Di momen paling jujur dalam hidupnya, Jane takut jika menikah dengan orang yang salah. Suaminya (John) bukanlah orang yang sangat sensitif atau teliti, tidak seperti yang diinginkannya.
Jane berharap suaminya akan mulai membantu membersihkan meja setelah makan malam. Mereka telah melakukan percakapan serius pada malam sebelumnya dan benar-benar menjelaskan mengapa Jane membutuhkan bantuan dan memintanya untuk melakukan hal tersebut.
Setelah percakapan, Jane percaya bahwa kali ini suaminya akan berubah dan akan mulai membantunya dalam pekerjaan rumah. Semua ini terlepas dari kenyataan bahwa selama pengalaman 20 tahun pernikahan, John tidak akan pernah melakukannya.
Ketika John kembali gagal membantu, Jane kecewa dan frustrasi dengannya. Sementara dia tidak pernah marah padanya secara terang-terangan, Jane mendapati dirinya menjadi lebih membenci John, yang sering keluar dalam bentuk komentar pasif-agresif dan kurangnya keintiman.
Terlebih lagi, dia mendapati dirinya yang sudah kecewa dan frustrasi tapi sedikit malu dengan dirinya sendiri karena jatuh cinta dan memaafkan John kembali.
Pola ini berlanjut untuk waktu yang lama: mengharapkan suaminya untuk berubah, suaminya tetap sama, dan dia merasa tidak suka dengan hal itu. Sedangkan hubungan mereka terus memburuk (John tidak membersihkan meja setelah makan malam bukanlah satu-satunya sumber perselisihan pernikahan mereka).
Kebenaran yang tidak menyenangkan yang akhirnya dihadapi Jane adalah bahwa dia telah menikah dengan orang yang salah. Tragisnya, Jane telah menghabiskan 20 tahun lebih untuk mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa suaminya adalah orang yang berbeda dengan mengharapkan bahwa dia akhirnya akan berubah.
Kenyataannya, ekspektasi itu hanyalah cara Jane untuk menghindari kebenaran yang menyakitkan: dia telah menikah dengan orang yang salah. Yang berarti bahwa dia harus menerima siapa dia (kesalahan dan semuanya) atau keluar dari hubungan, yang keduanya merupakan pilihan yang menakutkan.
Jane sangat menginginkan kendali atas sesuatu yang pada dasarnya tidak bisa dia kendalikan (kurangnya kesadaran John). Adapun ekspektasinya hanya memberi sedikit kelegaan yang bersifat sementara dan keyakinan palsu bahwa segala sesuatunya akan berubah. Hal itu selalu menyebabkan rasa sakit hati yang lebih besar pada akhirnya.
‘‘When expectations are not met, it can lead to feelings of disappointment, frustration, and even anger.’’
Ekspektasi sebagai Mekanisme Pertahanan
Hold on to hope: let go of expectation, artikel yang ditulis oleh Nick Wignall menyebutkan bahwa sangat sering kita tanpa sadar menggunakan ekspektasi sebagai mekanisme pertahanan untuk menghindari ketidakberdayaan dan kurangnya kontrol. Seperti kebanyakan bentuk penghindaran, apa yang terasa baik sekarang, seringkali menyebabkan perasaan yang lebih buruk di kemudian hari.
Pada cerita Jane, ilusi kontrol adalah bentuk penipuan diri yang bertujuan untuk menghindari pilihan sulit, seperti menerima rasa sakit dari situasi yang sulit atau membuat pilihan sulit untuk serius mengubah hidup kita secara drastis.
Ketika kita menceritakan kepada diri sendiri sebuah kisah tentang bagaimana seharusnya, atau bagaimana orang lain harus bertindak, itu membuat kita merasa memiliki kontrol lebih dari yang kita lakukan. Perasaan kontrol ini untuk sementara mengurangi rasa sakit karena tidak berdaya. Tapi ini hanyalah penghindaran, cara untuk menunda menerima kenyataan yang menyakitkan atau membuat pilihan yang sangat sulit.
Ingatlah bahwa Jane mempertahankan ekspektasi yang tidak realistis untuk suaminya, karena dia tidak ingin menghadapi kenyataan dari situasi bahwa dia harus menerima suami yang tidak seperti diinginkannya atau mengakhiri pernikahannya.
Adapun Elizabeth Scott menuliskan pada artikel The Expectations vs. Reality Trap, bahwa ekspektasi mengacu pada keyakinan yang kita pegang tentang hasil suatu kejadian. Eskpektasi dapat memainkan peran penting dalam menentukan apa yang terjadi dan berkontribusi pada perilaku yang diarahkan pada tujuan. Ekspektasi juga dapat menyebabkan kekecewaan ketika kenyataan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan akan terjadi.
Beberapa tanda umum bahwa kita mungkin memiliki ekspektasi yakni:
Mengantisipasi hasil tertentu.
Memegang visi dalam pikiran kita tentang bagaimana hal-hal akan terjadi.
Memiliki gagasan tentang apa yang kita inginkan atau butuhkan dari suatu situasi.
Dalam beberapa kasus, seseorang mungkin menjadi begitu terikat pada ekspektasi mereka sehingga mereka tidak dapat melihat kenyataan dari suatu situasi. Hal ini dapat mencegah mereka dari mengambil tindakan atau membuat keputusan yang akan menjadi kepentingan terbaik mereka.
Penelitian menunjukkan bahwa orang secara mengejutkan tidak mampu memprediksi bagaimana perasaan mereka dalam berbagai situasi. Sebagai contoh, sebuah penelitian menemukan bahwa pasangan pengantin baru cenderung memperkirakan bahwa tingkat kebahagiaan mereka akan meningkat (atau setidaknya tetap sama) selama periode empat tahun setelah menikah. Pada kenyataannya, tingkat kebahagiaan mereka cenderung berkurang selama periode tersebut.
Ekspektasi Membentuk Kenyataan
Dikutip dari artikel Human Psychology berjudul Expectations — the real happiness killer, bahwa ekspektasi membentuk dan membengkokkan realitas kita. Mereka dapat mengubah hidup kita secara emosional dan fisik. Apa yang kita ekspektasikan membentuk apa yang terjadi.
Penelitian telah menunjukkan bahwa atlet angkat besi yang sangat terlatih dapat melakukan hasil terbaik secara pribadi ketika mereka yakin telah menggunakan performance booster.
Orang yang memakai avatar dengan postur lebih tinggi dan lebih tampan dalam realitas virtual berperilaku dengan cara yang cenderung dilakukan juga oleh orang berpostur lebih tinggi dan lebih tampan. Pikiran kita terus-menerus melompat ke kesimpulan tentang dunia tempat kita hidup dan siapa kita.
Namun di sisi lain, berikut adalah beberapa ekspektasi yang bisa menjerumuskan kita:
1: Hidup harus adil
Tidak. Sama sekali tidak. Hal-hal buruk terjadi pada orang baik sepanjang waktu tanpa alasan. Berekspektasi bahwa kita tidak akan pernah atau harus menghadapi kesulitan dan bahwa kita tidak akan mengatasinya ketika hal itu datang adalah penyangkalan dari siklus manusia.
2: Semua orang harus menyukaiku
Mereka tidak akan dan jangan. Sama seperti kita tidak menyukai semua orang yang kita kenal. Alih-alih, fokuslah untuk mendapatkan kepercayaan dan rasa hormat dari orang yang kita sukai.
3: Orang harus setuju denganku
Jawaban kita mungkin bukan satu-satunya jawaban yang benar dan menjadi benar tidak selalu benar. Kita cenderung sering mengambil kata-kata dan perilaku orang lain secara pribadi. Kita berekspektasi bahwa mereka berpikir dan bertindak seperti kita dan jika tidak, kita merasa terluka atau marah.
4: Orang-orang mengerti apa yang aku katakan
Asumsi seperti ekspektasi, bisa menjadi pembunuh kebahagiaan. Orang tidak akan mengerti kita hanya karena kita berbicara. Benar-benar mendengarkan orang lain dengan empati menciptakan pemahaman, sementara memproyeksikan filter mental kita sendiri dan pandangan dunia ke orang lain menghasilkan kesalahpahaman dan perasaan terluka.
5: Aku harus selalu melakukannya dengan baik
“Jika aku tidak mencapai tujuan ini, jika aku gagal memenuhi harapanku, maka aku adalah kegagalan yang menyedihkan dan pantas mendapatkan yang terburuk.” Pemikiran seperti ini adalah dasar dari merendahkan diri, membenci diri sendiri dan harga diri yang dikompromikan. Kita sudah cukup dan secara intrinsik layak terlepas dari pencapaian.
6: Harta benda akan membuatku bahagia
Kita buruk dalam memprediksi apa yang akan membuat kita bahagia di masa depan. Apa yang membuatmu paling bahagia? Menang lotre? Menikah? Membeli mobil baru? Hal-hal semacam ini tidak menimbulkan kebahagiaan sejati, karena kita hanya beradaptasi dengan keadaan kita yang berubah menjadi kenormalan baru.
7: Aku bisa mengubahnya
Ada satu orang di dunia ini yang benar-benar bisa kita ubah: diri kita. Dan itu membutuhkan banyak usaha. Satu-satunya cara orang berubah adalah melalui keinginan dan sarana untuk mengubah diri mereka sendiri. Kita tidak bisa dan tidak seharusnya “memperbaiki” orang lain.
Harapan vs Ekspektasi
Menurut Nick, hal hebat tentang kata ‘‘harapan’’ seperti yang biasa kita gunakan adalah bahwa hal itu menyiratkan kurangnya kendali atas hasil suatu kejadian:
‘‘Aku berharap Giants memenangkan seri tahun ini.’’
‘‘Aku harap akan mendapatkan jackpot.’’
“Aku sangat berharap dapat melakukan wawancara dengan cukup baik untuk mendapatkan pekerjaan itu.”
Berbeda dengan “ekspektasi” yang sangat menginginkan kendali atas sesuatu, ‘‘harapan’’ menyiratkan tidak adanya kontrol. Harapan mengasumsikan kehadirannya.
Dirangkum dari tulisan Nick, cobalah eksperimen kecil ini: kapanpun kita mendapati diri berbicara kepada diri sendiri tentang apa yang kita ekspektasikan atau pikirkan tentang masa depan, coba ulangi pembicaraan diri tersebut dimulai dengan kalimat, ‘‘Aku harap.’’
‘‘Dia pria dewasa, dia seharusnya tahu lebih baik.’’ → ‘‘Dia sudah dewasa, aku harap dia ingat untuk melakukan yang lebih baik di masa depan.’’
‘‘Dia sudah pergi selama bertahun-tahun, aku seharusnya tidak terlalu merindukannya.’’ → ‘‘Dia sudah pergi selama bertahun-tahun, aku harap kesedihan yang aku rasakan segera berkurang.’’
‘‘Aku tidak percaya aku menjawab sembarangan untuk pertanyaan itu, aku seharusnya mengatakan X’’ → ‘ ‘Aku tidak percaya aku menjawab sembarangan untuk pertanyaan itu, aku harap bisa melakukan yang lebih baik lain kali.’’
Ini hanyalah satu percobaan kecil yang dapat kita praktikkan untuk mulai menjadi sedikit lebih sadar tentang bagaimana eskpektasi bekerja dalam hidup kita. Karena jika kita secara tidak sadar menggunakannya untuk menghindari ketidakpastian dan ketidakberdayaan, kita hanya menyiapkan diri untuk lebih banyak rasa sakit dan penderitaan dalam jangka panjang.
Di sisi lain, jika kita dapat belajar untuk menghadapi dan menerima kurangnya kendali dan kepastian, bahkan dalam bentuk self-talk yang sangat kecil, kita akan menemukan banyak kelegaan emosional yang tulus dan kepercayaan diri dalam jangka panjang.
Mengelola Ekspektasi
Menurut Elizabeth, mempelajari cara mengelola ekspektasi dapat membantu saat kita mencoba menghindari jebakan ekspektasi dan kenyataan. Penting untuk melihat lebih dalam bagaimana ekspektasi kita sesuai dengan kenyataan (dan bagaimana suasana hati kita terpengaruh karena hal ini).
1: Sadarilah Ekspektasi Kita
Mulailah dengan menilai ekspektasi dalam suatu situasi. Jika kita ingin keluar dari jebakan ekspektasi vs kenyataan, semuanya bermuara pada kesadaran. Menyadari apa yang kita ekspektasikan adalah awal yang baik. Menyadari apa yang “seharusnya” kita ekspektasikan juga merupakan ide yang bijaksana.
Ketika kita memasuki situasi baru, tanyakan pada diri kita tentang eskpektasi apa yang akan terjadi.
Tanyakan pada diri sendiri apakah ekspektasi kita harus seperti ini. Dari mana ekspektasi ini berasal dan apakah itu realistis?
Ketika kita merasa kecewa, coba pikirkan apakah realistis untuk mengharapkan apa yang kita ekspektasikan. (Jika demikian, buatlah rencana untuk mendapatkan apa yang kita inginkan di lain waktu. Jika tidak, pikirkan bagaimana kita dapat mengelola ekspektasi kita).
2: Berlatih Bersyukur
Ketika kita menemukan bahwa apa yang terjadi tidak seperti yang kita ekspektasikan, carilah secara aktif hal-hal positif dari apa yang kita miliki. Kita mungkin menemukan bahwa setelah kita mengatasi kekecewaan, kita memiliki sesuatu yang ternyata tanpa sadar kita inginkan.
Hal ini membantu kita untuk lebih menghargai apa yang kita miliki.
Luangkan beberapa saat setiap hari untuk memikirkan sesuatu yang kita syukuri. Atau pertimbangkan untuk menulis dalam jurnal rasa syukur.
3: Jangan Membandingkan
Ketika kita melihat postingan orang lain di media sosial dan menginginkan apa yang kita lihat, ingatkan diri bahwa hal ini mungkin bukan kenyataan. Sangat bagus untuk mengetahui arah yang kita inginkan, tetapi jangan lupa bahwa apa yang kita lihat belum tentu apa yang sebenarnya dialami orang lain.
4: Pertimbangkan Apa yang Sebenarnya Membuat Kita Bahagia
Kita mungkin melebih-lebihkan betapa bahagianya kita setelah memiliki apa yang kita pikir kita inginkan. Misalnya, jika kita mengerjakan pekerjaan yang kita benci untuk menabung membeli mobil mahal atau pakaian bagus, kita mungkin mendapati bahwa kebahagiaan kita tidak bertahan lama.
Benar-benar nikmatilah apa yang kita miliki. Tidak apa-apa untuk menginginkan lebih, tetapi kita dapat semakin menikmati hidup jika menghargai apa yang sudah dimiliki. Menikmati apa yang dimiliki adalah cara yang bagus untuk memperluas kegembiraan kita dalam hidup.
5: Latih Penerimaan Emosional
Jangan menyalahkan diri sendiri karena merasa kecewa. Alih-alih mencoba menyangkal atau menekan emosi negatif seperti kekecewaan atau kecemburuan, berusahalah untuk menerima emosi ini apa adanya.
Cobalah melihat bahwa masih banyak orang yang belum seberuntung kita. Atau lebih baik lagi, cobalah untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain pada umumnya. Satu-satunya orang yang harus kita lawan adalah diri kita sendiri.
“When you learn to let go of your unrealistic expectations, an open road unfolds right in front of you.”
Saya pernah membaca cerita di Quora: Bayangkan suatu hari teman kita jatuh sakit dan kita tetap setia menemaninya di kamar rumah sakit sepanjang malam.
Meskipun kita mungkin tidak mengharapkan dia melakukan hal yang sama persis untuk kita, namun kita akan berekspektasi dia menelepon hanya untuk menanyakan kondisi ketika kita sakit.
Apa yang akan terjadi jika kita tidak pernah menemani teman kita di rumah sakit? Apakah kita akan berekspektasi bahwa dia akan menelepon ketika kita sakit?
Tentu saja tidak. Namun, sekarang bayangkan seorang pengemis. Seorang pria tunawisma yang akan kita bantu suatu hari nanti.
Apakah kita berharap dia membalas budi jika kita bangkrut?
Jawaban kita adalah tidak. Kita tidak menyimpan ekspektasi darinya. Mengapa? Karena kita tidak terikat secara emosional dengannya atau masalahnya. Kita hanya membantunya keluar dari kemanusiaan.
Namun, apakah kita akan bersikap yang sama seandainya orang itu adalah teman dekat atau pasangan kita?
Ekspektasi memainkan peran penting dalam kehidupan setiap orang yang mana merupakan alasan utama sumber umum stres dalam hidup kita. Ini terjadi ketika ekspektasi kita melebihi batas dan berubah dari yang awalnya “daftar keinginan” menjadi “daftar kebutuhan.”
Kita cenderung berekspektasi banyak dari orang yang dekat dengan kita atau orang yang kita cintai. Kita hanya menganggapnya sebagai hak kita untuk memiliki ekspektasi lebih terhadap mereka, dan ketika ekspektasi hancur, kita cenderung kehilangan kebahagiaan dan ketenangan pikiran.
Ekspektasi adalah akar dari sakit hati. Jangan keluar dari cara kita untuk membantu seseorang karena sebagian besar waktu, rasa terima kasih kita tidak akan dibalas.
Kebaikan itu berbintik-bintik, tidak mulus dan tidak sempurna. Jika kita berpikir bahwa sifat manusia itu baik dan kuat, maka kita akan frustrasi karena masyarakat yang sempurna belum tercapai.
Tetapi jika kita menjalani hidup dengan percaya bahwa alasan kita tidak begitu bagus, keterampilan kita tidak begitu mengesankan, dan kebaikan kita penuh bintik-bintik, maka kita mungkin akan kagum bagaimana hidup telah berhasil menjadi semanis itu. Belajarlah menerima apa yang ada daripada apa yang seharusnya.
Terima kasih, tulisanmu sangat menginspirasi. Sebagai seorang yang sinis, saya sudah lama berpikiran hal yang sama. “Orang cenderung berekspektasi berlebihan terhadap apa yang mereka lihat, namun mereka juga adalah orang yang akan merendahkan bila sesuatu hal tidak sesuai ekspektasi mereka.”
fadhli
November 19, 2022 at 5:24 pmTerima kasih, tulisanmu sangat menginspirasi. Sebagai seorang yang sinis, saya sudah lama berpikiran hal yang sama. “Orang cenderung berekspektasi berlebihan terhadap apa yang mereka lihat, namun mereka juga adalah orang yang akan merendahkan bila sesuatu hal tidak sesuai ekspektasi mereka.”
silviapf
November 22, 2022 at 5:54 pmHalo, Fadhli. Senang bisa melihat tanggapan darimu. Terima kasih sudah membaca tulisan saya ya, semoga memberi manfaat😀🙏