Kita sedang berada di ruang tunggu dalam kantor klinik gigi kita. Seorang wanita masuk dan kemudian duduk di sebelah kita. Dia tersenyum dan memulai percakapan. Dia berbicara tentang sampul majalah People, dan berkomentar tentang betapa sepinya kondisi ruang tunggu. Dia bertanya tentang diri kita dan bercerita tentang sesuatu yang terjadi padanya di hari sebelumnya.
Kita menyadari bahwa kita sangat menikmati kebersamaan dengan wanita ini, dia menyenangkan dan mudah diajak bicara. Kita bisa membayangkan berteman dengannya. Sepuluh menit kemudian kita dipanggil ke kantor, dan kita mengucapkan selamat tinggal.
Perjumpaan seperti itu sering terjadi dalam hidup kita. Di mana kita bertemu seseorang dengan sangat singkat dan merasa bahwa kita memiliki “perasaan” tentang orang itu. Hanya dengan cara dia berbicara dan bagaimana dia menanggapi, kita merasakan siapa dia.
Mungkin kita membayangkan mengetahui gaya hidup atau nilai-nilainya, dapat memprediksi seperti apa dia dalam situasi lain, dan memiliki gagasan bagus apakah kita akan menikmati kebersamaan dengannya di masa depan. Dari interaksi singkat, kita menciptakan pemahaman yang kaya tentang seseorang yang baru saja kita temui.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Bagaimana kita dapat membuat gambaran yang jauh lebih besar dari mengambil sejumlah kecil informasi?
“First impressions matter so much because they happen fast, and they are stubborn.”
Bagaimana Kesan Pertama Terbentuk?
Menurut artikel pada laman ABC News berjudul Personal Best: Chapter One of ‘First Impressions’, pada kesan pertama (first impression), orang lain hanya melihat sebagian kecil dari diri kita, sebagian kecil dari hidup kita. Tetapi bagi mereka, sampel tersebut mewakili 100% dari apa yang mereka ketahui tentang kita.
Meskipun kita memiliki pengalaman seumur hidup dengan diri kita sendiri (kita mengetahui seluruh rentang emosi, perilaku, hasrat, dan ketakutan kita), sedangkan orang asing sama sekali tidak tahu apa-apa tentang kita. Hanya sampel kecil dari diri kita, mereka secara tidak sadar akan berasumsi bahwa sampel tersebut adalah representasi akurat dari keseluruhan diri kita.
Begitupun juga tentang wanita dari kantor klinik gigi yang baru saja kita temui di awal cerita. Dia cerewet, lincah dan jeli pada saat itu. Tetapi karena itulah satu-satunya pengalaman yang kita miliki dengannya, kita akan berasumsi seperti itulah dia sepanjang waktu.
Kesan pertama seperti filter. Untuk lebih jelasnya, berikut inilah cara orang lain membentuk citra kita pada kesan pertama:
Orang menerima informasi awal, mereka memperhatikan bahasa tubuh kita, apa yang kita katakan dan bagaimana kita menanggapinya.
Berdasarkan informasi awal ini, mereka membentuk kesan dan membuat keputusan tentang seperti apa kita dan bagaimana mereka mengharapkan kita berperilaku di masa depan.
Mereka kemudian melihat kita melalui filter ini. Setiap orang suka berpikir bahwa mereka adalah penilai karakter yang baik, dan berpikir “Saya tahu sejak pertama kali saya bertemu dengannya bahwa dia adalah…” Mereka mencari informasi yang konsisten dengan kesan pertama mereka dan tidak akan mencari, atau bahkan akan mengabaikan, perilaku yang tidak sesuai dengan kesan mereka tentang kita.
The Psychology of First Impressions, artikel yang ditulis oleh Frank Schab, menjelaskan satu penelitian bahwa hanya perlu waktu satu kedipan mata untuk menilai orang lain dalam hal daya tarik dan kepercayaan. Selama tiga detik berikutnya, kita membentuk kesimpulan yang lebih “lengkap” tentang seorang kenalan baru yang berkaitan dengan kepribadian dan kompetensi mereka.
Jelas, dalam waktu sesingkat itu, kita belum benar-benar mengenal orang lain. Sebaliknya, kita telah menggunakan bias dan filter kognitif kita untuk membentuk “penilaian cepat” tentang seseorang, seperti yang mereka lakukan tentang kita.
Frank juga menuliskan bahwa sebagian besar komunikasi terjadi pada tingkat nonverbal. Artinya, faktor sensorik seperti penampilan, suara, dan penciuman kita mendorong sebagian besar kesan yang disampaikan saat kita bertemu seseorang yang baru. Bahasa tubuh berkali-kali lebih relevan daripada kata-kata yang kita ucapkan.
Di sisi lain, orang, disadari atau tidak, umumnya lebih menyukai orang lain yang mirip dengan dirinya dalam hal penampilan, kepribadian, sikap, keyakinan, dan perilaku. Perbedaan dalam penampilan, ucapan, dan perilaku kita cenderung memengaruhi kesan awal seseorang tentang kita (dan kita tentang mereka).
Dikutip kembali dari artikel ABC News, jika kita bertemu dengan seseorang yang tampak marah, kita mungkin mengira dia pada umumnya adalah orang yang pemarah. Kita mungkin tidak berhenti untuk mempertimbangkan apakah sesuatu baru saja terjadi yang membuatnya bertindak seperti itu. Mungkin seseorang baru saja memotongnya di jalan atau dia baru saja mendapat kabar buruk.
Hal ini adalah kesalahan mendasar yang kita semua buat. Kita cenderung melihat perilaku orang lain sebagai indikasi kepribadian, atau karakter mereka, dalam semua situasi, bukan hasil dari situasi eksternal sementara. Namun, itu bukan bagaimana kita cenderung melihat perilaku kita sendiri. Saat kita marah, kita mungkin menghubungkannya dengan situasi, bukan dengan sifat kepribadian kita.
Kesalahan lain yang dilakukan orang adalah berasumsi bahwa seseorang dengan satu sifat positif juga memiliki sekumpulan sifat positif lain yang mungkin tidak dia miliki. Misalnya, kita mungkin berasumsi bahwa seseorang yang tampak ceria juga cerdas, menyenangkan, dan sukses, meskipun kita belum pernah melihat bukti kualitas tersebut dalam dirinya. Ini disebut “halo effect”.
Adapun orang juga cenderung melihat sifat negatif dengan cara yang sama, yang kemudian disebut sebagai “horns effect”. Misalnya, kita mungkin berasumsi bahwa seseorang yang banyak mengeluh juga membosankan, tidak ramah, dan lemah.
Jika kita mampu memahami kesalahan persepsi yang umum ini, kita dapat lebih memahami bagaimana kesan orang lain terhadap kita pada pertemuan pertama. Dan kita bisa berada dalam posisi yang lebih baik untuk menampilkan citra diri kita yang akurat.
Do’s & Don’ts Kesan Pertama
Pada dasarnya, membuat pertemuan pertama agar berkesan baik cukup dengan berperilaku dan bertutur sopan. Sikap sopan berarti menyadari dan menghargai perasaan orang lain, yang mana sangat dibutuhkan untuk membangun suasana nyaman saat bertemu orang lain pertama kali.
Baca situasi. Meluangkan waktu sejenak untuk membaca situasi memberi kita waktu untuk menenangkan diri. Hal itu juga dapat memandu perilaku kita dengan memberikan informasi kontekstual tentang tingkat formalitas dan gaya bahasa.
Gunakan berbagai jenis mendengarkan. Memahami dan menggunakan berbagai jenis mendengarkan memungkinkan kita berkomunikasi dengan lebih efektif. Orang lain akan mengetahui apakah kita pendengar yang efektif atau tidak. Hal ini akan menambah kesan mereka terhadap kita.
Jadilah optimis. Menjadi optimis akan berkontribusi pada suasana yang positif. Orang-orang senang berada di sekitar orang-orang yang optimis. Rasa ceria akan memberikan efek positif pada kesan yang kita ciptakan.
Ajukan pertanyaan terbuka dan tertutup. Mengajukan pertanyaan terbuka (pertanyaan yang memiliki respon panjang) menunjukkan bahwa kita tertarik dan penuh perhatian. Misal, “Apa yang kamu sukai dari lingkungan tempat tinggalmu?”. Mengajukan pertanyaan tertutup (pertanyaan yang dapat dijawab dengan satu kata atau frasa singkat) menunjukkan bahwa kita fokus pada hal yang penting. Misal, “Di mana tempat tinggalmu?”. Dengan mengajukan campuran pertanyaan terbuka dan tertutup, kita menunjukkan kepada orang lain bahwa kita memiliki keterampilan ini, yang membangun kesan pertama yang positif.
Jangan Lakukan:
Menjadi sombong. Hal ini sering terjadi akibat terlalu banyak bicara dan tidak cukup mendengarkan. Ini menimbulkan kesan bahwa kita tidak tertarik pada orang lain atau apa yang mereka katakan.
Menginterupsi ketika orang lain berbicara. Dalam banyak budaya, menyela seseorang dianggap sangat tidak sopan. Tidak hanya menyampaikan bahwa kita tidak benar-benar mendengarkan, tetapi sering kali membuat orang terganggu. Hal ini juga menciptakan kesan bahwa kita lebih tertarik mendengar diri kita berbicara dan lebih menghargai pendapat kita sendiri daripada orang lain.
Terus-menerus sibuk pada ponsel. Sesekali, kita semua harus melakukan detoksifikasi digital untuk mengatasi ketergantungan perangkat kita. Jika terus-menerus menggunakan ponsel, kita menciptakan kesan bahwa kita tidak memperhatikan. Hal ini juga menunjukkan bahwa kita tidak tertarik pada orang lain.
Berusaha terlalu keras. Seringkali perilaku ini terlihat jelas dan membuat kita tampak tidak tulus. Hal itu dapat menciptakan kesan bahwa kita siap melakukan hampir semua hal untuk menciptakan kesan yang baik, meskipun itu berarti melebih-lebihkan kemampuan kita. Jadilah diri sendiri dengan versi terbaik yang kita miliki.
“If people’s first impression of you is that you are friendly, competent, and trustworthy, they are more likely to feel comfortable around you.”
Intinya, kesan pertama adalah kesimpulan yang kita tarik saat bertemu seseorang untuk pertama kalinya. Kita membentuk opini ini dengan cepat; menerima informasi tentang seseorang, termasuk wajah, pakaian, postur, dan nada suaranya.
Begitu kesan itu terbentuk, sangat sulit untuk mengubahnya. Jika kita pernah mengatakan hal yang salah, membuat kesalahan, atau tiba di tempat kerja terlambat, orang lain cenderung menganggap itulah sifat kita sebenarnya. Informasi awal yang “negatif” dipandang lebih valid.
Untuk itu, jika kita tahu bahwa orang lain akan berasumsi bahwa persentase kecil dari kita yang pertama kali mereka amati mencerminkan 100% kepribadian kita, maka kita dapat berhati-hati dengan informasi apa yang akan kita sajikan.
Mengetahui bahwa orang cenderung menganggap kita memiliki sekelompok sifat berdasarkan satu perilaku, kita mungkin ingin memilih kelompok sifat yang akan kita tempatkan. Dengan kata lain, jika kita tahu bagaimana kita akan dianggap dan dikategorikan, kita dapat lebih mengontrol kesan yang kita buat dan memastikan bahwa itu mewakili diri kita yang sebenarnya.
Add a comment