Suatu hari saat tengah bekerja, seorang teman tiba-tiba mengirimkan pesan. “Di mana? aku ingin bertemu”, katanya, disusul emoji seekor bebek menitikkan air mata yang nampak menggambarkan suasana hatinya saat itu. Panjang lebar akhirnya dia bercerita. Perasaan hancur, sedih, marah, dia ungkapkan dengan sebenar-benarnya.
Senang memang bisa ada untuk teman dan mendengarkan keluh-kesah mereka. Namun, mengapa orang-orang terkadang dengan mudah bisa menceritakan masalah pribadinya kepada orang lain? Bahkan fenomena tersebut mungkin tidak asing kita temukan di sosial media sekarang ini.
Sampai saya tersadar pada satu titik yang cukup geram dengan satu keadaan. Berceritalah saya ke salah satu teman. Tepat selesai semua perasaan saya utarakan, tiba-tiba saya terdiam. Ada satu sentilan yang cukup membuat saya berpikir bahwa sepertinya saya sedang mencari pembenaran.
Alih-alih menumpahkan segala kekesalan melalui teman. Rupanya saya hanya ingin perasaan saya diamini. Keinginan bahwa teman saya harusnya setuju, memahami dan mendukung segala apa yang saya rasakan, bahwa persepsi saya benar, emosi saya sah. Bahkan saat saya tahu secara rasional emosi dan perilaku saya memang tepat, pembenaran teman saya itulah sesungguhnya yang saya butuhkan.
Perasaan Aman Saat Emosi Divalidasi
Kristalyn Salters dalam tulisannya, What Is Emotional Validation?, bahwa validasi emosional melibatkan pemahaman dan menunjukkan penerimaan untuk perasaan orang lain. Ketika orang menerima validasi jenis ini, mereka merasa bahwa emosi mereka tidak hanya dilihat dan didengar oleh orang lain tetapi perasaan ini juga diterima.
Jika seseorang merasa bahwa pikiran, perasaan, dan emosinya tidak didengar dan dipahami, mereka mungkin akan merasa terisolasi dan tidak didukung. Dalam beberapa kasus, invalidasi emosional bahkan dapat berkontribusi pada timbulnya kondisi psikologis termasuk Borderline Personality Disorder (BPD).
Validasi emosional adalah proses belajar tentang memahami dan mengekspresikan penerimaan pengalaman emosional orang lain. Validasi emosional berbeda dari invalidasi emosional, dimana pengalaman emosional orang lain ditolak, diabaikan, atau dihakimi.
Fraya dalam tulisannya, The Unbelievable Need of A Validation, menyebutkan bahwa memvalidasi bukan tentang memaksa diri kita untuk memihak. Ini lebih merupakan ekspresi emosional untuk menerima perasaan mereka yang sebenarnya. Sebuah penyambutan atas rasa sakit, kesedihan, kebingungan, dan kemarahan, dengan mengatakan, “Tidak apa-apa. Aku mengerti.”
Hal ini tidak pernah tentang membenarkan perilaku seseorang, dan tentu saja tidak pernah tentang memperbaikinya dengan solusi. Kita hanya harus ADA. Itu sebabnya, kunci pertama untuk validasi adalah hadir. Berada di sana tidak hanya secara fisik, tetapi secara keseluruhan secara emosional.
Ketahuilah bahwa memvalidasi pengalaman emosional seseorang tidak selalu berarti setuju dengannya atau kita pikir mereka benar. Kita dapat mengomunikasikan bahwa emosi seseorang itu valid tanpa menyukai emosi tersebut. *Ingat, emosi berbeda dengan perilaku*
Hindari bersikap defensif atau menawarkan nasihat yang tidak diminta. Jika kita adalah sasaran emosi tersebut, cobalah untuk menerima tanggung jawab setidaknya untuk sebagian kecil dari keluhan tersebut. Jika kita memiliki ide tentang bagaimana memecahkan masalah mereka, tanyakan: “Apakah kamu ingin bantuanku dengan masalah ini?” Jika jawabannya “Tidak”, fokuslah untuk mendengarkan.
Pemahaman harus mendahului intervensi. Untuk benar-benar mendengarkan seseorang berarti kita mencoba memahami posisi mereka. Semakin dalam kita memahami permasalahan mereka, semakin kita dapat memvalidasi emosi mereka. Hal ini bukan berarti kita perlu mencampuri urusan mereka secara berlebihan.
Merefleksikan perasaan. “Aku bisa melihatmu benar-benar kesal.”
“Hal ini pasti sangat menyakitkan.”
Ringkaslah pengalaman itu. “Aku benar-benar mengerti bahwa kamu kesal karena saya datang terlambat dan tidak bertanggung jawab.”
“Ini pasti sangat menyakitkan, sangat menyedihkan memang mengalami kehilangan seperti itu.”
Kristalyn menjabarkan beberapa langkah dalam satu skenario yang mungkin bisa membantu kita lebih mudah memvalidasi pikiran dan perasaan kita sendiri.
Pertama: Identifikasi dan Akui Emosinya
Saat kita memvalidasi respon emosional, langkah pertama adalah mengakui emosi yang dimiliki orang lain. Ini bisa jadi sulit jika orang lain belum mengomunikasikan perasaannya dengan jelas, jadi kita mungkin harus menanyakan apa yang mereka rasakan, atau menebak dan kemudian bertanya apakah kita benar.
Bayangkan pasangan kita marah kepada kita. Ketika kita pulang kerja, dan dia tiba-tiba sangat marah (bahkan jika tidak secara eksplisit dia menyatakannya).
Jika pasangan kita telah menyampaikan bahwa dia merasa marah, misalnya, kita bisa mengakui bahwa dia merasa seperti itu: “Aku mengerti kamu marah.”
Namun, jika mereka belum mengomunikasikan hal ini, tetapi mereka tampak marah, kita dapat mengatakan, “Kamu tampak sangat marah. Apakah benar itu yang terjadi?”
Kedua: Akui Sumber Emosi
Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi situasi atau isyarat yang memicu emosi. Tanyakan kepada orang tersebut apa yang menyebabkan tanggapan mereka. Misalnya, kita dapat mengatakan, “Apa yang membuat kamu merasa seperti itu?”
Pasangan kita mungkin tidak dapat mengomunikasikan hal ini dengan jelas. Mereka bahkan mungkin tidak mengerti apa yang sedang terjadi, atau mereka mungkin tidak mau mengungkapkan apa yang memicu emosi tersebut.
Dalam hal ini, kita mungkin hanya perlu mengakui bahwa ada sesuatu yang tampaknya membuat mereka kesal, dan bahwa kita ingin tahu apa yang terjadi, tetapi sulit untuk mengetahui situasinya tanpa pemahaman yang jelas.
Ketiga: Validasi Emosi
Bayangkan pasangan kita dapat mengomunikasikan sumber emosinya: Dia menjawab bahwa dia marah karena kita terlambat 15 menit pulang kerja.
Mungkin bagi kita, tingkat kemarahan mereka tampaknya tidak beralasan mengingat situasinya. Kita masih dapat memvalidasi perasaan mereka dengan mengomunikasikan bahwa kita menerima apa yang mereka rasakan (bahkan jika kita tidak menyetujui alasan mereka).
Misalnya, kita mungkin hanya mengatakan, “Aku tahu kamu sedang marah karena aku terlambat 15 menit untuk pulang. Bukan maksudku untuk membuat kamu marah. Aku terjebak dalam lalu lintas. Tapi aku bisa mengerti bahwa menungguku membuatmu kesal.”
Kita tidak perlu meminta maaf atas perilaku kita jika kita tidak merasa melakukan kesalahan. Dengan mengakui perasaan yang dimiliki pasangan, kita sebenarnya dapat meredakan situasi.
“Validation. It says I hear you. I see you. I get it. I care about your feelings.”
Menurut Kristalyn, ingatlah bahwa memvalidasi emosi seseorang tidak berarti kita pasrah diperlakukan dengan buruk. Jika seseorang berperilaku tidak pantas atau agresif, menjauhkan diri dari situasi tersebut adalah pilihan terbaik kita.
Beri tahu mereka bahwa kita ingin dapat berbicara tentang situasinya, tetapi kita tidak dapat melakukannya secara produktif sampai mereka dapat berkomunikasi dengan lebih tenang, jadi kita akan kembali lagi nanti ketika waktunya sudah tepat.
Penting juga untuk diingat bahwa memvalidasi emosi seseorang biasanya tidak akan membuat emosi itu hilang. Ini dapat meredakan situasi, dan jarang memperburuk situasi, tetapi tidak berarti seseorang akan segera merasa lebih baik.
Perasaan Membekas saat Emosi Tidak Divalidasi
Dr. Jamie menuliskan bahwa menurut definisi, invalidasi emosi adalah proses menyangkal, menolak atau mengabaikan perasaan seseorang. Invalidasi mengirimkan pesan bahwa pengalaman emosional subjektif seseorang tidak akurat, tidak signifikan, atau tidak dapat diterima.
Invalidasi adalah salah satu bentuk pelecehan emosional yang paling merusak dan dapat membuat penerima merasa seperti orang gila. Apa yang menakutkan, hal itu bisa menjadi salah satu pelecehan yang paling halus dan tidak disengaja. Orang yang emosinya tidak divalidasi akan sering meninggalkan percakapan dengan perasaan bingung dan penuh keraguan.
Beberapa individu secara sadar menginvalidasi orang lain sebagai bentuk manipulasi, kontrol, dan cedera psikologis. Penjelasan yang mungkin (selain psikopati) adalah rendahnya kapasitas empati dan kasih sayang, tidak memahami atau menghargai pentingnya validasi, dan tidak tahu bagaimana mengekspresikannya secara efektif.
Orang lain mungkin melakukan invalidasi ini secara tidak sengaja. Invalidator yang bermaksud baik sering kali mempertahankan bahwa tujuannya adalah untuk membantu seseorang merasa lebih baik atau berbeda, untuk emosi yang mereka nilai sebagai emosi yang lebih akurat dan lebih valid.
Dalam tulisan Brittany Carrico, What Is Emotional Invalidation? disebutkan pula bahwa orang sering membuat emosi seseorang tidak valid karena mereka tidak dapat memproses emosi orang tersebut. Mereka mungkin disibukkan dengan masalah mereka sendiri atau tidak tahu bagaimana merespon pada saat itu.
Invalidasi sendiri juga tidak selalu secara verbal. Hal ini dapat melibatkan tindakan non-verbal seperti memutar mata, mengabaikan orang tersebut, atau memainkan ponsel saat seseorang sedang berbicara.
Ketidaksahan emosional dari diri sendiri atau dari orang lain sering kali dapat menyebabkan perasaan tidak berharga dan isolasi diri. Perasaan ini kemudian dapat memengaruhi kehidupan kita sehari-hari baik itu di tempat kerja, di rumah, dan dalam hubungan.
Adapun sejumlah konsekuensi yang disebabkan invalidasi yakni:
Masalah mengelola emosi: Ketidaksahan emosional dapat menyebabkan kebingungan, keraguan diri, dan ketidakpercayaan pada emosi sendiri. Hal ini mengomunikasikan bahwa pikiran dan perasaan batin kita “salah.” Dengan paparan berulang, kita mungkin mulai tidak mempercayai validitas pengalaman pribadi kita sendiri.
Masalah dengan identitas pribadi: Orang yang merasa emosinya tidak valid, sering kali menyembunyikan emosinya dan mengembangkan self-esteem yang rendah.
Masalah kesehatan mental: Ketidaksahan emosional dapat menyebabkan seseorang mengembangkan kondisi kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan. Jika kita sudah memiliki kondisi kesehatan mental, itu mungkin membuat gejala kita menjadi lebih buruk.
“You’re not crazy. Your feelings are valid and real.”
Memahami validasi dan invalidasi emosi memang terdengar mudah. Namun pada praktiknya kita sering lupa. Alih-alih ingin memberikan validasi, kita justru melontarkan invalidasi itu sendiri. Namun dengan mengetahuinya dan bagaimana mengenalinya, dapat membantu kita belajar untuk menghadapi dengan lebih baik ketika hal tersebut muncul.
Ingatlah pula bahwa bukan tugas kita untuk menghilangkan perasaan seseorang, meskipun kita mungkin memilih untuk mendukung. Sebaliknya, mengakui dan memvalidasi emosi dapat membantu mereka menemukan cara mereka sendiri untuk mengatur emosinya. Satu hal yang kita tahu pasti bahwa terlepas dari sumber muasalnya, emosi seseorang adalah satu hal yang nyata dan sah seperti apa adanya. Semoga bermanfaat, kawan!
Add a comment