Sejarah telah membuktikan bahwa dongeng atau kisah dapat mengendalikan perilaku manusia untuk berbuat baik maupun buruk. Kisah-kisah fenomenal dapat membuat sebuah ide/gagasan/konsep menempel di kepala dan mendorong para pendengarnya untuk beraksi. Ketika kamu menjumpai seorang pemimpin yang efektif dalam menjalankan organisasi, kemungkinan besar beliau adalah seorang pendongeng yang lihai.
Namun perlu kalian ketahui bahwa kemampuan untuk bercerita ini bukanlah sesuatu yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Kalian juga bisa mempelajarinya sekarang juga asalkan kalian mau belajar secara konsisten.
Otak Manusia Menganggap Bahwa Cerita Lebih Menarik dan Mudah Diingat Dibandingkan Dengan Fakta atau Pernyataan Singkat Bayangkan, sebuah SMA sedang mengadakan penyuluhan mengenai kesehatan dan bahaya narkotika terhadap tubuh. Di ruang kelas pertama, pembicara banyak menyebutkan angka dan statistika yang menunjukkan banyaknya kematian yang diakibatkan oleh narkoba. Lalu berdasarkan data ini sang pembicara berkesimpulan bahwa narkoba sangatlah berbahaya. Sementara di kelas kedua, pembicara menggunakan pendekatan yang berbeda. Sang pembicara menceritakan kisah dari seorang pemuda tampan bernama Johnny. Pemuda ini adalah anak yang baik hingga suatu ketika permasalahan terjadi di dalam rumahnya. Untuk menghilangkan rasa stres dan muak terhadap masalah tersebut, ia mulai mengonsumsi narkotika. Di ujung presentasinya, pembicara memperlihatkan gambar dari Johnny 10 tahun kemudian dengan badan yang kurus pucat dan kehilangan banyak gigi. Dengan itu pembicara menyimpulkan bahwa narkotika memanglah berbahaya.
Menurutmu, murid di kelas manakah yang akan lebih mengingat efek buruk dari narkotika? Bisa dipastikan kelas kedua akan memahami nilai yang disampaikan. Berikut alasannya:
Ahli saraf mempunyai pendapat bahwa “Neurons that fire together, wire together”. Maksud dari pernyataan ini adalah ketika terdapat banyak bagian dari otak yang bekerja secara bersamaan, kemungkinan kita untuk mengingat hal tersebut akan lebih besar akibat proses kognisi yang dilakukan. Sebagai contoh, ketika mendengar atau melihat pernyataan seperti “narkotika berbahaya”, otak hanya melibatkan dua bagian untuk mencernanya yakni: bagian yang bertanggung jawab untuk pemrosesan bahasa & pemahaman. Namun ketika kita mendengar sebuah cerita, otak kita akan menyala-nyala layaknya sebuah switchboard. Seketika, otak kita juga memproses emosi, membayangkan sesnsasi, berimajinasi, dan melakukan sebuah perencanaan kognitif (cognitive planning).
Jika kita lihat kembali ke kasus penyuluhan narkotika di SMA, murid-murid di kelas pertama hanya memproses informasi berupa pernyataan singkat dan angka-angka; ini adalah sebuah tugas yang sangat mudah dicerna oleh otak, namun sulit untuk diingat kembali. Sementara di kelas kedua, grey cells (materi abu-abu) otak dari para murid bekerja dengan keras untuk menggambarkan detail dari hidup Johnny, membandingkan masalah Johnny dengan masalah pribadi mereka, dan mereka bertanya-tanya pada diri sendiri apakah mereka akan melakukan hal yang sama ketika berada pada posisi Johnny.
Neuron-neuron otak yang bekerja secara serempak ini membuat cerita dari Johnny lebih mudah untuk diingat. Murid-muridpun akan lebih mungkin untuk mengingat kisah Johnny ketika mereka mendapat tawaran untuk mengonsumsi narkotika, terlepas dari apapun pilihan mereka.
Kisah yang Menarik Membutuhkan Ketegangan, Orisinalitas dan Harus Relatable dengan Apa Yang Audiens Alami Jack dan Jill adalah dua orang sahabat sedari kecil. Tempat tinggal merekapun tak jauh dari satu sama lain. Setiap hari mereka bermain bersama dan akhirnya jatuh cinta. Tak ada cinta segitiga yang menghalangi kisah romantis mereka. Ketika tiba waktunya, merekapun menikah. Keluarga dari kedua belah pihak merestui jalannya pernikahan dan menganggap perjodohan mereka sebagai sebuah takdir. Akhirnya, mereka berdua hidup bahagia selamanya.
Bagaimana pendapat kalian dengan kisah di atas? Membosankan bukan? Tentunya.
Sebagian besar dari kita adalah narcissists; kita suka mendengarkan cerita-cerita dari orang lain yang memiliki jalan hidup mirip seperti kita. Ketika menemukan sebuah thread di Twitter yang membicarakan tentang “25 hal yang akan kamu pahami jika kamu memiliki orang tua dari Asia” atau “5 alasan kenapa makan bubur harus diaduk”, kita akan segera membaca dan me-retweet kicauan tersebut. Jutaan young adults di Indonesia menyukai film “Start-Up” jebolan Korea ini juga dengan alasan yang sama. Mereka dapat menemukan potongan-potongan kisah mereka dalam perjuangan Seo Dal Mi, wanita muda lulusan SMA, untuk membangun perusahaannya sendiri yang diselipi dengan cerita cintanya. Di sisi lain, cerita dari Jack dan Jill di atas sama sekali tidak relatable dengan kehidupan kita karena kehidupan tak akan berjalan dengan semulus itu.
Relatability sendiri tidak cukup. Audiens membutuhkan sesuatu yang baru dan original. Jalan cerita yang memperlihatkan bagaimana sebuah start-up dibangun dan tahapan apa saja yang harus dilalui pendirinya menjadikan film ini sebagai salah satu film yang mengangkat tema tersebut pertama kali. Setiap kali terdapat istilah (terms) asing mengenai dunia start-up, film akan memunculkan sebuah keterangan singkat yang menjelaskan arti dari istilah. Aspek edukasi inilah yang jarang ditemukan di film-film lainnya. Hasil pemindaian menunjukkan bahwa otak akan menyala-nyala ketika dihadapkan dengan sesuatu yang benar-benar baru. Respons spesial, yang berupa kewaspadaan tinggi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar, ini diturunkan oleh nenek moyang kita agar mereka bisa bertahan hidup di tempat yang penuh dengan bahaya.
Ketegangan adalah faktor terakhir yang membuat para penikmat terpaku pada cerita. Filosof Yunani bernama Aristotélēs berpendapat bahwa dalam sebuah cerita yang menarik, akan selalu terdapat celah (gap) antara “what is” (realita yang dihadapi karakter utama cerita) dan “what could be” (keadaan ideal dari karakter utama yang seharusnya terjadi). Para storyteller menutup dan membuka “celah” ini secara konstan dan inilah yang membuat ketegangan itu muncul ke permukaan. Coba bayangkan kisah yang dialami oleh Romeo dan Juliet yang ditulis oleh William Shakespeare. Tidak ada sisi yang membosankan dari drama percintaan ini. Setiap upaya untuk saling mendekatkan diri selalu didampingi dengan ujian yang sumbernya berasal dari orang-orang terdekat mereka sendiri. Sampai akhir ceritapun, Shakespear mencoba untuk menjaga adanya “celah” ini. Cinta Romeo dan Juliet dipisahkan dengan kematian tragis yang seharusnya bisa dihindari.
Storyteller yang Berbakat Mengutamakan Kelancaran (Fluency) di atas Kompleksitas Jika kamu mencoba untuk mengukur seberapa kompleks hasil karya sastra dari Ernest Hemingway (pemenang Nobel Prize dari Amerika) melalui software reading-level calculator, kamu akan menemukan bahwa cara beliau menulis memiliki level yang sama dengan anak-anak kelas 4 SD. Lakukan hal yang sama dengan buku-buku tulisan J.K Rowling atau Cormac McCarthy, kamu akan menemukan hasil yang sama. Apa yang sebenarnya terjadi?
Mungkin fakta ini terdengar aneh atau bahkan counterintuitive. Jika dipahami lebih dalam, para penulis ini memang tidak mengutamakan kerumitan, namun kelancaran-lah (fluency) yang menjadi poin utama.
Fluent storytelling adalah tentang upaya untuk memusatkan perhatian dari para penikmat cerita pada bagian yang benar-benar penting dari sebuah cerita, yakni cerita itu sendiri, dan menyingkirkan apapun yang sepertinya menghalangi tercapainya tujuan tersebut. Para editor yang berperan dalam pembuatan film Star Wars membuat cerita dari George Lucas menjadi lebih dinamis dengan menggunkan kombinasi dari teknik fast cuts (teknik pengambilan beberapa gambar secara berurutan dengan durasi pendek – kurang dari 3 detik) dengan transisi cepat (quick trantitions). Pada tahun 1970-an, ketika Star Wars pertama kali dirilis, film dengan genre science fiction sering diasosiasikan dengan slow action, ponderous shots, dan jeda-jeda dramatis.
Tujuan dilakukaknnya perubahan dalam genre science-fiction ini adalah untuk memfokuskan perhatian penonton kepada cerita layaknya yang dilakukan Hemingway dalam karya sastranya. Ketika kamu menikmati karya dari fluent storyteller, otak tidak digunakan untuk memikirkan kosakata asing atau menerka makna dari sebuah adegan yang panjangnya 40 detik. Alih-alih, kamu akan berfokus pada karakter, ketegangan dramatis, dan bagaimana kisah tersebut berhubungan dengan apa yang kamu alami sehari-hari. Pastinya, ini akan mempermudah penikmat cerita untuk menyerap informasi. Jika kamu ingin mulai bercerita, usahakan perpindahan dari satu bagian ke bagian lain dilakukan se-efisien dan se-halus mungkin.
Cerita Membuat Kita Peduli Terhadap Anggota Lain dari Kelompok Kita Beberapa tahun silam, peneliti meminta sekelompok orang untuk menonton film James Bond dengan memakai beberapa jenis peralatan untuk merekam aktivitas otak, detak jantung dan tingkat keringat yang dikeluarkan. Tiap kali Bond berada dalam keadaan bahaya, jantung dari penonton mulai berdebar dan perlahan tanganpun berkeringat. Tak hanya itu, peneliti juga memperhatikan bahwa otak memproduksi sebuah zat neurokimia yang disebut dengan oxytocin – sejenis “obat empati”.
Oxytocin memberikan sinyal kepada tubuh bahwa kita harus peduli terhadap seseorang. Di jaman prasejarah, zat neurokimia ini membantu nenek moyang kita untuk menduga dari kejauhan siapa kawan dan siapa lawan yang mungkin akan mencuri persediaan makanan mereka. Dengan kata lain, oxytocin memberi manusia kemampuan untuk mengidentifikasi siapa saja anggota-anggota dari sukunya.
Lalu mengapa oxytocin diproduksi oleh otak ketika penonton menyaksikan James Bond beraksi menumpas kejahatan? Alasannya adalah para penonton mulai menganggap bahwa Bond merupakan anggota dari kelompok mereka. Ini ikut diperkuat dengan cerita yang disampaikan. Semakin lama penonton menyaksikan, semakin baik mereka mengenal siapa James Bond, dan semakin peduli mereka dengan takdirnya. Rangkaian inilah yang membuat penonton semakin penasaran dengan akhir dari kisah James Bond. Sebuah cerita membantu pendengarnya untuk merasakan empati.
Prinsip yang sama juga dapat diterapkan pada bisnis. Di penghujung tahun 2000-an, Ford Motor Company berada di pucuk kebangkrutan. Konsumen tak lagi menganggap merek asal Amerika tersebut sebagai sebuah kebanggaan karena kualitasnya cenderung menurun jika dibandingkan dengan kompetitornya dari Asia. Satu-satunya cara untuk mengembalikan pandangan baik konsumen terhadap Ford adalah dengan bercerita.
Dibuatlah sebuah film yang diawali dengan pengakuan bahwa mereka telah mengacaukan keadaan; kendaraan yang mereka buat tak sama seperti dahulu. Film dokumenter tersebut kemudian memperkenalkan penonton kepada orang-orang yang ikut berperan dalam mendesain dan memproduksi mobil-mobil generasi selanjutnya, dengan kualitas yang lebih baik, di pabrik Ford yang tersebar di seluruh Amerika Serikat. Di bagian ini, mereka ingin memberi tahu bahwa orang-orang ini adalah saudara dan tetangga satu negara yang juga sedang berjuang. Pegawai Ford adalah bagian dari warga Amerika. Dokumenter tersebut adalah langkah pertama dari perjalanan Ford untuk mendapatkan kembali hati rakyat Amerika.
Caramu Menerbitkan Sama Pentingnya dengan Apa yang Kamu Terbitkan
Pada abad ke-16, Italia bukanlah tempat yang penuh dengan kedamaian. Keluarga dengan kekayaan berlimpah bersaing memperebutkan kekuasaan dan bersekongkol untuk menjatuhkan satu sama lain. Gosip merupakan senjata ampuh yang dapat digunakan untuk meraih tujuan tersebut. Pada masa ini juga, bisnis media massa mulai diperkenalkan kepada dunia; Avvisi atau koran yang berisi gosip merupakan salah satu produknya. Para penulis menelusuri sudut-sudut kota, seperti Milan, untuk mengumpulkan rumor-rumor hangat yang kemudian mereka tulis untuk dicetak dan disebarkan ke seluruh kota.
Pada waktu itu orang-orang Italia sangatlah haus akan gosip dan tak mau menunggu lama untuk mendapatkannya. Mereka lebih suka membaca pamflet dengan berita skandal ter-aktual yang di tulis tangan hari itu juga dari pada harus menunggu avvisi yang dicetak rapi di keesokan harinya. Supaya dapat bertahan di pasar yang serba cepat, para penulis dari avvisi perlu melakukan penyesuaian terhadap produk mereka. Tak lama kemudian, semua avvisi mulai ditulis dengan tangan agar dapat disebarluaskan pada malam hari itu juga. Pelajaran yang dapat dipetik adalah: Untuk membangun basis audiens yang baik, kamu perlu mengikuti 3 tahapan ini.
Pertama, buat kontenmu. Kamu bisa menuliskannya di mana pun, entah itu di buku catatan atau di gadget yang kalian miliki. Cari satu tema menarik yang sesuai dengan genre atau bidangmu, namun usahakan tema tersebut jarang dibahas oleh orang lain. Terapkan juga beberapa konsep tentang bercerita yang telah diajarkan seperti relatability, originality, ketegangan & fluency.
Kedua, jalin hubungan dengan audiensmu. Setelah proses penulisan dan pengeditan selesai, ini saatnya kamu untuk memberi tahu dunia mengenai karyamu melalui media sosial atau kanal lain yang menurutmu penggunanya mempunyai karakteristik yang sesuai dengan target audiensmu.
Ketiga, lakukan pengoptimalan. Apakah mengganti media penerbitan dari kolom sebuah koran / majalah / blog menjadi sebuah post di media sosial dapat meningkatkan jangkauan audiens untuk cerita yang kamu buat? Apakah audiens yang menjadi target lebih memilih untuk membaca ceritamu melalui sebuah post di Facebook atau sebuah utas yang berisi beberapa kicauan di Twitter? Apakah perlu dilakukan penyesuaian terhadap konten yang ditulis? Langkah ketiga ini adalah tentang mengumpulkan data dan melakukan perubahan yang sesuai.
Mari kita coba lihat kasus dari Upworthy, sebuah website content-sharing yang didirikan pada tahun 2012, yang menjadi salah satu perusahaan media dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Konsep yang ia tawarkan sangatlah sederhana: ambil salah satu konten menginspirasi yang telah diterbitkan dan mempunyai potensi untuk menjadi viral, kemas ulang cerita tersebut sesuai dengan selera pasar, lalu sebarkan melalui media sosial. Untuk tiap cerita yang diterbitkan, Upworthy akan mengumpulkan data seperti: apakah cerita yang mereka terbitkan lebih disukai orang dibandingkan dengan cerita aslinya? Apakah ada lebih banyak audiens berinteraksi dan membagikan ceritanya? Berdasarkan data tersebut, Upworthy menguji berbagai macam tipe pengemasan cerita hingga akhirnya mereka dapat menemukan produk yang optimal. Strategi ini sangat cocok untuk membangun basis audiens mereka dengan pertumbuhan 5 kali lebih cepat dibandingkan perusahaan media lain.
Ketika Konten Tersedia di Segala Penjuru, Ini Saatnya Kamu Untuk Menggali Lebih Dalam Pada akhir dari abad ke-19, Amerika dibanjiri dengan banyak sekali cerita. Di New York sendiri terdapat lusinan koran yang menawarkan cerita-cerita yang identik. Untuk memperebutkan perhatian dari para audiens, mereka meneriakkan judul headline yang sensasional kepada para pejalan kaki di jalanan kota. Walaupun taktik ini dapat menjual koran, ia tak bisa digunakan untuk memenangkan kesetiaan dari para pembaca. Ini adalah waktunya untuk melakukan pendekatan yang berbeda.
Joseph Pulitzer, pemilik dari New York World, adalah seorang yang ambisius. Beliau ingin menjadikan korannya sebagai satu-satunya koran yang dibaca oleh warga New York. Untuk melakukannya, beliau memerlukan konsumen loyal yang hanya membaca publikasinya dan mengabaikan berita yang ditulis oleh kompetitornya. Ini adalah hal yang sangat berat untuk dilakukan. Diperlukan sesuatu yang dapat membedakan antara cerita yang Pulitzer buat dengan cerita tulisan kompetitornya di pasaran. Lalu, apa yang beliau lakukan?
Melalui seorang reporter wanita muda yang bernama Nellie Bly, Pulitzer mendapatkan jawabannya. Walaupun banyak pihak yang memandang jurnalisme sebagai pekerjaan untuk kaum lelaki, Bly tak ragu untuk menyampaikan ide yang beliau punya di depan Pulitzer. Yakin dengan apa yang disampaikan, Pulitzer tak ragu untuk segera mempekerjakan Bly. Karya Bly ini akan menjadi tonggak sejarah dari perkembangan jurnalisme di Amerika.
Yang membedakan Bly dengan reporter lainnya adalah keinginannya untuk menceritakan sesuatu yang memiliki nilai lebih. Beliau tidak mengejar headline yang terdengar heboh namun tak memberikan pelajaran kepada para pembaca. Di tahun 1887, Bly berpura-pura menjadi orang gila. Aktingnya ini membuat beliau ditahan di salah satu rumah sakit jiwa yang rumor kejahatannya belum pernah dibuktikan. Beliau mempertahankan kedoknya selama 10 hari untuk mengumpulkan fakta. Ketika beliau dilepaskan, sebuah cerita dan fakta tentang pengabaian pasien, korupsi dan brutalitas yang dilakukan oleh oknum di rumah sakit jiwa dibuka oleh Bly secara gamblang.
Cerita berbasis fakta inilah yang mengawali dilakukannya perombakan terhadap sistem dan kebijakan di bidang kesehatan mental America Serikat. Penasaran dengan apa yang ditulis oleh Bly selanjutnya, warga New York mulai berlangganan dan hanya membaca satu koran saja. Dengan menggali sebuah topik secara mendalam, Bly berperan dalam melahirkan era jurnalisme berlangganan dan mengubah lanskap dari industri media secara total.
Contoh kasus dari Bly ini sangatlah relevan dengan jaman media sosial yang penuh dengan konten dangkal. Ketika pasar didominasi oleh produser yang terpaku pada kuantitas, ini adalah saatnya untuk para penulis menonjolkan kualitas.
Add a comment