Angsa hitam, judul buku yang aneh bukan? Tetapi, apakah kamu tahu jika sebenarnya angsa hitam itu memang ada. Menurut sejarah, sebelum benua Australia ditemukan, hampir sebagian besar orang-orang di dunia percaya bahwa semua angsa hanya berwarna putih. Dari sudut pandang Taleb, hal ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai batasan yang serius mengenai pengetahuan yang kita miliki. Hanya dengan satu pengamatan angsa hitam saja, pengetahuan bahwa hanya ada angsa berwarna putih di dunia dapat diruntuhkan. Hanya karena kita belum pernah melihat angsa hitam, tidak berarti bahwa angsa hitam itu tidak ada.
Dalam kehidupan nyata, angsa hitam bagaikan kejadian-kejadian acak yang sepertinya sangat tidak memungkinkan untuk terjadi, namun memiliki konsekuensi yang mendalam dalam kehidupan masyarakat. Hadirnya kejadian ini sangat sulit untuk diprediksi, contohnya adalah serangan teroris 9/11 di Gedung WTC Amerika Serikat, anjloknya harga saham di karenakan meletusnya dot-com bubble, dan kehadiran internet. Walaupun pertumbuhan dalam ilmu pengetahuan berkembang pesat, Taleb berpendapat bahwa jalannya masa depan akan semakin sulit untuk diprediksi seiring berjalannya waktu.
Manusia sangat buruk dalam membuat prediksi
Taleb besar di Lebanon. Pada masa kecilnya, dia menganggap Lebanon seperti surga. 13 abad dilalui dengan penuh kedamaian. Namun pandangan itu berubah ketika terjadi peperangan sipil antara kaum muslim dan kristiani. Tidak ada yang memprediksi pertumpahan darah ini akan terjadi. Pusat kota Lebanon berubah menjadi zona perang dalam seketika. “Angsa hitam” hadir tanpa memberi peringatan dan mengubah jalannya masa depan. Orang-orang dewasa memberi tahu Taleb kecil jika perang ini hanya akan berlangsung selama beberapa hari, namun 17 tahun berlalu tanpa terhenti dari peperangan.
Menurut Taleb, sejarah itu buram. Kita dapat mengetahui apa yang terjadi setelah semuanya berlalu, namun kita tidak dapat melihat naskah yang yang melatar belakangi kejadian sebelum semuanya terjadi. Kebanyakan orang merasa percaya diri dengan prediksinya karena mereka membuat prediksi berdasarkan sejarah. Namun manusia sering lupa bahwa waktu mempunyai cara untuk mengejutkan kita dengan kejadian yang tak lazim.
Pelajaran dari seekor kalkun
Ada pelajaran yang dapat kita ambil dari seekor kalkun yang dipelihara di peternakan. Dari sudut pandangnya, umat manusia adalah mahluk yang baik. Manusia lah yang merawat dia sejak dia lahir hingga dewasa. Setiap kali manusia memberi makan, kalkun tersebut semakin yakin bahwa manusia menginginkan hal yang terbaik untuknya. Sampai suatu ketika, sesuatu yang tak diharapkan terjadi. Kalkun tersebut dibunuh, dibersihkan bagian luar dan dalamnya serta diisi tubuhnya dengan berbagai macam bumbu untuk disajikan pada perayaan hari Thanksgiving. Tangan yang memberinya makan juga menjadi tangan yang mengakhiri hidupnya.
Hikmah apakah yang bisa diambil dari fenomena ini? Di sini Taleb ingin menunjukkan bahwa kita tidak benar-benar mengetahui sesuatu yang kita ketahui. Kita sering terlalu percaya bahwa sesuatu yang sudah terjadi pada masa lalu, akan terjadi lagi pada masa depan. Bisa saja, sesuatu yang kita percayai ini menuntun kita kepada jalur yang salah dan tidak relevan dengan keadaan kita sekarang. Dari fenomena ini, kita juga bisa pelajari bahwa manusia secara natural mempunyai kecenderungan untuk mencari pembenaran terhadap apa yang kita percayai. Kelemahan ini sering sebut dengan confirmation biasyang berarti kita mencari informasi yang mendukung pandangan kita dan menolak informasi yang berlawanan dengan pandangan kita. Confirmation biassama halnya dengan mempercayai bahwa dengan menyaksikan angsa putih lainnya dapat menyangkal fakta tentang keberadaan angsa hitam di muka bumi yang benar adanya. Cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir yang aneh dan berbahaya, namun inilah sifat manusia.
Kecenderungan kita untuk membuat cerita mendistorsi pandangan kita tentang dunia
Manusia senang bercerita. Dengan bercerita, sesuatu yang sulit dijelaskan menjadi lebih mudah dipahami. Cerita membuat satu informasi dengan informasi lainnya saling berkaitan sehingga mudah untuk diingat. Namun, cerita memiliki sisi negatifnya sendiri. Ketika mendengar cerita, sering kali kita melakukan tafsir yang berlebihan terhadap cerita tersebut. Kita lebih senang untuk mendengarkan cerita yang singkat, padat dan menarik dibandingkan dengan mengetahui fakta mentah dari suatu hal. Hal ini jelas dapat mengganggu pandangan kita mengenai dunia yang sebenarnya.
Tetapi, mengapa kita melakukannya? Pada masa yang penuh dengan informasi seperti sekarang, kita tidak mungkin bisa memahami semua hal yang terjadi di sekeliling kita. Karena itu, otak kita hanya memilih informasi yang penting menurut kita. Suatu informasi akan semakin mudah kita ingat jika informasi tersebut tersusun dengan jelas, sederhana, tidak acak, dan mempunyai alur cerita. Sayangnya, ketika kita menyederhanakan sebuah informasi, kita lupa bahwa akan selalu ada faktor “angsa hitam” yang ikut berperan di dalamnya.
Sebagai contoh, ketika saya memintamu untuk mengingat kejadian di masa lalu, kemungkinan besar kamu akan hanya teringat dengan fakta yang cocok dengan narasi yang kamu bangun. Sementara kamu akan mengabaikan fakta yang tidak memiliki peran signifikan dalam cerita tersebut. Ketidak mampuan kita dalam mengingat kejadian dalam urutan sebenarnya, melainkan menceritakan informasi berdasarkan narasi yang kita bangun, membuat masa lalu terlihat lebih mudah untuk dijelaskan. Kita lupa untuk memperhitungkan berbagai macam penjelasan yang juga ikut mempengaruhi kejadian di masa lalu.
Perbedaan antara informasi yang scalable dan non-scalable
Perbedaan mendasar antara informasi scalable dan non-scalable terletak pada seberapa besar perbedaan nilai antara satu data dengan data yang lain menurut konteks penggunaannya.
Asumsikan kamu memanggil seribu orang secara acak sebagai sampel dan meminta mereka untuk berdiri bersebelahan antara satu dengan yang lain. Jika kamu amati, tinggi dan berat badan dari seribu orang tersebut bervariasi bukan? Beberapa orang mungkin tingginya di atas 180 cm, sementara beberapa orang lainnya mempunyai tinggi badan di antara 150 – 170 cm. Kita tahu bahwa secara alami tubuh kita mempunyai batas maksimal akan seberapa besar badan kita dapat tumbuh. Sehingga dalam sampel yang kita ambil, tidak akan ada orang yang memiliki ketinggian lebih dari 500 cm. Informasi seperti tinggi dan berat badan ini variasinya terbatas; informasi seperti inilah yang disebut sebagai non-scalable information. Dengan non-scalable information, masih ada kemungkinan untuk kita untuk membuat prediksi yang cukup akurat.
Asumsikan lagi kamu mengumpulkan seribu orang yang berbeda. Tambahkan Jeff Bezos, salah satu manusia terkaya di planet ini dengan total kekayaan mencapai 111 miliar dolar Amerika, dalam sampel tersebut. Kemungkinan besar, kekayaan 999 orang sisanya berada pada kisaran jutaan dolar atau bahkan lebih kecil dari pada itu. Ketika terdapat perbedaan yang sangat radikal dalam distribusi nilai dari pada data (dalam kasus ini kekayaan), inilah yang disebut sebagai scalable information. Pada kondisi di mana terdapat banyak sekali scalable information, akan sangat sulit bagi kita untuk memprediksi kapan outliers (pencilan) akan terjadi dan efek apa yang akan ditimbulkan oleh outliers.
Ludic fallacy
Ada dua orang bernama Dr. John dan Fat Tony yang sedang berbincang. Dr. John adalah seseorang yang sangat percaya kepada ilmu pengetahuan dan suka berpikiran secara logis. Sementara Fat Tony adalah seseorang yang percaya terhadap intuisi dan bertindak berdasarkan apa yang dia inginkan. Tak lama kemudian seseorang datang membawa sekeping koin dan bertanya kepada mereka, “Asumsikan koin ini berada dalam keadaan normal, tidak cacat. Saya melemparnya sebanyak 99 kali dan saya selalu mendapatkan sisi kepala tanpa mendapatkan sisi ekor sekalipun. Kira-kira, seberapa besarkah kemungkinan sisi ekor muncul pada lemparan selanjutnya?”. Dr. John berkata “Kemungkinannya adalah 50:50 karena tidak ada hubungannya antara lemparan sebelumnya dengan lemparan selanjutnya”. Uniknya, Fat Tony berpendapat lain. Dengan yakin dia berkata bahwa “kemungkinan lemparan selanjutnya berujung pada gambar ekor tidak lebih dari 1%”. Intuisi Fat Tony berkata bahwa koin tersebut telah dicurangi.
Dari apa yang saya tangkap, ludic fallacyadalah bagaimana atribut-atribut resiko dan ketidak pastian yang kita pelajari berdasarkan teori tidak sepenuhnya menggambarkan atribut resiko yang ada pada dunia nyata. Model statistika yang biasa digunakan untuk memprediksi hal-hal yang berkaitan dengan masa depan yang sifatnya sangat kompleks, seperti harga saham dan ramalan cuaca, terlalu naif dan sederhana. Hal ini yang menyebabkan kita lengah terhadap hal-hal buruk yang kedatangannya selalu saja tak terduga. Jika kita lihat pada kasus koin di atas, dalam berpendapat, Fat Tony mencoba untuk waspada dan menambahkan faktor ketidak wajaran koin dalam prediksinya. Sementara Dr. John mengambil pendekatan prediksi yang hanya bergantung pada model matematika sederhana tanpa memperhitungkan faktor lain.
Bagaimana Cara Memperkecil Dampak dari “Angsa Hitam”
Dalam menjalani kehidupan, kita akan sering berhadapan dengan angsa hitam. Tidak ada acara untuk menghindarinya. Yang bisa kita lakukan adalah tetap waspada dan mempersiapkan diri agar dampak buruk yang diakibatkan dapat diminimalisir. Tanyakan kepada dirimu hal penting apakah yang sering kamu abaikan selama ini? Mungkin angsa hitam dapat menyerangmu dari sisi terlemahmu. Mulai isi rongga-rongga kosong yang selama ini kamu biarkan rapuh. Dengan begitu, jika angsa hitam datang menghampirimu, kamu tidak akan kebingungan mencari cara untuk menghadapinya.
Add a comment