Setiap malam sekitar pukul 11, Rachel Thompson terbaring sendirian dengan pikirannya, merenungkan hal terburuk tentang dirinya. Dia tahu dia seharusnya melakukan sesuatu yang membuatnya lebih tenang seperti menghitung domba. Alih-alih, malam demi malam, dia berbaring terjaga dalam kegelapan, menghadap ke dinding, mengkhawatirkan apa yang orang pikirkan tentang dirinya.
Seolah-olah membalik halaman buku yang sangat membosankan, Rachel mengulik kekurangannya sebagai teman (pesan teks yang dia campakkan, ulang tahun yang dia lupakan, momen keluar malam yang dia lewatkan). Begitu malam tiba, dia merenungkan bagaimana dia mungkin telah mengecewakan keluarganya, melupakan panggilan kepada kerabatnya yang lanjut usia, dan jarang menjalin hubungan dengan keluarga besar lainnya.
Namun, ketika pikiran-pikiran itu bergulir, terutama dalam tulisannya sendiri, suasana hatinya semakin suram. Dia mulai membayangkan segala kemungkinan kritik yang bisa datang dari siapa saja, dan meyakinkan dirinya bahwa rekan-rekannya akan memandangnya dengan sudut pandang tersebut.
Setiap interaksi kecil dengan orang asing kembali menghantuinya, apakah dia tadi terlalu kasar kepada pria yang menyenggolnya di jalan? Haruskah dia lebih bersahabat saat memesan secangkir kopi di restoran? Pikiran-pikiran ini tidak muncul begitu saja saat Rachel mencoba untuk tertidur.
Di balik setiap pesan yang dia kirimkan kepada pria di aplikasi kencan, dia bertanya-tanya apakah menolak tawaran kencan mendadak akan membuatnya terlihat egois. Saat dia mengirim sebuah cuitan di Twitter, kekhawatirannya berkembang, mempertanyakan apakah nada tulisannya terlalu tajam, terlalu ringan, atau terlalu mudah ditebak.
Di dunia Instagram, Rachel cemas bahwa teks dan ceritanya tak cukup menggelitik, dan bahwa postingan selfienya berlebihan, menggambarkan dirinya sebagai seseorang yang terlalu terobsesi pada diri sendiri. “Kamu memang harus berhenti memedulikan pendapat orang lain tentangmu,” kata seorang mantan bosnya.
Tapi ironisnya, dia berharap bahwa segalanya bisa sesederhana itu. “Bilang saja bagaimana caranya!”, Rachel mengharapkan dirinya telah mengucapkannya saat itu. Sejujurnya, dia berkeinginan untuk menemukan tombol dalam pikiran yang bisa dia tekan untuk mengurangi rasa peduli terhadap pandangan orang lain tentangnya, tetapi kenyataannya tidak sesederhana itu.
Membongkar kebutuhan akan persetujuan dari orang lain memang memerlukan usaha yang besar. Pada akhir tahun 2019, Rachel meraih titik puncak ketidakberdayaannya, berulang kali mengulang kalimat pada diri sendiri bahwa, “Kamu harus berhenti peduli dengan apa yang orang pikirkan.” Meski dia memberi diri peringatan, dampaknya terhadap pikiran-pikiran itu masih terbatas dan sulit dihentikan.
‘‘If you’re often or constantly afraid of what other people think of you, it may be difficult to live your life the way that you want.’’
Apa yang Membentuk FOPO?
Artikel FOPO or Fear Of Other People’s Opinions, yang ditulis oleh Jane Ellis menyebutkan bahwa Fear Of People’s Opinions (FOPO) adalah ketakutan terhadap apa yang orang lain pikirkan tentang kita pada saat kita melakukan atau mengatakan sesuatu.
Meskipun mungkin terasa seperti perasaan yang normal dan familiar, hal ini dapat menimbulkan efek yang melumpuhkan bagi kebanyakan orang. Menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu hanya karena kita takut dengan apa yang orang lain pikirkan tentang kita, berarti membatasi dunia kita pada gagasan orang lain tentang apa yang seharusnya dilakukan.
Kita telah mengalami banyak kemajuan sejak masa kesukuan, namun dalam dua dekade terakhir, media sosial telah menambah banyak tekanan sosial yang membuat orang ingin “menyesuaikan diri”. Terlebih lagi, ketika ketakutan akan penolakan sosial muncul, kita takut akan dikeluarkan dari lingkaran kepercayaan kita, bahwa orang-orang tidak lagi mencintai kita, dan akhirnya, kita akan ditinggalkan sendirian selamanya.
Ketakutan ini terwujud dalam ungkapan-ungkapan seperti:
“Jika aku melakukan itu, orang akan mengira aku adalah…”
“Ini bukan saat yang tepat untuk mengatakan itu, mereka akan berpikir aku juga…”
“Pasti hanya aku yang memikirkan hal yang tidak masuk akal lagi…”
Ribuan tahun yang lalu, jika tanggung jawab atas kegagalan perburuan berada di pundak kita, maka posisi kita dalam suku bisa terancam. Keinginan untuk menyesuaikan diri dan ketakutan akan tidak disukai melemahkan kemampuan kita untuk mengejar kehidupan yang ingin kita ciptakan.
Jika kita mulai semakin tidak memberi perhatian pada apa yang membuat kita menjadi diri sendiri (bakat, keyakinan, dan nilai-nilai kita), dan mulai menyesuaikan diri dengan apa yang dipikirkan atau tidak dipikirkan orang lain, kita akan merusak potensi diri kita sendiri.
Kita akan mulai bermain aman karena takut dengan apa yang akan terjadi di balik kritik tersebut. Kita akan takut diejek atau ditolak. Saat ditantang, kita akan menyerahkan sudut pandang kita. Tidak akan mengangkat tangan jika kita tidak dapat mengontrol hasilnya. Kita tidak akan mengikuti promosi karena kita merasa tidak memenuhi syarat.
Meskipun saat ini mungkin kita tidak perlu suku untuk bertahan hidup, kita masih memerlukan orang lain untuk stimulasi dan persahabatan. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga memberi perhatian pada pendapat orang lain tentang kita adalah sesuatu yang sepenuhnya alami dan sulit dihindari.
Satu studi tentang brain imaging menunjukkan adanya reaksi biologis (respon kimia dalam otak) terhadap umpan balik positif dan negatif dari orang lain. Rasa takut akan penilaian negatif terutama terasa kuat bagi orang-orang yang memiliki kecemasan sosial. Orang dengan harga diri rendah dan mereka yang tumbuh tanpa dukungan emosional juga lebih cenderung terlalu peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain tentang diri mereka.
Bagaimana Menghentikan FOPO?
Dikutip kembali dari tulisan Michael, jika kita mengalami FOPO, ada beberapa cara untuk mengurangi intensitas respon stres kita. Setelah menyadari pemikiran kita, arahkan diri ke arah pernyataan yang membangun kepercayaan diri:
Aku seorang pembicara publik yang baik;
Aku telah bekerja keras sehingga dapat memercayai kemampuanku;
Aku memiliki banyak hal hebat untuk dikatakan;
Aku sepenuhnya siap untuk promosi ini.
Pernyataan-pernyataan ini akan membantu kita fokus pada keterampilan dan kemampuan daripada pendapat orang lain. Tarik napas dalam-dalam juga akan memberi sinyal pada otak bahwa kita tidak berada dalam bahaya.
Namun, jika kita benar-benar ingin menaklukkan FOPO, kita perlu lebih meningkatkan kesadaran diri. Sebagian besar dari kita menjalani hidup dengan pemahaman umum tentang siapa diri kita, dan dalam banyak situasi, itu sudah cukup. Namun, jika kita ingin menjadi yang terbaik dan tidak terlalu takut terhadap pendapat orang lain, kita perlu mengembangkan perasaan yang lebih kuat dan lebih dalam tentang siapa diri kita.
Kita bisa mulai dengan mengembangkan filosofi pribadi, yakni sebuah kata atau frasa yang mengungkapkan keyakinan dan nilai dasar kita. Filosofi pribadi Pete Carroll, mitra bisnis Michael adalah “Selalu bersaing.” Bagi Pete, selalu bersaing berarti menghabiskan setiap hari bekerja keras untuk menjadi lebih baik dan mencapai potensi maksimalnya.
Filosofi ini bukanlah sebuah basa-basi atau slogan. Sebaliknya, itu adalah kompasnya, yang memandu tindakan, pemikiran, dan keputusannya. Sebagai pelatih, seorang ayah, seorang teman, di setiap bidang kehidupan. Saat mengemukakan filosofi pribadi, tanyakan pada diri kita serangkaian pertanyaan:
Saat aku dalam kondisi terbaik, keyakinan apa yang ada di balik pikiran dan tindakanku?
Siapakah orang-orang yang menunjukkan karakteristik dan kualitas yang sejalan denganku?
Apa saja kualitas-kualitas itu?
Apa kutipan favoritku? Kata-kata favoritku?
Setelah kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, lingkari kata-kata yang menurut kita menarik dan coret kata-kata yang tidak kita sukai. Setelah mempelajari apa yang tersisa, cobalah untuk menemukan frasa atau kalimat yang sesuai dengan siapa kita sebenarnya dan bagaimana kita ingin menjalani hidup.
Bagikan draf tersebut dengan orang tersayang, mintalah masukan, dan sempurnakan filosofi kita dari sana. Kemudian komit ke memori dan kembali ke sana setiap hari. Menyusun filosofi pribadi bisa menjadi latihan yang membuka mata dan sangat ampuh.
Ketika Michael melatih tim eksekutif, dia sering meminta mereka menuliskan filosofi pribadi mereka dan membagikannya kepada kelompok. Michael tidak akan pernah melupakan saat seorang eksekutif senior membuat kagum semua orang di ruangan itu. Saat air mata menggenang, dia menegakkan punggungnya, mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, dan berkata, “Filosofiku adalah berjalan dengan bermartabat.”
Dia mengatakan kepada rekan-rekannya bahwa orang tuanya adalah imigran yang telah bertahan melalui keadaan sulit untuk memastikan dia memiliki peluang yang lebih baik. Karena kerja keras dan pengorbanan orang tuanya, dia menganggap sudah menjadi kewajibannya menjalani hidup seolah lambang keluarganya terpampang di dadanya. Setiap hari, dia berusaha untuk menjadi layak atas perbuatan baik mereka, dan menjadi teladan bagi generasi berikutnya.
Setelah kita mengembangkan filosofi pribadi kita, berkomitmenlah untuk hidup sesuai dengan prinsip-prinsipnya. Mulailah di rumah, katakan pada mereka bahwa kita mencintainya. Menari di pesta pernikahan. Mengambil resiko. Bersikaplah aneh dengan hormat (Itu mungkin berarti, jadilah diri kita). Kemudian cobalah di tempat kerja. Berikan sebuah presentasi. Pergi untuk promosi. Lakukan hal-hal yang akan menimbulkan pendapat orang lain.
Ketika kita merasakan kekuatan FOPO menghambat kita, akui saja hal itu, dan hubungkan kembali dengan filosofi kita dan tujuan yang lebih besar yang ada. Yang terpenting, ingatlah bahwa pertumbuhan dan pembelajaran terjadi ketika kita beroperasi pada batas kapasitas kita.
Ibarat meniup balon yang hampir melambung, hidup sesuai dengan filosofi pribadi kita akan membutuhkan lebih banyak usaha dan tenaga. Namun hasilnya, yaitu mengekspresikan siapa diri kita secara autentik dan artistik, akan mendorong kita untuk hidup dan bekerja dengan lebih banyak tujuan dan makna.
Dirangkum juga dari tulisan Jane, bahwa ketika FOPO sudah menjadi masalah untuk kita, merasa melumpuhkan dan mengubah kita menjadi versi diri kita yang tidak bermutu. Membuat kita menahan diri saat kita bisa berbicara, menyerah saat kita bisa melakukannya, dan menundukkan kepala saat kita bisa unggul. Berikut ini adalah 3 strategi yang dapat kita lakukan sebelum FOPO menghentikan kita untuk menjadi versi terbaik dari diri kita:
1: Menari seperti tidak ada yang melihat
Yang pertama adalah kalimat di atas, “menari seperti tidak ada yang melihat”. Ini tidak harus diterapkan pada ‘menari’, tetapi kita dapat menggunakannya sebagai metafora untuk bertindak seolah-olah tidak ada orang di sekitar kita yang menilai tindakan kita. Dengan cara ini, kita akan sepenuhnya menjadi apa yang kita inginkan dan bukan versi diri kita yang dibatasi oleh apa yang menurut kita akan dipikirkan orang lain.
Sebuah contoh:
Katakanlah kita berada di kelas kreatif dan mempunyai satu ide luar biasa. Karena sangat bagus ide itu, sehingga merupakan perpaduan antara keterlaluan dan menakjubkan. FOPO kita akan berkata, “Itu adalah ide yang bodoh, jika kamu mengatakannya dengan lantang, mereka akan mengira kamu sudah gila.” Jika kita menghentikan pemikiran tersebut dan menerapkan moto “menari seperti tidak ada orang yang melihat,” kita mungkin akan merevolusi kelas dan memberikan kesan positif sebagai orang yang kreatif, berani, dan menarik.
2: Hentikan otak kita, jalani momen “saat ini”
Sering kali, bukan pendapat sebenarnya dari orang lain yang terlibat dalam FOPO, namun versi kita sendiri. Dengan kata lain, kita melakukan futurologi dan mencoba menebak apa yang akan mereka katakan atau lakukan jika kita mengatakan atau melakukan apa yang kita inginkan.
Terlepas dari seberapa akurat versi dunia luar ini menurut kita, versi ini selalu terdistorsi karena kita tidak pernah tahu sebelumnya apa yang akan terjadi. Oleh karena itu, kita harus memusatkan perhatian pada ‘‘saat ini’’ dan melupakan hasil dan persepsi mereka terhadap hal tersebut. Hidup di momen “saat ini”, melupakan pengalaman masa lalu, dan menjauhi pengandaian masa depan adalah cara yang bagus untuk melawan FOPO.
Sebuah contoh:
Contoh yang bagus untuk menunjukkan hal ini adalah apa yang terjadi dalam keluarga kita. Katakanlah kita adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Dulu kita adalah orang yang pendapatnya tidak pernah didengarkan karena menjadi yang termuda. Oleh karena itu, kita menginternalisasi peran ini dalam struktur dan menjadikan saudara-saudari kita sebagai hakim utama atas perkataan kita.
Bagaimana jika kita bisa berhenti memikirkan masa lalu dan masa depan dan hanya mengutarakan pendapat kita? Hal ini mungkin mengubah persepsi mereka terhadap kita dan membuka pintu menuju hubungan keluarga yang lebih sehat.
3: Tanyakan pada diri kita apa skenario terburuk dan terbaiknya
Terakhir, hal yang sangat umum terjadi pada FOPO adalah mengambil semua konsekuensi secara ekstrem dan berpikir bahwa ini adalah akhir dunia seperti yang kita ketahui. Memang benar bahwa beberapa orang menderita FOPO yang begitu kuat sehingga mereka merasa tidak mampu menghadapi konsekuensi paling kejam yang terlintas dalam pikiran mereka.
Pada saat seperti itu, tanyakan pada diri kita “Apa skenario terburuknya?” Selanjutnya, tanyakan juga pada diri kita “Apa skenario terbaiknya?”. Kemudian, buatlah keputusan secara dewasa dengan menjawab pertanyaan berikut “Apakah layak mengambil risiko skenario terburuk untuk mencapai skenario terbaik?”. Jika jawabannya ya, maka ini dia!
Sebuah contoh:
Senin pagi, saat rapat dewan, kita berada di sana untuk pertama kalinya. Kita melihat kesalahan dalam presentasi yang dapat menimbulkan akibat yang sangat buruk bagi perusahaan. Yang berbicara adalah atasan kita. FOPO kita memberi tahu kita, “Jika kamu angkat bicara sekarang, dia tidak akan pernah mempercayaimu lagi dan ini akan menjadi rapat dewan terakhirmu.”
Ini jelas merupakan skenario terburuk. Jadi, secara strategis, tanyakan pada diri kita skenario apa yang terbaik. Mungkin, “Dia akan merasa kamu menyelamatkannya hari ini dan kamu tidak hanya akan mendapatkan kepercayaannya tetapi juga seluruh tim.” Apakah layak untuk mengambil risiko? Itu adalah keputusan yang harus kita ambil (menjauh dari suara FOPO).
“Don’t be afraid to do something just because you’re scared of what people are going to say about you. People will judge you no matter what.”
Menghabiskan terlalu banyak waktu dan energi untuk khawatir tentang apa yang dipikirkan orang lain memang merugikan citra diri dan kesehatan mental kita. Menganggap pendapat orang lain sebagai kebenaran bisa mengarah pada siklus berbahaya dari ketidakamanan dan kerentanan. Belum lagi faktanya, orang-orang akan terus menilai dan mengomentari hidup kita, tidak peduli apakah itu benar atau tidak.
Ini adalah perjalanan seumur hidup, bukan transformasi instan yang terjadi dalam semalam. Jadi, berbaik hatilah dan maafkan diri kita jika jatuh kembali ke dalam siklus FOPO ini. Namun, dalam hidup tidak ada hal yang selamanya buruk, selalu ada hal baik dalam segala sesuatu. Menurut penelitian yang dikutip dari tulisan Viktor Sander, berjudul How To Not Care What People Think (With Clear Examples), bahwa harga diri manusia akan meningkat seiring bertambahnya usia, mencapai puncaknya sekitar usia 60 tahun.
Temuan ini mungkin berarti bahwa ketika kita bertambah tua, kita lebih menghargai dan menerima diri kita sendiri. Akibatnya, kita mungkin kurang peduli tentang apa yang dipikirkan orang lain. Saat kita tidak lagi terlalu memedulikan apa yang orang pikirkan tentang kita, mungkin akan lebih mudah untuk merasa percaya diri dan santai dalam situasi sosial. Kita mungkin juga merasa lebih aman saat membuat keputusan.
Dalam beberapa kasus, peduli tentang bagaimana tindakan kita memengaruhi orang di sekitar, memainkan peran penting dalam menjaga hubungan yang bermakna. Kita akan peduli jika tanpa sadar menyakiti teman atau anggota keluarga. Meskipun ini mungkin menyebabkan keresahan sementara, menyesuaikan tindakan kita untuk memperbaiki hubungan pada akhirnya sangat berharga.
Dengan begitu, peduli dengan apa yang dipikirkan orang ternyata tidak selalu tidak berguna. Sekali lagi, akan selalu ada hal baik dalam segala sesuatu. Jadikan diri kita manusia bermartabat yang tulus mendengarkan orang lain terlebih dahulu, selanjutnya kita bisa menilainya secara dewasa. Abaikan pendapat buruk yang merugikan, jadikan pendapat yang baik sebagai renungan. Karena apa yang terbaik untuk diri kita, hanya kita sendiri yang akan tahu.
Add a comment