Beranjaknya kita ke umur yang lebih matang, bukan menjadi suatu rahasia lagi jika kita sering mengalami kegelisahan terhadap hidup. Begitupun yang beberapa bulan ini saya sadari. Seringkali saya menyesali keputusan yang sudah berlalu serta beberapa kekhawatiran lain terhadap masa depan. Hal tersebut juga membuat saya sadar bahwa semua kegelisahan beserta kawan-kawannya itu hanya membuang waktu dan sebuah kesia-siaan yang tidak akan membawa saya kemanapun. Malangnya lagi, melatih dan mengendalikan pikiran tidak semudah menerbangkan kapas di depan kipas angin. “Pikiran adalah tempat dialog kegilaan”, begitulah kutipan yang saya ingat dari salah satu buku Richard Templar.
Menyambung perihal kegelisahan, kamu mungkin sudah familiar dengan istilah FOMO (Fear of Missing Out). Istilah ini ditemukan oleh Patrick James McGinnis (Venture Capitalist and Author), yakni sebuah perasaan yang kamu dapatkan ketika melihat semua orang tampaknya melakukan sesuatu lebih baik daripada yang kamu lakukan saat ini. Tapi, ada satu FO lain yang perlu kita ketahui dan menurut Patrick yang satu ini jauh lebih berbahaya. Fear of A Better Option atau sering dikenal FOBO merupakan sebuah perasaan kewalahan dalam mengambil keputusan atas berbagai pilihan yang potensial, tidak yakin terhadap pilihannya sendiri dan takut kehilangan pilihan “yang lebih baik”. FOBO dapat menyebabkan seseorang dipenuhi keraguan, frustrasi, stres, penyesalan, ketidakbahagiaan dan dampak negatif lain pada kehidupan pribadi maupun profesional.
FOBO seringkali terjadi pada usia dewasa, mungkin karena waktu kita semakin terbatas sehingga kita menjadi selektif dan lebih peduli dalam memanfaatkan masa hidup yang tersisa. Anne-Laure Le Cunff (Founder of Ness Labs) menjabarkan beberapa tanda kita mengalami FOBO:
Terlalu banyak riset yang berakibat penundaan bahkan batal membuat keputusan. Bukan berarti melakukan riset itu buruk, hal ini akan menjadi FOBO apabila kita pada akhirnya membuat keputusan lebih lama dari yang kita rencanakan. Perasaan stress dan tertekan mulai muncul, padahal waktu dan energi bisa kita alokasikan untuk hal lain.
Sering menyesali keputusan di masa lalu. Merasa buruk atas keputusan yang pernah diambil sebelumnya, terus larut dalam penyesalan dan membayangkan skenario lain jika mengambil keputusan yang lebih baik.
Menyembunyikan “goal” karena takut tertekan oleh respon orang lain. Seorang yang mengalami tanda ini seringkali takut membagikan tujuannya secara publik. Mereka ingin memastikan pilihannya akan memberikan hasil yang diharapkan sebelum membuat keputusan, karena takut gagal dan merasa malu apabila diketahui orang lain. Menurut Anne, menceritakan tujuan kita kepada orang lain adalah cara yang bagus untuk berkomitmen terhadapnya serta membuat pikiran kita fokus pada pilihan tertentu.
Patrick James McGinnis menyebutkan bahwa FOBO seringkali muncul ketika kita akan mengambil keputusan jangka panjang dan cukup beresiko. Patrick menyarankan untuk membangun beberapa prinsip sebelum kita melalui proses pengambilan keputusan, diantaranya:
Pikirkan apa yang benar-benar penting bagi kita dan tetapkan kriteria yang sesuai.
Pastikan kita mengumpulkan data tentang semua opsi sehingga kita akan yakin bahwa keputusan yang dibuat benar-benar tepat.
Ingatlah bahwa FOBO pada dasarnya muncul ketika kita berusaha untuk memilih hanya satu dari beberapa opsi potensial. Jadi apapun yang kita pilih, kita akan yakin bahwa sisi negatifnya terbatas.
Setelah kita membangun prinsip-prinsip di atas. Berikut tips yang Patrick bagikan agar kita bisa mengambil keputusan dengan cepat dan terhindar dari FOBO:
Mulailah dengan mengidentifikasi “front-runner” diantara beberapa opsi potensial. Kemudian bandingkan secara head to head antara setiap opsi dengan front-runner yang sudah kita pilih di awal. Bandingkan satu per satu.
Setiap membandingkan, pilih satu yang lebih baik dari keduanya berdasarkan kriteria yang sudah kita tentukan, kemudian coret dan buang yang lainnya.
Ketika kita menghilangkan satu opsi, maka harus benar-benar hilang dari “kelompok opsi”. Jika tidak, kita akan terjebak dan bisa mengalami FOBO.
Ulangi proses dari awal sampai kita menemukan satu opsi terakhir.
Belajar dari kesalahan di masa lalu dan memikirkan masa depan demi perencanaan hidup memang sangat penting. Namun, membawa sifat-sifat ketakutan tersebut untuk ikut ke dalam hidup kita apakah sesuatu yang penting? Selalu menginginkan yang lebih baik adalah sifat alami kita sebagai manusia. Tidak pernah puas dan selalu ingin lebih dari yang dimiliki saat ini. Lagi pula adakah hal yang “terbaik” di hidup ini? Jika ada pun, bukankah hanya Tuhan yang mengetahui? batas kita sebagai manusia hanya bisa menilai baik atau buruknya sesuatu setelah kita menjalaninya sendiri. Bahkan seorang cenayang mungkin saja tidak benar-benar tahu apa yang terbaik untuk dirinya, bukan? Setidaknya mencoba bersyukur atas diberinya banyak pilihan dalam hidup adalah bentuk hal yang baik pula, karena setahu saya tidak semua orang bisa memilih dalam hidupnya.
Add a comment