Galileo Galilei, seorang fisikawan cum astronom yang hidup pada abad ke-15, menjemput ajal ketika dipersekusi dan diasingkan oleh Gereja Katolik Roma. Galileo dinilai telah mengajukan buah pikir yang bertentangan dengan norma agama, yaitu melahirkan pemikiran heliosentrisme yang mempercayai bahwa bumi bergerak mengelilingi matahari. Sementara itu, ajaran dogmatis Gereja Katolik Roma pada waktu itu meyakini bahwa bumi adalah pusat tata surya. Merasa superioritasnya terancam oleh produk ilmu pengetahuan tersebut, aparatus gereja kemudian melakukan persekusi terhadap Galileo Galilei. Dalam sejarahnya, tindakan itu dinilai sebagai simbol buruknya hubungan antara otoritas agama dengan ilmu pengetahuan.
Beranjak dari abad ke-15, dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan juga terjadi di abad ke-21 ini. Hal itu tampak jelas pada bagaimana sekelompok masyarakat Islam di Indonesia menolak protokol kesehatan dari pemegang otoritas dan ilmuwan dalam rangka melawan pandemi Coronavirus Disease (Covid-19). Segelintir kelompok masyarakat Muslim menentang anjuran physical distancing secara mentah-mentah dengan justifikasi “kami tidak takut pada Corona, kami hanya takut pada Allah”; “bukannya mati itu semua ketentuan Allah? Kita semua pasti akan mati”; dan “jangan tinggalkan masjid, meskipun ada Corona”.
Terabaikannya seruan otoritas kesehatan itu juga diekspresikan oleh kelompok Muslim dalam beragam bentuk tindakan. Masyarakat Muslim di Kota Makassar misalnya, tetap menyelenggarakan shalat tarawih berjamaah, meskipun otoritas pemerintah setempat telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan menyerukan untuk beribadah di rumah (Suara, 2020). Di Kota Bandung, meskipun Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengeluarkan peraturan untuk meniadakan shalat berjamaah, sejumlah kelompok masyarakat Muslim justru berusaha mencopot spanduk peringatan di Masjid Raya Kota Bandung dan bersitegang dengan aparat kepolisian (Tempo, 2020). Hal itu juga terjadi di banyak komunitas Muslim di kota-kota besar lainnya, seperti di Banda Aceh, Surabaya, dan Semarang (Kumparan, 2020). Perilaku segelintir kelompok masyarakat itu kemudian berkontribusi pada terjadinya transmisi lokal yang membuat penyebaran virus Corona semakin sulit dikendalikan.
Sebagaimana umat Islam, para pemuka agama Islam juga menunjukkan ekspresi yang antisains. Pemuka agama dari organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama, Habib Luthfi bin Yahya, adalah contoh paling baik. Di tengah situasi pandemi, Habib Luthfi tetap menggelar kegiatan keagamaan yang dibanjiri ribuan umat tanpa mempedulikan protokol physical distancing. Dalam ceramahnya, sang ulama juga menganjurkan umat untuk tidak perlu takut menghadapi virus Corona dan cukup memandangnya sebagai takdir Tuhan (Gatra, 2020). Ulama lain seperti Felix Siauw dan Abdul Somad semula juga menyerukan untuk tidak perlu risau dengan wabah Corona dan tetap menganjurkan beribadah di masjid, meskipun keduanya belakangan menarik lidah dengan mengajak umat Islam untuk melakukan physical distancing dan beribadah di rumah masing-masing[1].
Hubungan yang dikotomis antara agama dengan ilmu pengetahuan juga terjadi di level negara. Berbagai laporan menyebutkan adanya sikap otoritas pemerintah Indonesia yang cenderung menyepelekan hasil penelitian ilmiah terkait pandemi Covid-19. Hal itu tertangkap pada terabaikannya hasil penelitian para ahli kesehatan masyarakat dari Harvard University soal masuknya virus corona di Indonesia sejak bulan Januari 2020 (Kompas, 2020). Para ilmuwan dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman juga telah memperingatkan kemungkinan terjadinya negatif palsu dari pemeriksaan spesimen virus yang saat itu dimonopoli oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (CNN, 2020). Eijkman bahkan telah menawarkan menjadi laboratorium pembanding, namun hal itu diabaikan oleh pemerintah Indonesia. Pengabaian juga dialami oleh para epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang telah membuat permodelan lonjakan pasien Covid-19 dan hubungannya dengan daya tampung rumah sakit jika pemerintah tidak melakukan intervensi (Tempo, 2020). Epidemolog dari Eijkman Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar, juga telah memaparkan bahwa Indonesia belum memiliki kurva epidemi yang sahih untuk mengukur keberhasilan intervensi pemerintah (Arif, 2020). Namun, berbagai peringatan itu lagi-lagi diabaikan oleh aparatus terkait.
Laporan lain juga merangkum adanya sikap pejabat tinggi negara yang cenderung mengabaikan sains sebagai dasar pengambilan kebijakan untuk memerangi pandemi di Indonesia. Kelakar Menteri Perhubungan, Budi Karya Samadi, soal kebalnya masyarakat Indonesia terhadap virus corona karena gemar mengonsumsi nasi kucing adalah contoh paling tepat (Republika, 2020). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, sebagaimana diucapkan ulang oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM, Mahfud MD, juga berkelakar bahwa virus corona sulit masuk ke Indonesia karena perizinannya rumit (Vice, 2020). Sikap pemerintah menunjukkan kecenderungan untuk mengabaikan risiko dan menunjukan ketidakseriusannya dalam menangani persoalan pandemi. Pemerintah juga menunjukkan sikap yang cenderung antisains dengan kerap melakukan counter terhadap berbagai narasi ilmiah berbasis penelitian serta menganggap data-data valid sebagai hoaks (Ahmad, 2020)[2].
Dalam sebuah diskusi, CSIS (Center for Strategic and International Studies) membenarkan adanya sikap negara yang cenderung dikotomis terhadap ilmu pengetahuan. Lembaga tersebut mengafirmasi bahwa penggunaan data dan ilmu pengetahuan dalam pengambilan kebijakan pemerintah memang belum menjadi tradisi di Indonesia (KSI Indonesia, 2020). Banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia hanya berbasis pada spekulasi, bukan berlandaskan pada data ilmiah dan ilmu pengetahuan. Hal itu membuat proses perumusan kebijakan berjalan tidak efektif —terlihat pada rangkaian kebijakan pemerintah Indonesia yang cenderung hanya berbau respon (reaktif), bukan berbentuk grand-design rencana yang berisi skenario-skenario lengkap menyoal pandemi. Ahmad (2020) membahasakan sikap pemerintah Indonesia tersebut sebagai sindrom “not in my backyard”: tidak melakukan sesuatu yang signifikan sebab kejadian belum terlihat di depan mata, tetapi, ketika satu demi kasus positif virus Corona bermunculan, pemerintah terlihat kelabakan dan menunjukkan ketidaksiapannya.
Dari Utopis Menuju Ilmiah
Memukul rata seluruh kelompok Islam menunjukkan ekspresi antisains tentu saja bukan sikap yang bijak. Otoritas negara seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia) misalnya, sejak awal telah menyerukan umat Islam di Indonesia untuk mengikuti protokol kesehatan dengan menjalankan ibadah di rumah masing-masing (Kontan, 2020). Organisasi Islam kemasyarakan Muhammadiyah juga secara konsisten ikut menyerukan umatnya untuk menjalankan ibadah shalat tarawih dan idul fitri di rumah (Republika, 2020). Tokoh-tokoh Islam dari beragam organisasi masyarakat sipil, seperti KH. Said Aqil Siradj, Prof. Dien Syamsudin, Prof. Haedar Nasir, Buya Yahya Cirebon, hingga Habib Rizieq Shihab juga seperdendangan sepenarian menyerukan umat Islam untuk mengikuti protokol dari otoritas kesehatan (Duta, 2020). Namun demikian, mengakui adanya segelintir umat Islam yang tetap memegang prinsip ajaran agama utopis[3] di atas ilmu pengetahuan ilmiah tidak dapat dimungkiri masih kita temukan. Dalam konteks itu, pembahasan di dalam artikel ini menjadi relevan.
Umat Islam perlu kembali menelaah perintah pertama yang diturunkan Allah di dalam QS. Al-Alaq, yaitu iqra’ yang berarti “bacalah!”. Ada tiga perintah yang termaktub di dalam surat pertama Al-Quran tersebut, yaitu membaca, menulis, dan mengajarkan pengetahuan (Umar, 2020). Ketiganya menjadi faktor determinan yang mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan dan peradaban Islam selama berabad-abad. Umar (2020) dengan sangat jelas memberikan argumen bahwa iqra’ bukan semata membaca surat-surat Al-Quran secara qauliyah (sebagai rutinitas semata), melainkan juga perlunya membaca ayat-ayat kauniyah yang berarti memahami cara alam bekerja. Hal itu termasuk bagaimana manusia berinteraksi dengan alam, mengolahnya untuk bertahan hidup, membantu manusia lain, dan mengatasi masalah-masalah yang muncul ketika alam menguji peradaban —seperti ketika meghadapi wabah Covid-19 sekarang ini. Dalam konteks ini, umat Islam sangat perlu mengembalikan tradisi Islam yang mengunggulkan pengetahuan, pemahaman akan konteks sosial, ekonomi, politik, dan kesehatan, serta menomorsatukan praktik-praktik ilmiah dalam merespon segala persoalan. Tradisi beragama yang dipenuhi utopia yang hanya mempersoalkan surga-neraka, kafir-beriman, dan pendekatan dogmatis saja perlu dibuang jauh-jauh[4]. Jika tidak, perjuangan untuk menggelorakan Islam Berkemajuan[5] sama halnya telah kita pukul mundur ke zaman kegelapan yang menempatkan ilmu pengetahuan di posisi subordinat.
Pada level negara, proses pengambilan kebijakan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan juga menjadi agenda super mendesak yang perlu dilakukan. Pemerintah perlu merangkul berbagai lembaga ilmu pengetahuan, dalam hal ini adalah think-tank atau lembaga penelitian, dalam rangka merumuskan berbagai kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Lembaga penelitian dapat menyajikan kajian-kajian multidisiplin untuk disalurkan ke berbagai lembaga pemerintah yang relevan. Dengan mengandalkan kerja sama semacam itu, kebijakan berdasarkan spekulasi yang diikuti oleh kelakar antisains seyogyanya tidak akan lagi mewarnai diskursus soal penanganan pandemi di Indonesia. Hal itu menjadi penting mengingat beberapa negara yang berhasil memenangkan pertarungan melawan wabah Corona, seperti Tiongkok, Singapura, dan Korea Selatan, adalah mereka yang menaruh kepercayaan tinggi pada ilmu pengetahuan (sains) dan evidence-based policy (KSI Indonesia, 2020). Berkat basis pengambilan kebijakan yang bertumpu pada ilmu pengetahuan tersebut, negara-negara itu dapat mengambil kebijakan secara tepat, seperti melakukan karantina wilayah hingga melakukan tes cepat.
Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah mengapa basis pengambilan kebijakan kita masih antisains? Padahal, di lingkaran kekuasaan negara terdapat banyak sekali para intelektual. Arif (2020) dalam sebuah tulisan bertajuk Ilmuwan dan Kekuasaan menjawab adanya hasrat dan kecenderungan negara untuk mengebiri ilmuwan dan pengetahuan. Hal itu dilakukan dalam rangka menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat justifikasi kepentingan kelompok berkuasa. Hasrat semacam itu telah muncul sejak era kolonialisme dimana para intelektual kerap dijadikan amtenar atau pegawai pemerintah yang menjadi perpanjangan tangan birokrasi. Di era kontemporer seperti saat ini, para intelektual dan ilmu pengetahuan juga cenderung hanya dijadikan aksesoris politik yang lebih banyak melayani kepentingan pasar dan kekuasaan. Mendorong negara untuk sepenuhnya menjadikan sains sebagai basis pengambilan kebijakan dengan demikian memerlukan ratusan bahkan ribuan hari: dibutuhkan perjuangan politik (political struggle) yang begitu besar. Namun, jika negara memang serius ingin menyelesaikan persoalan pandemi, mau tidak mau, suka tidak suka, barrier antara ilmu pengetahuan dengan kekuasaan harus dihancurkan.
Menata Langkah
Apakah merobohkan dikotomi antara agama, negara, dan ilmu pengetahuan saja cukup? Jawabannya adalah tidak. Ketika ilmu pengetahuan sudah menjadi batu pijakan perumusan kebijakan, pemerintah juga perlu menerjemahkan berbagai perangkat kebijakan itu ke dalam langkah-langkah taktis lagi praktis. Mengandalkan peran (pemuka) agama untuk membangun “keresahan bersama” di tengah masyarakat mengenai ancaman wabah Corona serta mendorong masyarakat menjalankan protokol kesehatan berbasis ilmu pengetahuan menjadi penting.
Terutama dalam konteks Indonesia, masyarakat kita menaruh kepercayaan yang amat tinggi terhadap keberadaan agama. Survei Gallup pada tahun 2012 menemukan bahwa dari 65 negara di dunia, Indonesia merupakan negara dimana masyarakatnya paling mendukung keberadaan agama (BBC, 2012). Di kalangan Muslim, Alvara Research Center (2017) juga menemukan bahwa 95 persen umat Islam di Indonesia memandang arti penting agama dalam kehidupan sehari-hari. Melihat hal itu, para pemuka agama dan lembaga keagamaan, mulai dari pusat perkotaan hingga jantung pedesaan, perlu menjadi perpanjangan tangan dalam rangka menerjemahkan kebijakan pemerintah menyoal pandemi Covid-19. Bersama dengan pemerintah daerah, aktor kegamaan perlu menyerap dan mengkomunikasikan kebijakan tersebut ke dalam bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses informasi yang affordable.
Sebelum beranjak ke arah itu, pemerintah perlu memformulasikan terlebih dahulu rencana besar (grand-plan) yang berisi skenario-skenario lengkap menyoal pandemi, termasuk skenario terburuk jika pemimpin atau kepala negara ikut terjangkit virus Corona serta langkah-langkah strategis yang akan ditempuh bilamana dalam waktu tertentu wabah Covid-19 belum juga mereda. Tidak kalah penting dari itu semua, pemerintah juga perlu melakukan transparansi data dan menerjemahkannya ke dalam perangkat kebijakan yang lebih reliable. Hal itu penting, sebagaimana Harari (2020) katakan, “This is because the best defense humans have against pathogens is not isolation, it is information”.
Dengan perangkat kebijakan yang berlandaskan ilmu pengetahuan, keterbukaan terhadap data dan informasi, serta membangun solidaritas sosial dengan para pemuka agama, publik akan menangkap adanya sinyal kuat keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan pandemi di Indonesia. Menurut Ikhwan (2020), masyarakat Indonesia saat ini mengalami persoalan distrust yang tebal akibat kinerja aparatus pemerintah dinilai tidak memprioritaskan keselamatan warga negara yang sedang berhadapan dengan wabah Corona. Hal itu tampak pada kecurigaan publik terhadap PLN (Perusahaan Listrik Negara) yang dianggap ‘mencuri’ uang konsumen dan keraguan publik atas keberpihakan PT Pertamina yang tetap mempertahankan harga BBM di tengah anjloknya harga minyak dunia. Akumulasi distrust semacam itu jika dibiarkan terus menerus akan sangat berbahaya: akan menggerogoti pondasi dan ikatan solidaritas sosial antara masyarakat sipil dengan negara (secara vertikal) maupun antara masyarakat sipil dengan masyarakat sipil lainnya (secara horizontal). Dalam rangka merawat kepercayaan publik dan memelihara solidaritas sosial untuk memerangi pandemi, negara perlu tampil dan menunjukkan ‘taringnya’. Membangun solidaritas yang kuat dengan pemuka agama dan ilmu pengetahuan adalah salah satu langkah paling tepat. Tujuan akhirnya tentu saja untuk menggalang kekuatan yang besar dalam rangka membawa masyarakat Indonesia keluar dari mala yang penuh dengan isak duka ini.
Catatan Kaki
[1] Penulis secara pragmatis menduga hal itu merupakan strategi keduanya untuk mengamankan posisi sosialnya di tengah masyarakat urban perkotaan yang cenderung lebih rasional.
[2] Disampaikan dalam webinar “Meredam Dampak Sosial Ekonomi Corona di Indonesia” oleh INFID bekerja sama dengan Indobig Network pada 7 April 2020
[3] Mengutip Umar (2020), terminologi ‘utopia’ dalam konteks ini merujuk pada upaya memerangi pandemi Covid-19 yang semata-mata mengandalkan agama dan akal-pikiran, tanpa melihat kenyataan serta menolak sains.
[4] Sebagaimana Tempo (2020), Wakil Presiden Republik Indonesia, Ma’ruf Amin, mengatakan bahwa virus Corona dapat ditangkal dengan doa qunut. Beberapa otoritas terkait juga menggelar do’a bersama dan shalawat dalam rangka melawan pandemi Covid-19.
[5] Perspektif Islam Berkemajuan atau Islam sebagai Din al-Hadlarah dicetuskan kembali oleh organisasi Muhammadiyah. Inti dari semangat itu adalah untuk membangkitkan kembali peran Islam dalam membangun peradaban dunia.
Add a comment