Saya teringat sebuah cerita yang pernah saya baca tentang Amie Norton (ahli kimia) yang semasa kecil memiliki disabilitas bahasa (Language-Based Learning Disabilities) dan defisit keterampilan motorik halus. Sebagai seorang anak, pada saat itu, Amie akan mencoba untuk tidak berbicara di kelas atau berbicara terlalu keras karena dia takut akan salah bicara.
Amie tahu apa yang ingin dikatakan dalam kepalanya, tetapi hal itu tidak terucap dengan cara yang sama. Dia diejek karena presentasinya dan menjadi menarik diri dari teman-teman dan lingkungannya. Hal-hal yang dipelajari anak-anak lain, seperti mengikat tali sepatu, sangat sulit bagi Amie. Tulisan tangannya sangat besar dan menyakitkan jika harus menulis untuk waktu yang cukup lama.
Orang-orang telah meremehkan Amie sepanjang hidupnya, namun Amie menggunakannya sebagai motivasi untuk mencapai tujuan dan menjadi yang terbaik dalam segala hal yang dia lakukan. Dia tidak pernah menyerah dan telah membuktikan diri sebagai seorang ahli kimia dengan beberapa pencapaian. Dia belajar bahwa meskipun beberapa hal sulit baginya, keterbatasan tersebut telah mengajari bagaimana menjadi pemecah masalah yang baik dan mendekati masalah secara berbeda.
Amie juga telah belajar bahwa menjadi lembut ketika berbicara karena takut salah, membuat beberapa orang meremehkannya. Dia juga sadar bahwa untuk sukses di bidangnya, maka dia harus bisa tampil di depan umum. Karena itu, dia selalu mempersiapkan diri sebulan sebelumnya. Sekarang, Amie menjadi 100% lebih baik dalam presentasi. Dia tidak takut gagal. Dia telah belajar untuk tenang jika terjadi kesalahan. Jika dia salah mengatakan sesuatu, dia tidak mempermasalahkannya. Dia hanya terus berjalan.
"I am not defined by my disabilities, but I am shaped by them. I have learned to never give up when things are tough."
— Amie Norton
FOKUS PADA KELEBIHAN ATAU KELEMAHAN?
Shawn Lim pada artikel, How to Turn Your Weaknesses into Strengths to Achieve Greater Success, menuliskan bahwa salah satu pertanyaan yang paling sering diajukan mengenai kelebihan dan kelemahan adalah apakah suatu keharusan untuk berusaha memperbaiki kelemahan kita? Menurut Shawn, memang benar bahwa kita harus fokus pada kelebihan dan bergelut pada sesuatu yang kita kuasai. Tetapi, itu tidak berarti bahwa kita harus mengabaikan kelemahan kita sepenuhnya. Memperbaiki kelemahan berarti mengurangi hambatan yang dapat memperlambat tujuan kita.
Penelitian Harvard Business Review, Stuck in a dead-end career? Your career-limiting habit is to blame, menunjukkan 97% karyawan melaporkan bahwa mereka memiliki beberapa Career-Limiting Habit (CLH) yang menghalangi pencapaian potensi mereka di tempat kerja. Kebiasaan ini merugikan kenaikan gaji dan promosi yang mungkin mereka terima. Beberapa kebiasaan CLH tersebut diantaranya kurang empati, tidak dapat diandalkan, menghindari konflik, atau takut akan risiko. Meskipun jelas bahwa kelemahan merugikan diri mereka baik secara pribadi maupun profesional, nyatanya hanya sedikit dari mereka yang mengubahnya menjadi kelebihan.
Mandie Holgate dalam tulisannya, 7 Steps to Turn Your Weaknesses into Strengths, juga menyatakan bahwa banyak orang memang sudah menyadari bahwa kelemahan dapat menghancurkan kebahagiaan dan kesuksesan mereka. Namun di sisi lain, mereka juga sangat percaya bahwa hidup dan pekerjaan memang seperti itu dan keadaannya tidak dapat diubah. “Di luar kendali kita”, kata mereka. Sehingga pada akhirnya kebanyakan hanya diam dan tidak berbuat apa-apa. Mandie melalui profesinya (Life Coaches), belajar bahwa kelemahan kita menyembunyikan apa yang sebenarnya perlu kita pelajari.
JIKA BISA DIUBAH, KENAPA TIDAK?
Tidak ada satupun orang yang hebat dalam segala hal. Tidak masalah jika memiliki kelemahan, semua orang memilikinya. Yang benar-benar penting adalah bagaimana kita dapat menghadapi kelemahan tersebut. Sekali lagi, kelemahan membiaskan apa yang sebenarnya perlu kita pelajari. Jika kita mewaspadai hal itu terjadi, pengalaman saya dan rangkuman beberapa sumber berikut ini mungkin bisa membantu.
Pertama: Kenali dan terima kelemahan kita
Kita tidak dapat memperbaiki kelemahan kita jika terus sibuk menyangkal kelemahan yang ada. Jadi tugas pertama kita adalah mengenali bahwa kita memiliki kelemahan dan menentukan apa kelemahan tersebut. Sepengalaman saya, kesadaran memang hal utama yang dibutuhkan. Saat pertama kali saya mencoba menganalisis kelemahan, yang terjadi adalah saya terus mengelak dan sangat sulit untuk mengakuinya pada saat itu. Perlu tekad yang kuat dalam prosesnya, bahwa kita melakukan itu semua agar bisa membuatnya lebih baik. Sejauh ini, cukup berhasil.
Kemudian tulis dan buat daftar evaluasi, setiap menemukan apa yang menurut kita lemah di sana. Isi sebanyak mungkin meskipun mungkin terlihat sepele. Menurut saya, memulai dengan hal-hal yang sepele membuat kita lebih mudah menjalaninya. Membukakan jalan untuk hal-hal yang lebih rumit di kemudian hari. Selanjutnya, bila daftar evaluasi sudah penuh terisi, saya akan membuat daftar kedua. Kali ini adalah daftar penyelesaian yang disesuaikan dengan setiap kelemahan yang sudah dirinci sebelumnya.
Sebagai contoh, saya sering berbicara terlalu cepat. Alasan mengapa hal ini buruk bagi saya, karena ketika sedang berbicara saya sering merasa terengah-engah lalu akan kesulitan menyusun kalimat bicara. Banyak kemungkinan yang akan menjadi dampaknya, yakni pesan menjadi tidak jelas atau tidak tersampaikan dengan baik yang membuat percakapan menjadi lebih panjang dan kurang efektif, memungkinkan saya untuk memotong pembicaraan lawan dan menjadi egois.
Penyelesaian yang saya tulis yakni belajar untuk mengendalikan emosi dan mengingat satu slogan yang cukup berkesan bagi saya, “Satu mulut, dua telinga”, artinya banyak-banyak mendengarkan daripada “Tong kosong nyaring bunyinya”, alias banyak omong tapi tidak ada isinya. Dengan mendengarkan, selain bisa mengontrol ego, kita bisa mengamati dan mempelajari cara orang lain berbicara. Perasaan tenang saat mendengarkan akan membuat emosi mereda, sehingga pesan mereka lebih mudah kita terima. Selanjutnya, kita akan mudah juga menanggapi pernyataan mereka dengan lebih tepat dan bijaksana.
Selain itu, penting untuk memastikan bahwa setiap permasalahan di daftar evaluasi memiliki penyelesaiannya masing-masing. Tidak masalah apakah hal tersebut akan efektif atau tidak saat itu bagi saya. Seiring berjalannya waktu, saya pasti akan belajar dan menemukan penyelesaian baru yang lebih baik. Menjadi terbuka terhadap diri sendiri juga salah satu tonggak untuk dapat berpikir jernih dan memperoleh solusi yang tepat. Memang akan butuh waktu dan upaya besar yang dikorbankan dalam prosesnya. Tapi saya yakin akan berhasil, terlebih saya sendiri semakin merasa lebih baik dan mulai memperoleh manfaatnya.
Kedua: Walau menyakitkan, jangan abaikan kritikan
You cant see your own blindspots. Komentar atau kritikan orang memang kadang menusuk dan menyakiti hati. Tapi jangan hanya menyerap energi negatifnya saja, lihatlah peluang karenanya. Tanyakan lagi pada diri sendiri, “Bisa jadi yang dikatakan mereka memang benar?” Melaluinya, kita dapat melihat kekurangan kita yang mungkin saja belum kita sadari. Hal ini juga dapat membantu meyakinkan rasa penasaran kita, bahwa bukan hanya kita sendiri yang merasakan kekurangan tersebut, orang lain juga berpikir hal yang sama. Artinya kita harus mulai koreksi diri dan memperbaikinya. Bukan demi orang lain tapi demi kebaikan diri kita sendiri.
Berburuk sangka pada orang yang memberi kritik juga hanyalah asumsi ceroboh. Jika kita bisa melihat peluang dengan tenang, alih-alih menjadi sensitif dan mendendam, kita justru bisa berhubungan baik dan memperoleh pendapat atau saran dari mereka. Selami setiap informasi darinya, bukan untuk kita terapkan langsung secara mentah-mentah, tetapi cukup penting sebagai bahan pertimbangan keputusan kita selanjutnya. Saya yakin bahwa dokter terbaik dari keterbatasan kita adalah diri kita sendiri. Yang mengetahui baik-buruknya, mengetahui porsinya, mengetahui dampak dan segala macamnya, kita yang mengerti lebih baik dari makhluk lain di bumi ini.
Ketiga: Luangkan waktu untuk belajar, berlatih, dan memperbaiki
Dalam tulisan Shawn, setelah kita mengetahui apa kelemahan kita, cara yang tepat untuk mengatasinya yakni dengan membuat diri kita siap untuk hal tersebut. Misalnya saya, untuk mengurangi kebiasaan berbicara cepat, pada setiap pembicaraan saya selalu berusaha mengingat apa penyelesaiannya (satu mulut, dua telinga — dengarkan lebih banyak). Ingatan ini dibutuhkan untuk menciptakan kebiasaan baru. Sehingga, guna memicu kembali ingatan penting itu, cara saya yakni dengan menemukan “tanda”. Tanda yang saya buat yakni ketika menyadari bahwa ada seseorang di depan saya sedang berbicara, maka saat itulah saya harus mulai mendengarkan. Tanda ini hanya kita sendiri yang bisa membuat dan merumuskan timing-nya agar tepat sasaran dalam memantik ingatan kita.
Shawn menambahkan bahwa kita dapat tumbuh hanya ketika kita bersedia untuk keluar dari zona nyaman dan melakukan sesuatu yang berbeda. Sering kali, bukan karena kita lemah dalam hal-hal tertentu, itu karena kita memilih untuk tidak menghadapinya. Hal ini yang membuat kita kurang pengalaman dan dengan demikian membuat kita lemah terhadapnya. Banyak orang berpikir bahwa mereka tidak bisa menulis dan menganggapnya sebagai salah satu kelemahan mereka. Padahal jika kita mau menghadapi dan melakukannya setiap hari, keterampilan tersebut pada akhirnya akan meningkat dan menjadi lebih baik.
Keempat: Cukupkan diri dengan baik
Menurut Shawn, meskipun benar kita tidak akan pernah bisa menjadi hebat dalam segala hal, beberapa keterampilan perlu dipelajari agar kita dapat mencapai kesuksesan yang lebih besar. Sekali lagi, kita tidak harus hebat dalam segala hal, kita hanya perlu cukup baik untuk memahami bagaimana segala sesuatunya bekerja. Jack Ma, pendiri Alibaba (jaringan e-commerce terbesar di China) mengatakan bahwa dia tidak tahu bagaimana melakukan pemrograman dan dia tidak tahu bagaimana membangun sebuah situs web. Dia hanya perlu tahu cara kerjanya. Kita tidak perlu memahami cara kerja listrik dan kita tidak perlu menjadi tukang listrik untuk menyalakan lampu di rumah, kita hanya perlu mengetahui dasar-dasarnya.
"Make the most of every opportunity. Take all the opportunities you can even if you don’t think you will succeed."
— Amie Norton
Pada dasarnya, kita harus mengerti bahwa tidak ada orang yang terlahir sebagai “jagoan” dengan kelebihan yang bergelimangan. Mereka dibuat, bukan dilahirkan. Hal ini berarti kita bisa menjadi baik dalam hal-hal yang kita anggap buruk. Setiap master pernah menjadi pemula. Jika mungkin kita berpikir bahwa kita tidak memiliki bakat dan keterampilan dalam bola basket, pikirkan tentang bagaimana Michael Jordan atau Kobe Bryant dibesarkan dari pemain biasa menjadi superstar bola basket. Jadi, hadapi kelemahan kita. Jangan lari dari mereka. Jangan meragukan diri sendiri dan jangan biarkan keyakinan yang membatasi diri menghentikan kita untuk menjadi orang yang kita inginkan.
Add a comment