Apakah kamu menyukai pekerjaan mu? Mungkin beberapa dari kamu akan menjawab iya, dan sebagian lainnya menjawab tidak. Untuk kalian yang menjawab tidak, apa alasannya? Apakah kesalahannya terletak pada diri sendiri? Bisa jadi, namun sering kali ditemukan bahwa budaya perusahaan itu sendiri yang membuat para pegawainya tidak bersemangat untuk bekerja dan bahkan membenci perusahaannya. Melalui buku ini, Richard berbagi tentang bagaimana caranya agar sebuah perusahaan dapat didirikan dengan menjadikan kebahagiaan dan kepuasan pegawainya sebagai salah satu dari tujuan utama berdirinya perusahaan.
Ciri dari Pemimpin yang Periang
Sikap seperti apa yang kamu tampakkan ketika kamu bekerja? Apakah kamu ramah dan mudah untuk diajak berinteraksi? Ataukah kamu mencoba untuk memproyeksikan “professional persona”-mu? Tidak jarang, seseorang yang sama dapat menunjukkan sikap yang jauh berbeda ketika mereka berada di dalam dan di luar lingkungan kerja. Ini dikarenakan banyak dari kita yang masih mengaitkan “profesionalitas” dengan sikap dingin dan tidak acuh dengan kondisi orang lain; padahal sikap seperti ini hanya akan menciptakan lingkungan kerja yang penuh dengan konflik. Sikap tersebut juga akan memisahkan karyawan kedalam kubu-kubu yang berbeda.
Jadi, bagaimanakah caranya untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan ketegangan dalam lingkungan kerja? Richard menyarankan agar seluruh anggota perusahaan untuk dapat menjadi diri sendiri dalam bersikap dan mulai mengutamakan kebahagiaan bersama dalam bekerja. Agar dua hal tersbut dapat diraih, karyawan dan manajer perusahaan diharuskan untuk saling terbuka. Mungkin memberi tahu rekan kerja bahwa kamu sedang mengalami stres, ketakutan, atau merasa kewalahan terlihat tidak professional. Namun menurut Richard, ini dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan lingkungan kerja. Rangkul budaya yang membuat karyawan nyaman untuk meminta pertolongan jika dia sedang mengalami kesulitan dalam melakukan pekerjaannya. Dengan begitu, budaya bahwa kita bekerja sebagai tim dan saling ada untuk satu dengan yang lain dapat terbentuk.
Dan jika kamu berada dalam posisi manajemen, jangan memimpin dengan asumsi bahwa beberapa pekerjaan adalah pekerjaan yang “terlalu kecil” untuk kamu kerjakan. Ini penting untuk mengingatkan karyawan lain bahwa kita semua berada pada posisi yang sama dan kita bekerja untuk menjadikan perusahaan lebih baik. Jadi kunci utama untuk menjadi pemimpin yang periang adalah mempin dengan menjadi diri sendiri (being authentic), being vulnerable (terbuka dengan perasaan mereka), dan selalu rendah hati.
Apakah Warnamu?
Ini adalah hal yang aneh untuk ditanyakan. Namun ternyata, menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Thomas Erikson, jenis personalitas manusia dapat dibagi menjadi empat warna yang berbeda. Merah menandakan bahwa orang tersebut cenderung berprilaku dominan dan agresif. Kuning mencerminkan orang tersebut memiliki sifat optimis, periang dan kreatif. Sementara biru dan hijau menggambarkan bahwa orang tersebut sangat memperhatikan detil dan membutuhkan stabilitas dan keamanan dalam hidup. Setiap warna memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jika kamu dapat memahami warnamu dan warna dari partner kerjamu, maka konflik yang tidak perlu dapat dihindari dan kerja kalian akan semakin efektif.
Seorang pemimpin dengan kepribadian berwarna merah mungkin membutuhkan waktu untuk bisa bekerja sama dengan seseorang dengan kepribadian berwarna kuning yang notabene sangat suka untuk berbincang dan bercanda. Dari sudut pandang Si Kuning, gaya bicara Pemimpin Merah yang cenderung to the point dan tegas dapat membuatnya tidak nyaman. Jika Pemimpin Merah dapat mengatur gaya bicaranya agar terdengar lebih santai, Si Kuning mungkin akan dapat menerima poin yang disampaikan Pemimpin Merah sepenuhnya. Kemampuan Si Kuning untuk berinteraksi dan membuat orang lain merasa nyaman juga bisa menjadi keuntungan untuk Pemimpin Merah karena kehadirannya dapat memperluas jejaring pelanggan serta partner usaha. Si Kuning pun dapat belajar dari Pemimpin Merah agar dapat lebih tegas dalam mengambil keputusan. Ini semua dapat terjadi jika komunikasi antar mereka dapat terjalin dengan baik.
Konflik juga dapat terjadi antara Pemimpin Kuning dengan rekan kerja berkepribadian hijau dan biru. Pemimpin Kuning menganggap Si Biru dan Hijau terlalu berhati-hati dalam membuat keputusan karena tendensi mereka untuk bersikap realistis dan memeriksa setiap detil dari hal yang sedang dikerjakan. Perilaku Si Biru dan Hijau yang cenderung menghindari resiko juga dapat membuat Pemimpin Kuning, yang selalu bersikap optimis, jengkel. Untuk menghindari hal ini, baiknya Pemimpin Kuning menjadikan mereka sebagai devil’s advocate dari perusahaan untuk meminimalisir segala resiko terburuk yang akan terjadi terhadap bisnis. Jadi, sebelum kamu bertindak, baiknya kamu sadar akan jenis kepribadianmu dan rekan kerjamu agar kerja bersama semakin terasa menyenangkan.
Ada yang Bisa Saya Bantu?
Ketika kita mendengarkan kata-kata tersebut, hampir pasti sebagian besar dari kita teringat dengan pelayan atau pramusaji yang bekerja di hospitality industry seperti hotel atau restoran. Dan sering kali, secara sadar atau tidak, kita beranggapan bahwa pekerjaan tersebut tidak berharga karena hanya orang-orang dengan pendidikan rendah-lah yang bersedia untuk mengambil pekerjaan tersebut. Ini bukanlah sikap yang benar.
Menurut Richard, melayani orang lain, dalam arti meningkatkan hidup mereka melalui kontribusi dan pengorbanan yang kita lakukan untuk orang lain, harus menjadi inti dari perbuatan kita sehari-hari. Terlebih lagi, sikap melayani ini harus menjadi fondasi dari sebuah bisnis. Agar budaya melayani ini dapat tersebar ke seluruh perusahaan, pemimpin harus memulainya terlebih dahulu dengan tidak segan untuk mendengarkan kendala yang dihadapi oleh rekan kerjanya dalam kegiatan operasional pekerjaan. Seorang karyawan akan sangat menghargai pemimpinnya ketika dia peduli dan lebih-lebih mampu memberikan solusi terhadap kendala yang sang karyawan hadapi. Memiliki karyawan yang bahagia akan berujung pada pelanggan yang bahagia.
Jadi sebelum perusahaanmu melangkah lebih jauh, tanyakan hal ini: Bagaimana pandangan perusahaan kita terhadap sikap melayani ini? Bagaimana perusahaan dapat menggunakan platform nya untuk melayani orang lain? Dan apa yang dapat kita lakukan untuk menciptakan perusahaan yang melandaskan segala sesuatunya pada pelayanan?
Pemimpin bukanlah Bos
Jadi, apakah perbedaan mendasar dari dua kata tersebut? Kalau kita lihat dari konteks kata, kata pemimpin menyiratkan bahwa seseorang yang menjabat posisi tersebut harus memiliki kemampuan untuk memandu kelompok yang dipimpinnya menuju ke arah yang benar. Sementara, kata bos lebih berfokus pada aspek kekuasaan (power) yang datang dari posisi yang diemban. Untuk lebih sederhananya, pemimpin menginspirasi sementara bos menyuruh tanpa alasan yang jelas. Kekuasaan yang dimiliki bos hanya berasal dari posisi yang dijabat, dan tidak datang dari kepercayaan rekan kerjanya terhadap kemampuannya.
Untuk memunculkan jiwa kepemimpinan di lingkungan kerja, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mulai hilangkan budaya saling menyalahkan antara satu dengan yang lain. Ketika kita berhenti menyalahkan orang lain, kita mulai fokus untuk memperbaiki kekurangan pada diri sendiri. Dengan begitu juga, rasa tanggung jawab akan muncul dari setiap pihak yang terkait. Hilangnya budaya menyalahkan ini juga akan memberikan keberanian kepada karyawan untuk mencoba hal-hal baru yang mungkin berujung pada meningkatnya produktifitas dan kualitas dari pekerjaan perusahaan secara keseluruhan.
Langkah selanjutnya adalah coba tanyakan “bagaimana caranya agar kita dapat bekerja sama?”. Karena jika perusahaan dibangun dengan semangat kolaborasi dan rasa tanggung jawab untuk meraih tujuan bersama, maka setiap orang akan termotivasi untuk bekerja sama demi kebaikan bersama. Dan akhirnya, rasa benci antar rekan kerja dan beban berat dari pekerjaan itu akan hilang dengan sendirinya.
Sekian tulisan ini kami sampaikan semoga bermanfaat. Beli buku dari penulis jika kalian ingin mengetahui lebih dalam ya!
Add a comment