Zaman terus berubah dengan sangat cepat. Apalagi di era digital seperti saat ini. Hanya dengan layar sentuh dan akses internet, kita bisa mengetahui segala informasi di seluruh penjuru dunia. Dengan sangat cepat, kita mengetahui data persebaran virus Covid 19 dari China, yang terus menular ke seantero jagat raya. Tinggal klik: data video dan foto bisa diakses dan tersebar dengan sangat cepat dan mudah.
Di era yang serba digital ini, saya tiba-tiba membayangkan situasi di zaman nabi. Era di mana belum terjadi banjir informasi dan maraknya ujaran kebencian. Andaikan pada era itu sudah ada internet dan gadget, tentu hadis-hadis palsu dan riwayat kebohongan yang disandarkan kepada nabi akan semakin kuat. Yang tentunya akan menghilangkan otoritas kenabian. Seperti yang terjadi saat ini, matinya sebuah kepakaran. Siapapun bisa berkomentar. Siapapun bisa menyembunyikan identitas aslinya. Yang paling kencang berteriak di media sosial, dialah yang paling dianggap sebagai sumber kebenaran.
Dan, wajah kiai atau ulama saat ini sudah bermetamorfosis menjadi Mbah Google. Dialah rujukan utama bagi siapapun. Dapat info dari mana? Jawabannya: Mbah Google.
Untung saja di zaman nabi belum ada internet dan gadget. Yang segala akses informasi hanya didapatkan dengan cara bertemu (kopdar) atau silaturahim.
Jejak digital
Di era media sosial, kita mengenal istilah jejak digital. Jejak digital adalah segala hal yang berbau postingan yang pernah kita unggah di media sosial, baik berupa tulisan, foto, dan video. Jejak itu akan mengabadi, karena tersimpan dalam server (cloud).
Jejak itu tidak bisa dihapus ketika ada seseorang yang nyekrinshut, lalu menyebar dan viral. Di tahap itu, kita sudah tidak lagi berdaya. Wajar banyak yang bilang kalau jejak digital itu sangat kejam.
Siapapun pengguna media sosial tidak bisa terlepas dari jejak digital ini. Politisi yang menyalonkan diri sebagai wakil daerah, ia akan kelabakan dengan jejak-jejak digitalnya ketika muncul black campaign yang menyerang dirinya. Bahkan, saat ini ketika kita mau melamar perkerjaan, di beberapa instansi tertentu, pasti akan ditanyai akun-akun media sosial milik kita. Tujuannya? untuk mengetahui kepribadian kita. Hal ihwal apa yang sering kita share (bagikan).
Saya kemudian membayangkan apakah sistem jejak digital ini sama dengan sistem rekam jejak yang Allah SWT ciptakan untuk mengunduh segala perilaku (baik-buruk) umat manusia selama di dunia? Ya, analogi jejak digital ini mempermudah saya memahami mekanisme atau sistem yang Allah ciptakan kelak di hari pembalasan. Hari dimana segala amal perbuatan kita selama di dunia akan dimintai pertanggungjawabannya.
Saya jadi teringat dengan nasehat almarhum Ayah saya: “Nang, besok nik ning akherat kui film e awak dewe selama urip ning ndunyo bakal diputer, opo wae seng wes tahu awak dewe lakoni, kabeh bakal ditayangke karo Pengeran”. Lalu saya membayangkan secanggih apa teknologi yang diciptakan oleh Allah SWT kelak di yaumul hisab? Pastinya sangat dahsyat.
Lalu bagaimana dengan jejak digital kita?
Membaca Wahyu Nabi
Dari jejak digital itu, lalu saya merefleksikan beberapa poin di tengah kerumunan maya seperti saat ini.
Pertama, saya jadi teringat dengan wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tentang perintah untuk membaca. Iqra’ bismi rabbikalladzi kholaq! Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.
Yang menarik adalah mengapa perintah dari wahyu pertama ini adalah untuk membaca? bukan menulis, bukan mengajar, bukan berdakwah. Akan tetapi membaca.
Mengenai ayat tersebut, Quraish Shihab (Wawasan Al-Qur’an, 1998: 443) mengatakan, bahwa al-Qur’an sedang membicarakan konsep ilmu pengetahuan yang didapatkan oleh manusia. Jalan yang ditempuh tak lain dengan cara membaca. Baik membaca alam, tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, baik yang tertulis maupun yang tidak.
Melihat hasil survei yang pernah dirilis oleh Most Literate Nation In The World 2016, yang menempatkan Indonesia di urutan ke-60 dari 61 negara soal lemahnya minat baca, saya tidak langsung percaya. Namun seiring dengan melihat perilaku manusia Indonesia dalam bermedia sosial, saya mengamini hasil survei tersebut.
Mengapa tidak? bagi netizen +62 sekadar membaca judul berita itu sudah cukup tanpa harus mengetahui isinya. Setelah itu yang dilakukan adalah share dan comment, yang seakan-akan ia mengetahui secara detail isi berita tersebut. Padahal, bisa jadi berita yang judulnya bombastis itu oleh sang wartawan dibuat click bait, supaya viral, yang tanpa mempertimbangkan dampak sosial.
Kedua, membaca saja tidak cukup, namun harus berfikir kritis. Di era digital seperti sekarang. Informasi yang datang sangat berjibun. Bahkan, kita sampai pada level jumbuh dengan banyaknya informasi yang masuk dalam inbox group WA, misalnya. Selalu ada saja update isu terbaru yang menumpuk di alam pikiran kita. Oleh sebab itu, berfikir kritis (critical thingking) penting untuk membentengi diri kita dari segala fitnah di media sosial. Caranya mudahnya dengan tidak enteng membagikan berita yang kita dapatkan. Karena hoax itu seperti virus korona, yang penyebarannya sangat cepat tanpa mengenal ras, usia, dan agama.
Ketiga, setelah nabi mendapatkan perintah untuk membaca, lalu nabi menyampaikan kebenaran wahyunya itu kepada umatnya. Sudah saatnya para santri unjuk gigi, menyampaikan segala kebaikan dan kebenaran melalui layar digital. Tidak harus menjadi penceramah dengan cara bertausyiah. Namun bisa dengan cara memenuhi konten-konten media sosial dengan tulisan, meme, infografis, video-video pendek petuah-petuah Romo Kiai sewaktu kita ngaji, dan lain-lain. Karena saya sepakat dengan pernyataan Savic Ali (direktur NU Online) yang menyatakan bahwa menguasai ruang digital hukumnya fardhu kifayah, kalau tidak ada yang melakukannya, semuanya akan kena dosa.
Dus, jika ketiga hal tersebut bisa kita lakukan dengan baik, insya Allah kita akan selamat dari fitnah kebencian, fitnah yang menjadikan kita seolah-olah tidak mengerti manusia dan agama. Wallahu a’lam.
Add a comment