Di sebuah bar di hutan belantara Alaska yang terpencil, dua pria sedang duduk bersama berdebat tentang keberadaan Tuhan. Meskipun mereka adalah teman lama, mereka memiliki gagasan yang sangat berbeda tentang hal ini, yang satu adalah seorang pendeta, dan yang lainnya adalah seorang ateis.
Si ateis berkata, “Dengar, bukannya saya tidak memberi kesempatan kepada Tuhan. Saya bahkan sudah mencoba berdoa. Tapi itu tidak berhasil.” Pendeta itu bertanya dengan sedikit tidak percaya, “Apakah kamu benar-benar berdoa? Kapan ini terjadi?”
“Baru bulan lalu,” jawab si ateis. “Saya terjebak jauh dari perkemahan dalam badai salju yang mengerikan. Saya benar-benar tersesat dan saya tidak bisa melihat apa-apa. Saat itu suhu minus 20 derajat, jadi saya berdoa. Saya berlutut di salju dan berteriak ‘Ya Tuhan, jika ada Tuhan, saya tersesat dalam badai salju ini, dan saya akan mati jika Engkau tidak membantu saya’.”
Pendeta itu menatap si ateis dengan bingung dan berkata, “Kalau begitu kamu harus percaya pada Tuhan sekarang. Lagi pula, ini dia, kamu hidup!” Si ateis memutar matanya dan menjawab, “Tidak tidak, bukan itu yang terjadi. Beberapa orang Eskimo datang berkeliaran dan menunjukkan jalan kembali ke perkemahan”.
Jadi, dari mana perspektif yang berbeda itu berasal? Dari mana keyakinan dan pendapat kita berasal?
Kendra Cherry melalui How Confirmation Bias Works, menuliskan bahwa jika kita seperti kebanyakan orang, maka kita akan merasa bahwa keyakinan kita rasional, logis, dan tidak memihak. Berdasarkan hasil pengalaman bertahun-tahun dan analisis objektif dari informasi yang kita miliki.
Namun pada kenyataannya, kita semua rentan terhadap masalah rumit yang dikenal sebagai Bias Konfirmasi. Keyakinan kita sering kali didasarkan pada perhatian terhadap informasi yang mendukungnya, sementara pada saat yang sama cenderung mengabaikan informasi yang menentangnya.
Memahami Bias Konfirmasi
Why do we favor our existing beliefs?, tulisan dalam laman The Decision Lab menjelaskan bahwa bias konfirmasi menggambarkan kecenderungan mendasar kita untuk memperhatikan, memusatkan perhatian, dan memberikan kepercayaan yang lebih besar pada bukti yang sesuai dengan keyakinan kita yang ada.
Adapun Jonas Koblin dalam The Confirmation Bias menambahkan bahwa setiap kali kita menemukan fakta objektif tentang suatu masalah, kita melihatnya melalui lensa keyakinan kita sendiri. Hal lain seperti keyakinan budaya dan nilai-nilai keluarga juga menyebabkan bias konfirmasi ini sering diturunkan dari generasi ke generasi. Pendeta dalam cerita di atas, belajar dari leluhurnya bahwa Tuhan ada di balik segalanya. Sementara Ateis dibesarkan dalam keluarga yang hanya percaya pada pengetahuan ilmiah.
Ketika kita dihadapkan dengan situasi asing atau baru, bias membantu kita untuk menarik kesimpulan dengan cepat. Selain itu, untuk bertahan hidup di dunia yang berbahaya, kita belajar untuk beroperasi, mencari pola, dan masing-masing dari kita berpikir bahwa cerita kita dalam kepala kita adalah yang benar.
“The eye sees only what the mind is prepared to comprehend.”
— Robertson Davies
Dikutip kembali dari tulisan The Decision Lab, coba pertimbangkan situasi hipotetis berikut: Jane adalah manajer kedai kopi lokal. Dia sangat percaya pada moto ‘kerja keras sama dengan kesuksesan’. Namun, kedai kopi tersebut mengalami penurunan penjualan selama beberapa bulan terakhir. Karena keyakinannya akan efektivitas ‘kerja keras’ sebagai sarana untuk sukses, dia menyimpulkan bahwa itu karena stafnya tidak bekerja cukup keras.
Ini masuk akal, karena dia baru-baru ini menangkap beberapa karyawan yang mengambil istirahat makan siang yang lama. Akibatnya Jane memutuskan untuk memperpanjang jam kerja toko dan mengancam akan memecat setiap karyawan yang dia anggap malas. Terlepas dari upaya ini, penjualan kopi tidak membaik, dan toko sekarang lebih banyak membelanjakan gaji karyawan.
Dia kemudian memutuskan untuk berkonsultasi dengan manajer kedai kopi lain di daerah tersebut, yang mengidentifikasi bahwa lokasi tokonya yang kurang terlihat adalah penyebab penurunan penjualannya. Keyakinan Jane pada kerja keras sebagai metrik kesuksesan yang paling penting, membuatnya salah mengidentifikasi kurangnya upaya karyawan sebagai alasan penurunan pendapatan toko.
Seraya mengabaikan bukti yang menunjukkan penyebab sebenarnya: lokasi toko yang buruk. Ini adalah hasil dari bias konfirmasi, yang menyebabkan Jane memperhatikan dan memberikan kepercayaan yang lebih besar pada bukti yang sesuai dengan keyakinannya yang sudah ada sebelumnya.
Bias ini dapat membuat kita membuat keputusan yang buruk karena mendistorsi realitas dari mana kita menarik bukti. Di bawah kondisi eksperimental, pengambil keputusan memiliki kecenderungan untuk secara aktif mencari informasi dan memberikan nilai yang lebih besar pada bukti yang mengkonfirmasi keyakinan mereka daripada melihat realitas yang ada.
Hal ini dapat dianggap sebagai bentuk bias dalam pengumpulan bukti. Kesimpulan yang kita ambil dari bukti bias lebih cenderung salah daripada yang kita tarik dari bukti objektif. Ini karena mereka semakin jauh dari kenyataan. Bias konfirmasi juga dapat menyebabkan “Efek Pygmalion” yang dapat merugikan orang lain.
Mengapa Bias Konfirmasi Terjadi?
Bias konfirmasi adalah jalan pintas kognitif yang kita gunakan saat mengumpulkan dan menafsirkan informasi. Mengevaluasi bukti membutuhkan waktu dan energi, sehingga otak kita mencari jalan pintas untuk membuat prosesnya lebih efisien. Berikut beberapa penjelasan dari laman The Decision Lab.
Pertama: Otak kita menggunakan jalan pintas
Pintasan ini disebut “heuristik”. Ada perdebatan apakah bias konfirmasi dapat secara formal dikategorikan sebagai heuristik. Tapi satu hal yang pasti: hal ini adalah strategi kognitif yang kita gunakan untuk mencari bukti yang paling mendukung hipotesis kita. Hipotesis yang paling mudah tersedia adalah yang sudah kita miliki.
Masuk akal jika kita melakukan ini. Kita sering kali perlu memahami informasi dengan cepat, dan membentuk penjelasan atau keyakinan baru membutuhkan waktu. Kita telah beradaptasi untuk mengambil jalan yang paling sedikit perlawanannya, sering kali karena kebutuhan.
Bayangkan nenek moyang kita berburu. Seekor binatang yang marah menyerbu ke arah mereka, dan mereka hanya memiliki beberapa detik untuk memutuskan apakah akan bertahan atau lari. Tidak ada waktu untuk mempertimbangkan semua variabel berbeda yang terlibat dalam keputusan yang diinformasikan sepenuhnya.
Pengalaman dan insting masa lalu mungkin menyebabkan mereka melihat ukuran hewan dan lari. Namun, kehadiran kelompok pemburu lain mungkin akan diuntungkan karena situasi tersebut. Banyak ilmuwan evolusioner juga telah menyatakan bahwa penggunaan jalan pintas untuk membuat keputusan cepat di dunia modern ini didasarkan pada naluri bertahan hidup.
Kedua: Bias membuat kita merasa baik tentang diri kita sendiri
Alasan lain kita terkadang menunjukkan bias konfirmasi adalah karena hal itu melindungi harga diri kita.
Tidak ada yang suka merasa buruk tentang diri mereka sendiri dan menyadari bahwa keyakinan yang dia hargai adalah salah. Pandangan yang dipegang teguh sering membentuk identitas kita, sehingga menyangkalnya terkadang bisa menyakitkan. Kita bahkan mungkin percaya bahwa kesalahan dapat menunjukkan bahwa kita kurang cerdas. Akibatnya, kita sering mencari informasi yang mendukung daripada menyangkal keyakinan kita yang ada.
Hal ini juga dapat menjelaskan mengapa bias konfirmasi meluas ke grup. Dalam makalah peer-review tahun 2002, psikolog klinis Harriet Lerner dan psikolog politik Phillip Tetlock mengemukakan bahwa ketika kita berinteraksi dengan orang lain, kita cenderung mengadopsi keyakinan yang sama agar lebih cocok dengan kelompok.
Pemikiran konfirmasi dalam pengaturan interpersonal dapat menghasilkan “groupthink,” di mana keinginan untuk konformitas [suatu jenis pengaruh sosial ketika seseorang mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada] dalam kelompok menghasilkan pengambilan keputusan yang disfungsional. Jadi, meskipun bias konfirmasi sering kali merupakan fenomena individu, bias juga dapat terjadi dalam sekelompok orang.
Mengapa Bias Konfirmasi Penting?
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bias konfirmasi dapat diekspresikan secara individu atau dalam konteks kelompok. Keduanya bisa bermasalah dan patut mendapat perhatian yang cermat.
Pada tingkat individu, bias konfirmasi memengaruhi pengambilan keputusan kita. Keputusan tidak dapat sepenuhnya diinformasikan jika kita hanya berfokus pada bukti yang menegaskan asumsi kita. Hal ini dapat menyebabkan kita mengabaikan informasi penting baik dalam karir kita maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Keputusan yang kurang diinformasikan lebih mungkin menghasilkan hasil yang kurang optimal karena tidak memperhitungkan lingkungan di mana keputusan itu dibuat. Seorang pemilih mungkin mendukung seorang kandidat sambil mengabaikan fakta yang muncul tentang perilaku kandidat. Seorang eksekutif bisnis mungkin gagal untuk menyelidiki peluang baru karena keterlibatan masa lalu yang negatif dengan ide-ide serupa.
Selain itu, seseorang yang mempertahankan pemikiran semacam ini mungkin juga diberi label ‘berpikiran tertutup’. Adalah baik untuk mendekati situasi dan keputusan yang mereka minta dengan pikiran terbuka. Kesadaran akan bias konfirmasi adalah langkah pertama.
Pada tingkat kelompok, bias dapat menghasilkan dan mempertahankan fenomena “pemikiran kelompok” tersebut. Dalam budaya groupthink, pengambilan keputusan dapat dihalangi dari asumsi bahwa harmoni dan koherensi kelompok adalah nilai-nilai yang paling penting untuk kesuksesan. Ini mengurangi kemungkinan perselisihan di dalam kelompok.
Bayangkan jika seorang karyawan di perusahaan teknologi tidak mengungkapkan penemuan revolusioner yang dia buat karena takut mengubah arah perusahaan. Demikian pula, bias ini dapat mencegah orang mengetahui tentang pandangan yang berbeda dari sesama warga negara mereka, dan lebih jauh lagi, terlibat dalam diskusi konstruktif yang dibangun di atas banyak demokrasi.
Bagaimana Cara Menghindari Bias Konfirmasi?
Ketika kita membuat keputusan, bias konfirmasi kemungkinan besar terjadi saat kita mengumpulkan informasi. Hal ini juga mungkin terjadi secara tidak sadar, artinya kita mungkin tidak menyadari pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan kita.
Dengan demikian, langkah pertama untuk menghindari bias konfirmasi adalah menyadari bahwa itu adalah masalah. Dengan memahami efeknya dan cara kerjanya, kita lebih mungkin mengidentifikasinya dalam pengambilan keputusan. Profesor dan penulis psikologi Robert Cialdini yang dikutip dari artikel The Decision Lab, menyarankan dua pendekatan untuk mengenali kapan bias ini memengaruhi pengambilan keputusan kita:
Dengarkan firasat kita. Kita sering kali memiliki reaksi fisik terhadap permintaan yang tidak menyenangkan. Bahkan jika kita telah memenuhi permintaan yang sama tidak menguntungkan di masa lalu, kita tidak boleh menggunakan preseden [hal yang telah terjadi lebih dahulu dan dapat dipakai sebagai contoh] itu sebagai titik referensi.
Ingat tindakan masa lalu dan tanyakan pada diri sendiri: “mengetahui apa yang saya tahu, jika saya bisa kembali ke masa lalu, apakah saya akan membuat komitmen yang sama?”
Kedua, karena bias konfirmasi kemungkinan besar terjadi di awal proses pengambilan keputusan, kita harus fokus untuk memulai dengan basis fakta yang netral. Hal ini dapat dicapai dengan memiliki satu (atau idealnya, banyak) pihak ketiga yang mengumpulkan fakta untuk membentuk kumpulan informasi yang lebih objektif.
Ketiga, ketika hipotesis ditarik dari data yang dikumpulkan, pembuat keputusan juga harus mempertimbangkan untuk mengadakan diskusi antar pribadi yang secara eksplisit bertujuan untuk mengidentifikasi bias kognitif individu dalam pemilihan dan evaluasi hipotesis. Meskipun kemungkinan tidak mungkin untuk menghilangkan bias konfirmasi sepenuhnya, langkah-langkah ini dapat membantu mengelola bias kognitif dan membuat keputusan yang lebih baik.
“Unfortunately, we all have confirmation bias.”
— Kendra Cherry
Kita semua memiliki bias konfirmasi. Bahkan jika kita yakin bahwa kita sangat berpikiran terbuka dan hanya mengamati fakta sebelum mengambil kesimpulan, kemungkinan besar beberapa bias akan membentuk opini kita pada akhirnya. Sebaik apapun kita mencoba menghindarinya, sangat sulit untuk melawan kecenderungan alami ini.
Meskipun demikian, jika kita mengetahui tentang bias konfirmasi dan menerima kenyataan bahwa bias itu memang ada, kita dapat berusaha mengenalinya dengan berupaya untuk penasaran tentang pandangan yang berlawanan dan benar-benar mendengarkan apa yang orang lain katakan dan mengapa.
Ketika kita melakukan ini, kita dapat menyadari bias kita sendiri. Kita mulai menyadari bahwa hal-hal seringkali lebih rumit dari yang kita duga. Hal ini juga dapat membantu kita melihat masalah dan keyakinan dengan lebih baik dari perspektif lain, meskipun kita masih harus sangat sadar untuk melewati bias konfirmasi kita sendiri.
Psikolog dan Pemenang Nobel Daniel Kahneman, dikutip dari tulisan Jonas mengatakan: “A reliable way to make people believe in falsehoods is frequent repetition because familiarity is not easily distinguished from truth.” Artinya, “Jika ada waktu untuk merenung, maka ‘melambat’ sepertinya adalah ide yang bagus sebelum membuat keputusan.”
Add a comment