“Can you remember who you were, before the world told you who you should be?”
— Danielle LaPorte
Memiliki keinginan untuk menjadi ‘lebih’ atau setidaknya sama dengan orang lain adalah tabiat manusia yang hidup di tengah-tengah kehidupan manusia lain. Kata ‘lebih’ yang didambakan tentu saja menjadi ‘lebih baik’, tidak seorangpun yang ingin menjadi ‘lebih buruk’. Bahkan mencoba menerima keadaan sepertinya hanyalah obat penenang terpahit, yang kita harapkan dapat mengembalikan fokus dan ikhlas menerima kenyataan. Jelas bukan salah satu dari banyaknya daftar pilihan. Karena kita semua tahu; keadaan tidak akan pernah mudah untuk diubah, ‘menerimanya’ adalah langkah paling logis yang bisa kita ambil.
Dilema membandingkan hidup sendiri dengan hidup orang-orang sudah seperti sebuah olakan air yang akan selalu menarik kita ke arahnya. Menurut teori perbandingan sosial, dorongan untuk membandingkan diri kita dengan orang lain adalah bagian dari keinginan dasar kita untuk memahami diri kita sendiri dan tempat kita di dunia sosial. Hal ini berarti bahwa individu menentukan nilai sosial dan pribadi mereka berdasarkan bagaimana mereka dibandingkan dengan orang lain. Membandingkan diri kita dengan orang lain sebenarnya dapat meningkatkan koneksi, pemahaman, dan validasi daripada memberi makan perasaan, tidak berharga, dan terisolasi.
Namun nahasnya, banyak dari kita yang terjebak dalam pendefinisian ‘perbandingan’ yang buruk itu sendiri. Alih-alih menjadi termotivasi, kita seringkali lebih tidak termotivasi. Yang dilakukannya hanyalah membuat kita tetap fokus pada apa yang tidak kita sukai; tentang diri kita dan hidup kita. Penelitian menyatakan bahwa membandingkan diri dengan orang lain dapat menurunkan kepercayaan diri seseorang, frustasi dan cemas. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa lebih dari 75% orang melaporkan merasa iri pada seseorang setiap tahunnya. Perbandingan diantara kita nyatanya justru menjadi jalur tercepat menuju ketidakbahagiaan. “It’s a recipe for misery” — Maria Stenvinkel
Dalam memperoleh fokus pada jalan baru yang akan diambil, Maria Stenvinkel membayangkan dirinya sebagai seekor kuda dengan penutup mata, dia tahu bahwa melihat terlalu banyak ke samping hanya akan membuatnya teralihkan. Denaye Barahona juga memikirkan hal serupa, kita menjadi lebih stres dan tidak puas saat ini daripada sebelumnya, karena kita tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi di dalam rumah tetangga kita ataupun teman kita. Maria dan Denaye menggaris-bawahi bahwa mengetahui lebih banyak hal di sekitar kita bukanlah suatu hal yang baik. Saya juga meyakini hal ini. Terkadang menjadi tidak tahu adalah sebuah kebanggaan, mencukupkan diri dengan informasi sesuai batas kita adalah salah satu cara fokus yang berhasil bagi saya.
Bukan hidup namanya jika tidak ditimpa rintangan. Teori dan penelitian sudah kita sadari, namun apakah semudah itu untuk komit dan istiqomah terhadapnya? Bahkan Chitato sebagai makanan ringan saja tahu persis kondisinya. Meskipun begitu, setidaknya kita sudah punya satu trik yang mudah teringat di kepala: Refocus! atau mungkin akan lebih teringat jika dibunyikan seperti tagline Om Tukul “Kembali ke Laptop”. Trik yang menurut saya cukup manjur dan cepat untuk mengembalikan fokus yang telah terdistraksi. Memfokuskan diri ‘kembali’ membantu kita untuk pulang ke tujuan, pulang pada nalar dan kenyataan. Yang saya rasakan juga sangat membantu mengalihkan pikiran dari perasaan tidak aman dan pemikiran berlebihan.
‘Kembali fokus’ penting untuk terus-menerus dipupuk pada ingatan kita jika kita ingin menjadi konsisten. Agar tahu juga apa saja yang sebenarnya kita perlu perbaiki, apa yang kita butuhkan untuk mendukung hal tersebut. Kita juga dapat menciptakan tameng diri dengan menyadari bahwa; semakin kita fokus pada jalan orang lain dan bukan jalan kita sendiri, semakin kita akan kehilangan kendali. Mungkin saja seseorang yang telah mencuri fokus kita tersebut justru semakin melangkah maju sedangkan kita semakin lumpuh, hanya melakukan kesia-siaan dan meratapi kebahagiaanya. “Too sad to cry” — Sasha Loan
“Compare yourself to who you were yesterday, not to who someone else is today.”
— Jordan B. Peterson
Dalam sebuah sesi wawancara, Jordan B Peterson menjelaskan mengenai pernyataannya di atas. Menurutnya, hidup ini tragis, penuh penderitaan, dan penuh dengan kedengkian. Hal ini yang kemudian membawa individu untuk membandingkan hidupnya dengan orang lain. Ketika kita berusia 17 tahun, kita sama seperti setiap anak berusia 17 tahun lainnya, sehingga perbandingan sosial semacam ini lebih tepat karena sebanding. Namun pada saat berusia sekitar 30 tahun, hidup kita telah menjadi sangat istimewa. Jordan menjelaskan bahwa pada usia tersebut, hidup kita memiliki banyak dimensi; keluarga, teman, hubungan profesional, kesehatan, dan akan berbeda pada setiap individu.
Jordan menambahkan jika kita melihat seseorang melakukan suatu hal lebih baik dari kita, sepertinya kita hanya melihat satu dimensi pada satu waktu. Tidak masuk akal jika kita tahu apa yang sebenarnya tidak kita ketahui secara keseluruhan. Di sisi lain kita malah frustasi pada diri sendiri, merenggut semangat kita dan menjadi kesal karena tidak ada yang baik tentang semua itu. Kehidupan semua orang pasti dipenuhi dengan tragedinya masing-masing, tetapi hal itu bukan inti kita. Intinya adalah kita harus lebih baik dari diri kita sendiri. Fokus pada diri adalah jalur utama kita. Hal ini bukan berati karena kita lebih buruk dari orang lain tetapi karena kita bukanlah ‘segalanya’ dan bukan untuk menjadi ‘seharusnya’.
Distraksi-distraksi dalam hidup ini tidak akan berhenti menghabisi pikiran kita; sekarang kembali untuk fokus.
—
Sumber gambar: Dokumenter Netflix | The Minimalists: Less Is Now
Add a comment