah banyak penelitian juga yang membenarkan hal tersebut, bahkan menurut penelitian yang ditulis oleh Brad Bitterly dan Alison Wood Brooks, membuat lelucon sangat disarankan sebagai perilaku tambahan ketika berada di tempat kerja.
Tulisan yang dimuat pada laman Harvard Business Review tersebut, mengungkapkan bahwa humor membantu membangun kepercayaan interpersonal dan hubungan kerja berkualitas tinggi serta memengaruhi perilaku dan sikap yang penting bagi efektivitas kepemimpinan, termasuk kinerja karyawan, kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan kreativitas.
Namun, bukan hal itu yang penting untuk kita soroti dalam tulisan ini. Bagaimana ketika candaan kita melewati batas?
Sebagai pribadi yang semakin dewasa, kita seharusnya sudah paham batasan-batasan dalam bercanda. Ketika kita menangkap respon ‘target’ (orang yang kita ajak bercanda) bahwa sepertinya hal tersebut tidaklah “lucu”, sebaiknya memang tidak perlu kita lanjutkan. Bahkan ketika mungkin tidak ada yang salah dalam candaan kita, bukan berarti benar untuk kita menghakimi apa yang mereka rasakan. Setiap orang punya kondisinya masing-masing.
Menurut Rachel Simmons dalam tulisannya berjudul Just Kidding: When Humor Hurts, hal ini bukan tentang menghentikan semua lelucon; hanya lelucon yang melewati batas. Orang-orang yang memaksakan lelucon itu tidak menghormati emosi target — ketidaksopanan emosional. Ketika kita menekan seseorang untuk tidak merasa sakit hati atas candaan yang kita lontarkan, pada dasarnya kita sedang berkata;
“I don’t care if you feel hurt by this. I think it’s funny, so you have to think it’s funny, too.”
Bercanda juga termasuk bentuk komunikasi, yang mana melibatkan lebih dari satu pihak. Artinya, tidak boleh egois jika komunikasi tersebut ingin berjalan dengan baik. Dalam agama saya: Islam, juga melarang seseorang yang banyak tertawa, karena hal tersebut dapat mematikan hati. Hal ini bukan berarti melarang seseorang untuk tertawa atau membuat lelucon, melainkan tertawa yang berlebihan apalagi jika mengandung celaan atau hinaan dalam sudut apapun; membuat orang lain tersakiti dan membuat hati kita lupa bagaimana menghargai perasaan orang lain.
Candaan yang melewati batas bisa mengarah kepada ‘Pelecehan Verbal’. Bagaimana kita mengenalinya?
Konsep “melucu” (membuat lelucon) menurut pandangan saya yakni terletak pada ‘lelucon’ itu sendiri. Artinya, antara target dan ‘joker’ (orang yang melucu) sama-sama menertawakan leluconnya (hal lucu yang telah dibuat oleh joker), bukan malah untuk menertawakan targetnya. Inilah akar dari lelucon yang melewati batas. Orang membuat lelucon bukan lagi untuk menertawakan substansi, melainkan untuk mengejek melalui substansi.
Name-calling or shaming, seperti mempermalukan dengan menyebut ‘gendut’. Mungkin saja target merespon baik, tetapi pernahkan kita berpikir apa yang sesungguhnya dirasakan? Saya sudah mendengar pengakuan dari beberapa teman, bahwa terkadang mereka juga merasa sedih, terhina dan terbebani atas pernyataan seperti itu. Alih-alih agar-supaya akrab melalui panggilan yang kita pilih, kenapa tidak kita panggil saja dengan nama yang mereka sukai? :)
Hinaan dan cemoohan, yang disamarkan sebagai lelucon. Ini yang saya sebut mengejek melalui substansi. Seseorang membuat lelucon, tetapi poinnya bukan terletak pada lelucon melainkan pada ‘kita’ yang secara terselubung sudah dijadikan lelucon.
Lelucon yang menyerang titik lemah atau rentan kita, atau yang membahas subjek sensitif. Jauhi, sekarang kita sudah tahu karakter aslinya, tidak penting untuk kita berteman baik dengan orang seperti ini. Mungkin dia memang titisan Dewa yang tidak memiliki kelemahan seperti kita.
Candaan yang mempermalukan kita, terutama saat diucapkan atau dipertontonkan di tempat umum. Yang satu ini sudah terjadi sendiri pada saya. Menurut mereka (joker), apa yang mereka lakukan terhadap saya adalah keisengan dan candaan belaka. Mereka sama sekali tidak tertarik tentang bagaimana perasaan saya [yang penting mereka terhibur, yang penting adalah kesenangan mereka], apalagi tertarik pada bagaimana saya dipandang orang lain setelahnya, hehe. Sepertinya semenyenangkan itu menertawakan orang lain.
Gaslighting, atau meminimalkan lelucon yang menyakitkan dengan berkata, “Aku hanya bercanda kok” atau “kamu terlalu sensitif deh” atau contoh lain seperti pada pembuka tulisan ini. Reaksi seorang yang selalu membenarkan dirinya, orang lain hanyalah Raisa yang ‘Serba Salah’. Mungkin mengucapkan “minta maaf” baginya memang begitu berat. Tidak apa-apa, bersyukurlah kita yang ringan untuk meminta maaf.
Ketika kita sudah mengenali, bagaimana kita harus merespon atas candaan yang berlebihan tersebut?
Christine Luff menulis beberapa tips pada laman Her View From Home tentang bagaimana cara kita ketika menanggapi candaan yang menyakitkan atau diikuti dengan perilaku gaslighting, berikut ini:
Biarkan joker tahu bagaimana perasaan kita; lebih cepat, lebih baik. Katakan sesuatu seperti, “Aku tahu maksudmu itu hanya lelucon, tapi itu menyakiti perasaanku.” Jika kita bisa mengatakannya di depan orang lain, itu mungkin lebih efektif. Orang tersebut mungkin agak malu dan berpikir dua kali sebelum membuat komentar serupa di kemudian hari.
Jika joker kemudian menjawab dengan, “Makanya dong punya selera humor” katakan sesuatu seperti, “Aku memiliki selera humor yang tinggi, tetapi menurutku lelucon yang mengejek penampilan seseorang [atau apa pun] tidak terlalu lucu. Aku sebenarnya menganggap itu seperti hinaan.”
Jika joker adalah kerabat atau teman dekat, ketahuilah bahwa dia mungkin mengira kita akan menganggapnya lucu. Jelaskan kepada mereka bahwa kita tidak keberatan dengan sedikit candaan yang tidak bersalah, tetapi komentar itu terlalu berlebihan dan menyakitkan.
Cobalah untuk menghindari ‘masuk’ ke level mereka dengan membalas hinaannya. Melakukan hal tersebut dapat menyebabkan siklus perilaku negatif yang kejam dan tak berujung. Ambillah jalan lain, biarkan mereka tahu bagaimana perasaan kita, dan lepaskan.
Sekarang kita sudah sadar bahwa lelucon terkadang menyakiti hati, bagaimana kita menghindarinya?
Berikut tips dari tulisan Christine Luff tentang bagaimana kita menghindari lelucon yang telah melewati batas:
Berpikirlah sebelum kita berbicara. Sebelum kita membuka mulut, tanyakan pada diri kita pertanyaan-pertanyaan ini: Apakah itu benar? Apakah itu baik? Apakah itu perlu? Jika jawabannya tidak, simpan sendiri komentar kita.
Jangan menilai atau berdebat tentang validitas reaksi orang lain. Setiap orang berhak atas perasaannya.
Jangan membela diri atau bersikeras bahwa orang lain akan menyukai selera humor kita.
Minta maaf. Buatlah permintaan maaf yang tulus dan menyentuh hati. Jangan berkata, “Maaf jika aku menyinggungmu.” Bertanggung jawab dan akui perasaan terluka. Jelaskan bahwa kita benar-benar menyesal dan kita akan menjadi lebih peka kedepannya.
Lakukan soul-searching dan pikirkan tentang kemungkinan alasan mengapa kita menggoda orang ini. Apakah kita memiliki niat buruk, kecemburuan, atau kebencian terhadapnya? Apakah seseorang menggoda kita dengan lelucon yang kejam, dan kita menyebarkannya? Apakah kita bergulat dengan masalah self-esteem?
Bagaimana jika kita bukan si target, bukan pula si joker. Bagaimana jika kita adalah saksi dari lelucon kejam tersebut, apa yang perlu kita lakukan?
Christine Luff menambahkan beberapa tips agar kita dapat mendukung korban dan membantu menghentikan perilaku itu, berikut ini:
Jangan ikut tertawa. Jika orang tidak memiliki penonton untuk lelucon mereka, mereka cenderung tidak akan membiarkan hinaan itu berlanjut.
Panggil si joker. Katakan sesuatu seperti, “Hei, itu tidak lucu” atau “Itu sangat tidak sopan.”
Jika kita merasa tidak nyaman terhadap lontaran komentar jahat, dekati korban setelahnya dan beri tahu dia bahwa orang tersebut salah. Empati dari teman yang suportif dan penuh perhatian dapat menghilangkan banyak rasa sakit yang ditanggapi oleh komentar yang menyakitkan.
Semua hal dalam hidup diberikan batasan, pasti karena alasan. Sekarang kita tahu betul bagaimana akibatnya jika satu hal berjalan terlalu jauh. Mungkin tidak hanya menjadi boomerang untuk orang lain, melainkan juga untuk diri sendiri. Semakin tahun kita tumbuh dan dewasa, semakin menjadi kewajiban kita untuk berpikir dengan bijaksana. Berusaha tidak memandang semua hal yang baik pada kita, pasti akan baik pula pada orang lain [karena bisa saja sebaliknya]. Kita sudah belajar bahwa setiap dari kita punya dimensinya masing-masing. Hargai, satu sama lain.
Add a comment