Pada satu titik, kita semua pasti akan kehilangan ketenangan. Mungkin kita bekerja semalaman menyelesaikan sebuah proyek, hanya untuk merasa tertekan ketika dikritik oleh klien. Atau mungkin seorang rekan kerja tiba-tiba seenaknya membuang pekerjaannya pada kita di menit tenggat akhir.
Ketika konflik terjadi, apakah kita adalah orang yang menggerakkan percakapan menjadi dialog yang produktif, atau apakah kita orang yang bereaksi di saat situasi memanas?
Difficult conversations: How to control your emotions, artikel dalam laman Marlow menyebutkan bahwa kita semua tahu, percakapan yang produktif dan strategis adalah cara terbaik untuk dilakukan saat situasi tegang, tetapi sangat lebih mudah untuk mulai reaktif terhadap situasi daripada menjadikannya dialog yang lebih produktif.
“When we feel things, it’s harder for us to think. It’s biological, but that doesn’t mean we don’t have control.”
Mengapa kita sulit berdialog saat momen tegang?
Melody juga menuliskan bahwa difficult conversation adalah jenis pembicaraan yang mengharuskan kita menyampaikan kabar buruk atau umpan balik negatif, membuat tuntutan seperti meminta kenaikan gaji, meminta maaf atas kesalahan, atau melakukan percakapan lain yang kita takuti.
Ketika kita mengantisipasi atau mengalami percakapan yang sulit, emosi kita sering terpicu. Memikirkan konflik dan konfrontasi saja dapat membuat kita cemas, terutama jika kita adalah seseorang yang menganggap diri kita sebagai penjaga perdamaian yang baik hati. Bahkan jika kita frustrasi dengan situasinya, kita mungkin takut mengecewakan orang lain.
Percakapan sulit bisa berupa percakapan canggung, tegang, atau menantang, yang dapat meningkatkan emosi kita karena pikiran menganggapnya sebagai ancaman. Selama percakapan sulit tersebut, kita mungkin menemukan jantung kita mulai berpacu dan napas kita terengah-engah. Ketika respon ‘‘fight-or-flight’’ kita bertahan, kemungkinan besar kita akan marah.
Dalam bukunya, Emotional Intelligence, dikutip dari artikel yang sama di laman Marlow, Daniel Goleman menjelaskan bahwa respon emosional terjadi lebih cepat daripada pemrosesan rasional.
Ketika kita terjebak dalam tegangnya momen, kekuatan berpikir kita berkurang (ada lebih banyak darah dan oksigen di amigdala emosional daripada di korteks prefrontal rasional). Jadi, bahkan setelah kita mulai menggunakan logika kita, jika emosi masih ada, akan lebih sulit bagi kita untuk berpikir secara produktif.
Menjadi emosional selama percakapan yang sulit adalah respon stres yang normal. Tetapi bagian penting dari kecerdasan emosional adalah regulasi emosi. Tanpa keterampilan ini, kita tidak dapat mengartikulasikan diri dengan baik pada saat momen tegang terjadi.
Kecemasan dan ketakutan yang kita rasakan sebelum menghadapi sahabat kita tentang masalah minumnya, membuat kita sulit untuk mengartikulasikan dan mengungkapkan kekhawatiran kita dengan jelas.
Kemarahan dan sikap defensif yang kita rasakan saat dikritik oleh pasangan membuat sulit untuk menetapkan batasan secara tegas, dan sebaliknya, mulai menyerang dan mengkritik balik.
Rasa malu dan kekecewaan rekan kerja ketika kita memberikan umpan balik yang sangat negatif tentang kinerja mereka, membuat sulit untuk jujur tentang umpan balik yang perlu kita berikan.
“Difficult conversations would be a lot less difficult if we were calmer and more in control of our emotions.”
Bagaimana kita bisa tenang selama percakapan sulit?
Dalam tulisan Melody disebutkan pula terkait penelitian yang menunjukkan bahwa pikiran tidak dapat membedakan antara imajinasi dan kenyataan. Ketika kita membayangkan diri tampak tenang selama percakapan sulit, hal itu memicu aliran zat kimia saraf yang sama, terlepas dari apakah kita sedang memikirkan masa lalu, masa kini, atau masa depan.
Salah satu studi juga menunjukkan bahwa membuat mantra dapat berguna untuk menenangkan penilaian internal yang mengarah pada emosi kuat selama dialog sulit. Mengulangi satu kata atau frasa dalam hati untuk diri sendiri dapat menenangkan pikiran kita. Beberapa frase pendek seperti:
Tetap netral
Hal ini akan berlalu
Aku bisa mengatasi perasaan tidak nyaman
Semua yang bisa aku lakukan adalah yang terbaik dariku
Aku mengendalikan apa yang aku rasakan
Adapun Nick memaparkan dalam tulisannya bahwa jika kita ingin menjadi lebih tenang dan lebih seimbang secara emosional selama percakapan sulit, berikut adalah 10 saran darinya yang dapat kita coba:
1: Strategis terhadap waktu dan tempat.
Misalkan kita ingin melakukan percakapan sulit dengan pasangan kita. Semua faktor lain dianggap sama, apakah lebih baik melakukan percakapan tersebut saat:
Di tempat tidur pada pukul 22:30 setelah hari yang panjang dan penuh tekanan, atau
Minggu pagi pukul 9.00 setelah sarapan enak dan tidur yang nyenyak?
Jelas, yang kedua adalah pilihan yang tepat.
Tetapi terlalu sering kita akhirnya jatuh ke dalam percakapan sulit, yang berarti kita masuk ke dalamnya ketika kita tidak dalam kondisi terbaik (stres, lelah, terganggu, dll). Jika kita memiliki percakapan sulit yang perlu dilakukan, bersikaplah bijaksana dan strategis tentang kapan dan di mana kita melakukan percakapan itu.
Tips: lakukan percakapan di luar sambil berjalan. Sedikit gerakan dan sedikit sinar matahari bisa membuat keajaiban bagi hampir semua orang dalam hal mengelola emosi yang sulit.
2: Validasi emosi yang sulit sejak dini.
Emosi yang sulit memang tidak nyaman, tetapi hal itu tidak berbahaya. Merasa malu tidak bisa menyakiti kita, dan kekecewaan orang lain tidak akan menyakiti mereka (atau kita).
Namun, karena emosi yang sulit itu bisa menyakitkan dan tidak nyaman, kecenderungan kita adalah memperlakukannya seperti masalah yang harus dipecahkan atau dihindari.
Sebagai contoh:
Ketika pasangan kita menggambarkan betapa cemasnya mereka dalam pekerjaannya akhir-akhir ini, kita bereaksi dengan menanyakan apakah mereka sudah mencoba membaca buku tentang pengurangan stres yang kita rekomendasikan atau sudahkah memperbanyak berolahraga.
Atau misalkan saja kita merasa cemas tentang nilai buruk putra kita dan mendapati diri kita menjadi marah dan kritis pada etos kerjanya yang buruk sebagai cara untuk menghindari ketakutan dan kecemasan kita sendiri.
Bagaimanapun, menanggapi emosi yang sulit dengan pemecahan masalah atau penghindaran cenderung hanya membuat segalanya menjadi lebih emosional.
Di sisi lain, jika kita meluangkan waktu sejenak untuk memvalidasi emosi kita, untuk mengingatkan diri sendiri atau rekan kita bahwa tidak apa-apa untuk merasakan emosi apa pun yang ada. Hal itu seperti katup pelepas tekanan yang menghilangkan intensitas emosional yang dirasakan semua orang.
Rangkuman mengenai validasi emosi ini juga bisa dibaca pada laman menyelami berjudul Emosi dan Keabsahannya.
3: Mengkritik perilaku, bukan karakter.
Misalkan kita mengalami konflik dengan rekan kerja, dan manajer kita meminta bertemu untuk menyelesaikan permasalahannya. Sebagian besar hal yang menjadi masalah adalah kecenderungan rekan kita untuk terlambat dan tidak stabil dalam proyek bersama, yang membuat kita memiliki lebih banyak pekerjaan yang tidak perlu.
Selama percakapan dengan manajer, berhati-hatilah. Hindari mengatakan hal-hal yang mengkritik karakter rekan kerja kita seperti, “Jeff selalu terlambat dan tidak pernah memenuhi komitmennya.”
Alih-alih berkata demikian, fokuslah pada perilaku spesifik yang bermasalah:
“Minggu lalu, dia butuh tiga hari setelah tenggat waktu untuk menyampaikan materinya kepadaku”, atau
“Minggu lalu, dia terlambat lima belas menit ke pertemuan kita. Dan minggu sebelumnya, dia menjadwal ulang sebanyak dua kali pada menit terakhir.”
Ketika kita membuat generalisasi tentang karakter atau kepribadian orang secara keseluruhan, rasanya seperti serangan. Yang membuat mereka menjadi defensif dan kita menjadi lebih frustrasi dan kesal.
Jadi, terutama ketika kita perlu bersikap kritis, ingatlah untuk fokus pada perilaku spesifik seseorang daripada sifat, karakter, atau kepribadiannya. Kritik tindakannya, bukan orangnya.
4: Antisipasi sikap defensif.
Semua orang terkadang bersikap defensif, dan ini sangat umum terjadi dalam percakapan sulit. Sayangnya, reaksi kebanyakan orang terhadap perasaan defensif adalah mulai bertindak defensif, yang hanya mengintensifkan semua emosi sulit yang ada, membuat lebih sulit untuk tetap tenang serta melakukan percakapan yang produktif.
Salah satu cara terbaik untuk menghadapi sikap defensif (baik kita sendiri atau orang lain) adalah dengan mengantisipasinya secara proaktif.
Misalnya, jika kita perlu menyampaikan beberapa umpan balik negatif kepada anggota keluarga dekat, kita dapat meluangkan waktu 10 menit sebelumnya untuk membayangkan topik tertentu yang akan mengarahkan mereka atau kita merasa defensif:
‘‘Aku tahu dia bekerja sangat keras untuk mengadakan pesta yang hebat, jadi kritik dariku tentang cara dia menangani insiden di pesta ulang tahun ibu, kemungkinan akan memicu pembelaan diri dalam dirinya.’’
Meskipun tidak nyaman, membayangkan dan mengantisipasi sikap defensif sebelumnya memungkinkan kita mempersiapkannya. Secara khusus, ini akan membantu kita berhati-hati pada saat sikap defensif muncul.
Dengan mengakui dan memvalidasi perasaan defensif, kita tidak akan berakhir dengan bertindak defensif (atau agar orang lain juga cenderung tidak merasa perlu menunjukkan sikap defensif mereka).
5: Ingatkan diri kita akan nilai-nilai kita.
Salah satu alasan terbesar mengapa sulit untuk tetap tenang dalam percakapan sulit adalah karena kita menjadi reaktif. Secara khusus, kita akhirnya bereaksi terhadap emosi yang sulit karena kita ingin menghindarinya:
Kita mulai mengkritik dengan marah untuk menjaga fokus dari rasa tidak aman dan ketakutan kita sendiri.
Kita menjadi terlalu akomodatif (menyesuaikan diri) dan menghormati karena kita merasa cemas akan membuat orang lain kesal.
Kita mulai memberi nasihat dan tidak mendengarkan dengan baik karena kita ingin menghindari kesedihan dengan benar-benar mendengar perjuangan orang lain.
Sayangnya, dengan bereaksi terhadap emosi, kita teralihkan dari apa yang benar-benar penting dalam percakapan: mendengarkan dengan empati, mencapai pemahaman yang berbeda, mengekspresikan diri dengan jelas, dll.
Salah satu cara terbaik untuk menghindari menjadi reaktif secara emosional adalah dengan memperhatikan nilai-nilai pribadi kita.
Misalnya, jika kita meluangkan beberapa menit sebelum percakapan yang sulit dan merenungkan nilai kita dan mengapa itu penting bagi kita, kemungkinan besar kita akan bergerak ke arah tujuan untuk mengomunikasikan keinginan dan kebutuhan kita dengan jelas, daripada tersesat sebagai reaksi terhadap ketakutan dan ketidakamanan kita.
Singkatnya, merenungkan nilai-nilai membuat kita tetap fokus pada apa yang benar-benar penting daripada tersesat dalam emosi yang sulit.
Hal ini adalah salah satu cara yang lebih tidak biasa tetapi ampuh untuk tetap tenang selama percakapan sulit. Bayangkan percakapan itu adalah adegan dalam film dan kita adalah penulis skenario, seperti apa naskahnya?
Secara harfiah, tuliskan hal-hal penting yang ingin kita katakan, serta hal-hal yang kemungkinan besar akan dikatakan oleh rekan kita, dan kemudian gabungkan semuanya saat kita membayangkan percakapan akan mengalir. Sekarang, ingatlah bahwa yang penting di sini bukanlah kita melakukannya dengan “benar”.
Jelas, tidak mungkin kita bisa memprediksi dengan tepat bagaimana kelanjutannya. Tetapi dengan memaksa diri kita untuk membuat skrip percakapan sebelumnya, kita melakukan dua hal yang sangat bermanfaat:
Kita memaksa diri untuk menjelaskan apa yang sebenarnya ingin kita katakan dan bagaimana kita ingin mengatakannya. Hal ini akan membuatnya lebih mudah untuk mengartikulasikan dan tegas pada saat itu, mungkin ketika emosi sedang tinggi, karena kita sudah melakukan gladi bersih.
Kita mengantisipasi apa yang mungkin mereka katakan, dan akibatnya, bagaimana kita akan merespon. Yang mana, sekali lagi, akan membuatnya lebih mudah (meskipun tidak selalu mudah) untuk melakukannya pada saat itu.
7: Perbarui ekspektasi kita.
Banyak perubahan emosional yang terjadi selama percakapan sulit adalah hasil dari ekspektasi (yang tidak masuk akal) dilanggar, yang mengarah pada tingkat kejutan, kemarahan, kekecewaan, dan sejenisnya yang tidak perlu.
Sebagai contoh:
Katakanlah kita berbicara dengan manajer, kita berharap akan mendapat kenaikan gaji karena peningkatan kinerja kita yang jelas selama setahun terakhir.
Tetapi kemudian dia memberi tahu bahwa kita tidak akan mendapat kenaikan gaji karena perusahaan sedang berjuang secara finansial.
Mengecewakan, pasti. Tetapi karena kita sudah bereskpektasi tentang seberapa besar kita pantas mendapat kenaikan gaji, kita juga akan mengalami banyak kemarahan dan frustrasi di atas kekecewaan itu.
Dan semua emosi ekstra itu akan membuat lebih sulit untuk tetap tenang dalam percakapan.
Di sisi lain, misalkan sebelumnya kita telah bertanya pada diri sendiri:
‘‘Harapan apa yang aku miliki tentang percakapan ini?’’
Kemudian, setelah mengidentifikasi hal itu tentang kenaikan gaji, kita bertanya pada diri sendiri:
‘‘Apakah ada alasan bagus untuk berpikir bahwa ekspektasi itu mungkin saja tidak benar?’’
Jika kita serius merenungkan pertanyaan-pertanyaan itu, kita akan jauh lebih siap untuk menangani berita tak terduga mengenai tidak mendapatkan kenaikan gaji, dengan cara yang lebih tenang dan lebih seimbang.
8: Perjelas batasan percakapan kita.
Kita sering kesal dan marah dalam percakapan karena kita merasa tidak dihargai:
Rekan kita berbicara terlalu banyak dan tidak membiarkan kita berbicara.
Mereka meremehkan sudut pandang kita atau tidak memvalidasi emosi kita.
Mungkin mereka kasar dan akhirnya berteriak atau mengancam kita.
Bagaimanapun, banyak dari kebanjiran emosional kita dalam percakapan sulit berasal dari perasaan ‘‘diinjak-injak’’. Pada akhirnya terserah kita untuk menetapkan dan menegakkan batasan yang melindungi diri kita dari rasa tidak hormat dan pelecehan yang begitu menjengkelkan.
Sehingga, jika kita ingin merasa lebih tenang dan lebih terkendali selama percakapan sulit, luangkan waktu terlebih dahulu untuk mengklarifikasi batasan kita dalam percakapan:
Berapa banyak kekasaran yang ingin kita toleransi?
Apa yang akan kita lakukan jika mereka terus bersikap kasar?
Apakah berteriak baik-baik saja? Jika tidak, apa yang akan kita lakukan jika lawan bicara kita mulai berteriak?
Sulit untuk tetap tenang dalam percakapan yang sulit ketika kita tidak memiliki batasan. Tetapi cukup sulit untuk menetapkan (apalagi menegakkan) batasan jika kita belum meluangkan waktu untuk benar-benar memikirkannya.
Jadi, sebelum masuk ke percakapan sulit, luangkan sedikit waktu untuk merenungkan batasan percakapan dan buat rencana apa yang akan kita lakukan jika kita tidak dihormati.
9: Jangan mempersenjatai sejarah kuno.
Dalam percakapan dengan konflik tinggi, sangat menggoda untuk memilih beberapa peristiwa atau contoh dari masa lalu dan menggunakannya untuk “membuktikan” pendapat kita tentang lawan bicara kita, misal:
“Yah, kamu bukan orang suci. Ingat waktu itu kamu benar-benar lupa hari ulang tahunku?”
Masalahnya adalah hal ini mengarah pada rasa kebenaran diri yang artifisial, yang kemudian menghalangi objektivitas kita, dan pada akhirnya, keseimbangan emosional kita.
Emosi yang memuaskan seperti kemarahan atau pembenaran diri dapat menyebabkan ketidakseimbangan emosi, semudah emosi yang menyakitkan seperti ketakutan atau rasa malu.
Terlebih lagi, ketika kita mempersenjatai masalah masa lalu seperti itu, kita semakin meningkatkan konflik dan secara diam-diam memberikan izin kepada rekan kita untuk melakukan hal yang sama. Ini mengarah pada spiral kritik yang tidak sehat dan emosi yang berlebihan secara emosional dan sangat kontraproduktif.
Tentu saja, fakta dari masa lalu dapat berguna dalam percakapan, tetapi periksa motivasi kita:
Apakah kita menggunakannya tanpa perasaan sebagai cara untuk mencapai tujuan kita dalam percakapan?
Atau apakah kita menggunakannya sebagai cara untuk membuat diri kita merasa lebih baik?
10: Akui kesalahan dengan sungguh-sungguh.
Percakapan sulit, terlalu sering berakhir sebagai pertempuran. Setiap orang berusaha sekuat tenaga untuk mengalahkan orang lain atau “memenangkan” percakapan.
Dan tidak mengherankan, jika kita berpikir dan bertindak seolah-olah percakapan adalah pertempuran atau kompetisi. Emosi kita akan menjadi panas dengan banyak kritik yang tidak adil, pembelaan, dan pelecehan yang memicu api emosional.
Di sisi lain, jika kita dapat mendekati percakapan sebagai perjalanan bersama, bukan kompetisi, kemungkinan besar kita akan tetap tenang. Dan cara yang bagus untuk melakukan ini adalah dengan mengakui kesalahan.
Ketika kita mengakui bahwa kita telah membuat kesalahan entah bagaimana, rekan kita tidak akan merasa dihakimi atau diserang, yang berarti mereka cenderung tidak meningkatkan diri.
Jadi, meskipun mungkin sulit, dengan tulus mengakui kesalahan yang kita buat serta relevan dengan percakapan adalah cara yang bagus untuk meredakan sikap defensif dan persaingan dalam percakapan.
Faktanya, bahkan jika kita tidak perlu mengakui kesalahan atau kekurangan, pertimbangkan untuk tetap melakukannya sebagai cara untuk menumbuhkan kerentanan dan kepercayaan.
“Good communication is important both in formal negotiations and in daily life.”
Menurut Amy Gallo dalam tulisannya, How to Control Your Emotions During a Difficult Conversation, ingatlah bahwa saat percakapan sulit, kita mungkin bukan satu-satunya yang kesal. Rekan kita kemungkinan besar akan mengungkapkan kemarahan atau frustrasi yang sama. Jika kita tidak memberi makan emosi negatif rekan kita dengan emosi kita sendiri, kemungkinan emosi mereka akan mereda.
Penting juga untuk menunjukkan bahwa kita mendengarkan selama percakapan. Mendengarkan adalah bagian sangat penting dalam menangani percakapan yang sulit dengan baik. Ini membantu kita untuk memahami orang lain, dan perasaan telah didengar membuat orang lain lebih mampu untuk mendengarkan diri mereka sendiri. Kunci untuk menjadi pendengar yang baik adalah benar-benar ingin tahu dan memperhatikan orang lain.
Satu hal lain yang pasti adalah kita tidak dapat mengendalikan reaksi dari lawan bicara kita. Yang dapat kita lakukan adalah mempersiapkan diri untuk menerima respon dari mereka dan mempersiapkan diri terhadap konsekuensi dari sikap yang kita ambil.
Add a comment